Krisis Kepercayaan sebagai Titik Balik
Jakarta – Indonesia kini menghadapi dilema serius: meski kondisi makro menunjukkan masih ada ruang tumbuh, kepercayaan pasar—baik dari investor, dunia usaha, maupun publik—terlihat rapuh. Dalam situasi seperti ini, ekonomi tidak cukup digerakkan oleh angka-angka; legitimasi kebijakan, kredibilitas institusi, dan persepsi keadilan menjadi elemen kunci yang menentukan apakah negara berhasil melewati gejolak atau terperosok ke dalam krisis baru.
Gelombang protes yang menggema di berbagai kota pada Agustus 2025 adalah refleksi dari kegundahan publik terhadap institusi dan elite politik—bahkan ketika pemerintah menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih kuat (pertumbuhan di atas 5 %, inflasi terkendali, cadangan devisa memadai). beritasatu.com+1
Tekanan politik ini tidak bisa disikapi dengan anggapan bahwa “pasar akan pulih sendiri.” Sebaliknya, ini adalah panggilan agar kebijakan ekonomi dan komunikasi publik berjalan selaras untuk meredam ekses ketidakpercayaan.
Gejolak Pasar dan Dampak Nyata
Beberapa indikator menunjukkan kerentanan pasar terhadap dinamika politik:
Bursa efek merespons dengan pelemahan dan volatilitas tajam ketika ketidakpastian politik meningkat.
Nilai tukar rupiah mengalami tekanan, mencerminkan sentimen eksternal dan domestik yang negatif.
Lembaga pemeringkat internasional seperti Fitch bahkan merevisi proyeksi pertumbuhan Indonesia 2025 ke arah yang lebih rendah, karena risiko global dan lemahnya daya beli domestik.
Kombinasi faktor ini bisa memicu spiral: kepercayaan melemah → modal keluar → tekanan pada kurs, suku bunga, dan akses pembiayaan → tekanan lebih lanjut pada sektor riil.
Dua Jalan: Reformasi atau Ketidakstabilan
Di persimpangan ini, Indonesia memiliki dua kemungkinan lintasan:
Reformasi dan Pemulihan Kepercayaan
Negara kembali membuka ruang dialog terbuka, menunjukkan tindakan nyata terhadap kasus-kasus pelanggaran, dan menegakkan kebijakan yang adil dan transparan. Kebijakan ekonomi tidak hanya “efisiensi anggaran”, tapi diarahkan untuk mempersempit kesenjangan sosial dan membuka peluang nyata bagi usaha kecil-menengah. Jika langkah-langkah seperti ini konsisten, kepercayaan bisa merangkak naik dalam 1–2 tahun.Keterpurukan Kepercayaan
Jika pemerintah merespon ketidakpuasan dengan tindakan represif atau kebijakan populis jangka pendek tanpa landasan struktural, potensi risiko lebih besar terbuka: arus modal keluar, kelesuan sektor investasi, pelemahan mata uang, dan potensi stagnasi ekonomi dalam jangka menengah.
Elemen-Elemen Kunci yang Harus Diutamakan
Untuk menghindari skenario buruk, sejumlah langkah krusial perlu diperhatikan:
Integritas Kebijakan & Transparansi
Tindak lanjut terhadap insiden kematian demonstran harus independen dan publik. Keputusan anggaran harus bisa dipertanggungjawabkan dan tidak sekadar “pemangkasan simbolis”.Komunikasi Publik yang Kredibel
Pemerintah perlu menjelaskan mekanisme secara gamblang: bagaimana menjaga lapangan kerja, inflasi, investasi tetap sehat di tengah gejolak.Penguatan Institusi & Supremasi Hukum
Ketidakadilan—apakah korupsi yang dibiarkan atau ketimpangan proses hukum—merusak rasa kepercayaan jauh lebih cepat daripada guncangan ekonomi.Dialog Inklusif & Partisipasi Publik
Melibatkan mahasiswa, organisasi sipil, dunia usaha secara efektif dalam pengambilan kebijakan. Bukan sekadar “konsultasi” simbolis.
Kesimpulan: Ambisi Ekonomi Bergerak di Bawah Bayang-Bayang Kepercayaan
Ambisi besar Indonesia—menjadi pusat manufaktur, digital hub, ekonomi kuat di Asia Tenggara—tak cukup dibangun hanya dengan investasi dan angka makro. Jalan ke arah itu melewati medan kepercayaan publik yang sedang terkikis.
Pasar bisa saja “tak lagi percaya,” tetapi krisis kepercayaan bukanlah akhir. Jika kepemimpinan negeri dapat merespon dengan langkah-langkah politik dan kebijakan yang jujur, adil, dan konsisten, maka persimpangan ini bisa menjadi titik belok menuju stabilitas dan pertumbuhan yang lebih inklusif.