Jakarta – Di sebuah ruang sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, aroma hukum bercampur dengan sisa debu intelektualitas. Di depan meja hijau itu, bukan perkara tanah atau sengketa tender yang diperbincangkan, melainkan disertasi doktoral—sebuah karya ilmiah yang semestinya lahir di ruang akademik, bukan di pengadilan.
Ironi itu nyata.
Promotor dan ko-promotor disertasi Bahlil Lahadalia menggugat Universitas Indonesia setelah dijatuhi sanksi etik oleh kampusnya sendiri. Sanksi itu dijatuhkan karena dugaan pelanggaran dalam proses akademik disertasi yang melibatkan Menteri Investasi tersebut. Namun, PTUN Jakarta memutuskan lain: gugatan dikabulkan, sanksi dibatalkan, dan UI diperintahkan mencabut keputusan rektor yang menjatuhkan hukuman etik.
UI juga diwajibkan membayar biaya perkara, sekitar tiga ratus ribu rupiah — harga murah untuk memulihkan nama baik akademik.
Sementara itu, di luar ruang sidang, kelompok akademisi dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyuarakan hal yang berbeda. Mereka mendesak UI untuk mempertahankan sanksi etik tersebut. Menurut mereka, keputusan pengadilan tidak seharusnya menghapus tanggung jawab moral dan etik akademik.
“Etika akademik tidak bisa diselesaikan dengan putusan hukum,” begitu kira-kira semangat pernyataan mereka. Namun suara itu tenggelam di antara bunyi palu hakim yang jauh lebih nyaring di ruang PTUN.
Dunia Akademik di Bawah Bayang Hukum
Di dunia pendidikan tinggi, kata “etika” dulu punya makna sakral. Ia menjadi fondasi bagi setiap penelitian, setiap tanda tangan promotor, setiap gelar yang dicetak di atas kertas ijazah. Tapi belakangan, etika seperti sedang mencari tempat aman—kadang di ruang sidang etik, kadang di pengadilan tata usaha negara.
Keputusan PTUN membuat publik bertanya:
Apakah keputusan akademik kini bisa digugat layaknya surat keputusan birokrasi?
Apakah universitas harus menyiapkan tim hukum sebelum memberi nilai pada mahasiswanya?
UI sendiri memilih berhati-hati. Dalam pernyataannya, pihak universitas menyebut akan “menghormati putusan pengadilan” dan “mempelajari implikasinya”. Kalimat diplomatis yang seakan menunjukkan kepatuhan hukum, tapi juga menyiratkan kebingungan: bagaimana menjaga martabat akademik tanpa menentang keputusan hukum yang sah?
Gelar, Etika, dan Ijazah yang Sulit Dibaca
Kasus ini menelanjangi persoalan lama dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia: obsesi terhadap gelar akademik yang kerap mengalahkan proses dan nilai-nilai ilmiah. Disertasi yang seharusnya menjadi puncak karya pengetahuan kini justru menjadi sumber keraguan publik.
Ketika etika kampus diputuskan di ruang sidang hukum, batas antara dunia akademik dan dunia administratif menjadi kabur.
Seolah-olah, gelar doktor tidak lagi ditentukan oleh integritas ilmiah, tapi oleh tafsir hukum.
Bagi sebagian akademisi, ini lebih dari sekadar sengketa internal UI. Ini adalah cermin dari krisis yang lebih dalam—tentang bagaimana pendidikan tinggi di Indonesia perlahan kehilangan otoritas moralnya. Bahwa gelar bisa dipertahankan, tapi wibawa kampus justru tergerus.
Sanksi yang Menguap, Nilai yang Tertinggal
Kini, promotor dan ko-promotor disertasi Bahlil telah “dipulihkan” secara hukum. Tapi publik tetap bertanya-tanya: siapa yang memulihkan luka etika akademik itu sendiri?
KIKA masih bersuara, menuntut agar UI teguh menjaga prinsip integritas ilmiah. Namun di tengah hiruk-pikuk birokrasi, suara moral seringkali terdengar lirih.
Kampus, yang seharusnya menjadi penjaga akal budi, kini tampak seperti lembaga administrasi yang takut salah tanda tangan.
Mungkin benar, di negeri ini disertasi bisa diuji dua kali: sekali oleh promotor, sekali lagi oleh hakim.
Dan mungkin, di masa depan, mahasiswa akan butuh dua pembimbing: satu akademik, satu hukum.
Epilog: Catatan dari Bangku Mahasiswa
Suatu hari nanti, mahasiswa mungkin akan bertanya:
“Pak, apa gunanya kode etik akademik kalau bisa dibatalkan pengadilan?”
Dan dosennya akan menjawab pelan:
“Itu bukan untuk menjamin kebenaran ilmiah, Nak. Itu cuma prosedur—sebelum kebenaran berpindah ke meja hukum.”