Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

BLBI: Hantu Triliunan yang Tak Pernah Hilang, Jejak Oligarki dan Pejabat Korup di Balik Skandal BLBI (2)

Jakarta — Dua dekade lebih skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menggantung tanpa penyelesaian tuntas. Pada 2021, Presiden Joko Widodo membentuk Satuan Tugas Penanganan...
HomeNewsGugatan Rp 125 Triliun terhadap Gibran dan KPU: Antara Tuntutan Hukum dan...

Gugatan Rp 125 Triliun terhadap Gibran dan KPU: Antara Tuntutan Hukum dan Pesan Politik

Jakarta – Kontroversi pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden pada Pemilu 2024 kembali memantik polemik. Seorang penggugat melayangkan gugatan dengan nilai fantastis sebesar Rp 125 triliun kepada Gibran dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Selain menuntut ganti rugi, penggugat meminta Gibran serta jajaran KPU mengundurkan diri dan menyampaikan permintaan maaf kepada publik.

Gugatan ini sontak menarik perhatian luas, bukan semata karena angka yang fantastis, tetapi juga karena menyentuh isu paling sensitif dalam demokrasi Indonesia: netralitas lembaga pemilu dan praktik politik dinasti.

Kontroversi Pencalonan

Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam Pemilu 2024. Pencalonannya menuai kritik tajam lantaran terbentur aturan usia minimum yang diatur dalam undang-undang pemilu.

Namun, Mahkamah Konstitusi kemudian mengeluarkan putusan yang memungkinkan Gibran ikut serta dalam kontestasi. Putusan itu menjadi perdebatan panjang, karena publik menilai terdapat konflik kepentingan. Saat itu, Ketua MK Anwar Usman diketahui memiliki hubungan keluarga dengan Presiden Jokowi.

Meski secara hukum sah, pencalonan Gibran dianggap sebagian kalangan mencederai etika demokrasi. Keputusan KPU yang tetap memvalidasi pencalonan tersebut memperkuat anggapan bahwa lembaga penyelenggara pemilu tidak lagi berdiri netral.

Gugatan Rp 125 Triliun

Dalam gugatan yang diajukan, penggugat menilai pencalonan Gibran dan keputusan KPU telah melanggar prinsip konstitusi dan menimbulkan kerugian besar bagi rakyat. Nominal Rp 125 triliun yang dituntut dipandang sebagai simbol betapa seriusnya pelanggaran tersebut.

Lebih dari sekadar angka, gugatan ini menitikberatkan pada dua tuntutan utama:

  1. Pengunduran diri Gibran dan komisioner KPU.

  2. Pernyataan permintaan maaf terbuka kepada publik.

Tuntutan ini dipandang lebih sebagai pernyataan politik ketimbang sekadar permintaan kompensasi finansial.

Analisis Politik

Pengamat menilai gugatan ini berpotensi memperuncing perdebatan tentang legitimasi pemerintahan Prabowo–Gibran. Sejak awal, keikutsertaan Gibran dipandang sebagai pintu masuk politik dinasti, memperkuat dominasi keluarga Jokowi di panggung nasional.

Angka Rp 125 triliun dipilih sebagai bentuk shock value untuk menarik perhatian publik dan media. Dengan demikian, isu ini tak hanya berhenti di ruang pengadilan, tetapi juga menjadi bahan perbincangan politik nasional.

Oposisi diperkirakan akan menggunakan kasus ini untuk melemahkan legitimasi Gibran di tahun-tahun awal pemerintahannya. Meski kemungkinan besar gugatan tidak dikabulkan penuh, dampak politiknya bisa sangat luas.

Dimensi Hukum dan Demokrasi

Secara hukum, ada beberapa kemungkinan skenario. Pertama, gugatan ditolak secara formal karena penggugat dinilai tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Kedua, pengadilan bisa menerima sebagian gugatan, misalnya hanya pada aspek moral berupa permintaan maaf. Ketiga, jika hakim berani, gugatan bisa menjadi pintu masuk untuk mengkaji ulang peran KPU dan keabsahan pencalonan Gibran.

Apapun hasilnya, peradilan akan mendapat sorotan tajam. Publik ingin melihat apakah pengadilan berani membuka ruang argumentasi substantif, atau sekadar menolak dengan alasan administratif.

Bagi demokrasi, gugatan ini menjadi sinyal penting. Meski nilai gugatannya dinilai bombastis, langkah penggugat menunjukkan masih ada warga yang menggunakan jalur hukum untuk menguji praktik politik yang dianggap curang. Jika ruang hukum ini tertutup, publik bisa kehilangan kepercayaan dan memilih jalan lain yang lebih berisiko.

Implikasi ke Depan

Kasus ini menjadi ujian awal bagi Gibran dalam menjalankan peran barunya sebagai wakil presiden. Ia bukan hanya menghadapi tantangan politik dan pemerintahan, tetapi juga krisis legitimasi yang berpotensi terus menghantui.

Sementara itu, KPU RI juga harus menanggung beban kepercayaan publik yang kian tergerus. Jika lembaga penyelenggara pemilu terus dipersepsikan tidak netral, maka persiapan menuju Pemilu 2029 bisa terancam kredibilitasnya.

Kesimpulan

Gugatan Rp 125 triliun terhadap Gibran dan KPU bukan semata soal angka, melainkan pesan politik yang kuat. Rakyat menuntut akuntabilitas, transparansi, dan netralitas dalam setiap proses demokrasi.

Meski kecil kemungkinan dikabulkan sepenuhnya, gugatan ini menegaskan satu hal: demokrasi Indonesia masih menghadapi tantangan serius. Dan sejauh mana pengadilan, pemerintah, serta KPU merespons, akan menentukan arah kepercayaan publik terhadap institusi negara di masa depan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here