Jakarta — Skandal dugaan korupsi kuota haji tambahan terus bergulir. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menetapkan 21 orang sebagai tersangka, mulai dari penyelenggara travel, pejabat teknis, hingga pihak swasta. Namun, sorotan publik kini tertuju pada satu hal: keberadaan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang dianggap sebagai pintu masuk skandal ini. Pertanyaan besar pun mencuat: kemana Yaqut? Ada apa dengan KPK?
SK Kontroversial
Pada 2024 lalu, Yaqut menandatangani SK Nomor 130 Tahun 2024 tentang pembagian kuota haji tambahan. SK ini mengatur pengalihan sebagian kuota jamaah reguler ke jalur haji khusus. Kebijakan tersebut sejak awal diperdebatkan, karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Menurut undang-undang, kuota tambahan semestinya diberikan kepada jamaah reguler — mengingat daftar tunggu haji di berbagai daerah mencapai puluhan tahun. Namun melalui SK Yaqut, sebagian kuota justru dialihkan ke penyelenggara haji khusus yang bekerja sama dengan travel swasta, dengan biaya berkali lipat lebih tinggi.
Banyak pihak menilai, SK inilah yang memberi “jalan legal” bagi praktik mafia kuota. Tanpa SK itu, distribusi kuota tambahan seharusnya otomatis kembali ke jamaah reguler tanpa celah penyimpangan.
Mafia Kuota Mendapat Ruang
Setelah SK berlaku, pintu mafia kuota terbuka lebar. Berbagai laporan menyebutkan adanya praktik jual beli kursi haji tambahan dengan harga fantastis. Jamaah yang mampu membayar lebih mahal lewat jalur khusus mendapat kesempatan berangkat lebih cepat, sementara jamaah reguler tetap harus menunggu puluhan tahun.
Sejumlah biro travel, asosiasi penyelenggara, hingga oknum pejabat teknis Kemenag disebut ikut bermain. Aliran dana miliaran rupiah diduga mengalir dari jamaah ke penyelenggara, lalu ke pejabat yang memberi akses kuota.
“Kalau tidak ada SK itu, kasus ini mungkin hanya berhenti di level travel. Tidak mungkin melebar sampai ke pejabat politik atau tokoh besar,” ujar seorang pengamat kebijakan publik.
KPK dan 21 Tersangka
KPK sendiri sudah menetapkan 21 tersangka dalam kasus ini. Mereka berasal dari berbagai latar belakang: pihak swasta, pengurus asosiasi travel, pejabat teknis Kemenag, hingga legislator daerah.
Namun, Yaqut belum masuk daftar tersangka. Ia memang sudah diperiksa sebagai saksi, tetapi KPK berdalih masih mengumpulkan bukti tambahan. “Kami masih mendalami bagaimana SK itu kemudian dimanfaatkan, apakah ada aliran dana atau intervensi langsung,” ujar seorang pejabat KPK.
Pernyataan itu justru memicu kritik publik. Bagaimana mungkin 21 orang sudah ditetapkan tersangka, sementara SK yang menjadi dasar terjadinya penyimpangan dikeluarkan oleh Menag, tetapi pembuat SK belum tersentuh?
Kemana Yaqut?
Pertanyaan ini semakin sering terdengar. Bagi publik, posisi Yaqut jelas penting karena dialah yang menandatangani SK yang kini dianggap sebagai “gerbang korupsi kuota haji”.
Aktivis antikorupsi menilai, alasan KPK terlalu berhati-hati. “Kalau mau adil, siapapun yang membuat kebijakan yang membuka ruang penyimpangan harus bertanggung jawab. Tidak bisa hanya anak buahnya yang dikorbankan,” ujar seorang aktivis.
Sejumlah anggota DPR juga menyuarakan hal yang sama. Mereka mendesak KPK agar tidak tebang pilih. “Kalau memang ada dugaan penyalahgunaan wewenang, harus diproses. Jangan sampai KPK kehilangan kepercayaan publik,” kata seorang legislator.
Ada Apa dengan KPK?
Di tengah kritik itu, muncul pula pertanyaan lain: ada apa dengan KPK? Lembaga antirasuah ini dituding tidak konsisten. Di satu sisi berani menetapkan puluhan orang tersangka, tapi di sisi lain tampak ragu menyentuh level menteri.
Kecurigaan publik menguat karena Yaqut adalah tokoh politik yang masih aktif dan dekat dengan partai besar. “Apakah KPK berani menembus batas politik? Itu pertanyaannya. Karena kasus ini bukan sekadar teknis, tapi sudah masuk ranah kebijakan,” ujar seorang pengamat politik.
Efek Domino
Skandal kuota haji tambahan bukan sekadar persoalan teknis birokrasi. Ia sudah menjadi skandal politik dengan efek domino luas. Jamaah reguler yang mestinya berangkat justru tersisih. Jamaah kaya bisa berangkat lebih cepat dengan membayar lebih. Dan di sisi lain, kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga hukum semakin terkikis.
Jika kasus ini tidak ditangani tuntas, maka preseden buruk akan tercipta: bahwa kebijakan publik bisa dipakai sebagai “jalan resmi” untuk praktik mafia.
Penutup
Kasus ini memberi pelajaran penting: kebijakan publik tidak boleh keluar dari aturan hukum. SK Yaqut, meski mungkin dimaksudkan sebagai solusi administratif, justru membuka ruang penyimpangan.
Tanpa SK itu, skandal ini mungkin tidak akan sebesar sekarang. Namun dengan adanya SK, kasus melebar dan menyeret puluhan orang. Kini tinggal menunggu: apakah KPK akan benar-benar mengusut tuntas, atau berhenti di level teknis saja.
Pertanyaan publik belum terjawab: Kemana Yaqut? Ada Apa dengan KPK?