Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Ketika Pasar Tak Lagi Percaya: Arah Ekonomi Indonesia di Persimpangan

Krisis Kepercayaan sebagai Titik Balik Jakarta - Indonesia kini menghadapi dilema serius: meski kondisi makro menunjukkan masih ada ruang tumbuh, kepercayaan pasar—baik dari investor, dunia...
HomeOpiniRocky GerungRocky Gerung: Ada “Pesan Tersembunyi” di Balik Pertemuan Jokowi–Abu Bakar Ba’asyir?

Rocky Gerung: Ada “Pesan Tersembunyi” di Balik Pertemuan Jokowi–Abu Bakar Ba’asyir?

Jakarta — Pertemuan mendadak antara mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Abu Bakar Ba’asyir, di kediaman Jokowi di Solo beberapa hari lalu memicu gelombang reaksi di ruang publik. Di antara komentar yang mencuat paling cepat adalah analisis pengamat politik Rocky Gerung. Menurut Rocky, pertemuan itu lebih dari sekadar silaturahmi — ada kemungkinan pesan terselubung, atau manuver simbolik yang layak dicermati.

Penting untuk membuka pembacaan atas peristiwa ini dengan menempatkan fakta: pertemuan berlangsung singkat, kedua tokoh bertatap muka secara tertutup, dan kemudian muncul narasi bahwa Abu Bakar Ba’asyir memberi nasihat keagamaan kepada Jokowi. Jokowi sendiri menyatakan bahwa kunjungan tersebut mengejutkannya dan bahwa Ba’asyir memberikan nasihat agar “kembali mengabdi pada Islam.” Laporan liputan foto-momen sungkem menunjukkan interaksi hangat antara keduanya.

Rocky Gerung: “Cemas” dan Mencari ‘Backup Cultural’

Rocky Gerung menafsirkan pertemuan tersebut sebagai tanda kecemasan politik. Ketika basis formal atau saluran kekuasaan mulai melemah, seorang aktor politik besar dapat mencari “payung kultural” — legitimasi moral atau dukungan simbolik dari figur agama berpengaruh. Rocky menyatakan bahwa langkah seperti ini bukan sekadar soal politik praktis, melainkan politik simbol yang berfungsi memperkuat otoritas melalui resonansi kultur.

Analisis Rocky terangkat karena dua alasan. Pertama, Abu Bakar Ba’asyir bukan hanya tokoh keagamaan; bagi sebagian kelompok ia adalah figur simbolis yang pernah berkonfrontasi dengan negara dan memiliki rekam jejak yang kontroversial. Kedua, pertemuan dilakukan pasca masa jabatan Jokowi — sehingga aktor politik yang sudah tidak lagi memegang kursi pemerintahan sering mencari cara mempertahankan pengaruhnya di arena publik non-formal. Rocky menyebut pertemuan itu sebagai “mencari backup” atau payung kultural.

Tiga Bacaan atas Pertemuan: Rekonsiliasi, Legitimasi, atau Instrumentalisasi?

Momen seperti ini bisa dibaca setidaknya dalam tiga kacamata berbeda:

  1. Rekonsiliasi simbolik. Pertemuan bisa dilihat sebagai upaya meredakan ketegangan historis—sebuah isyarat rekonsiliasi antara elite politik sentral dan kelompok yang pernah berseteru dengan negara. Dalam perspektif ini, pertemuan bernilai sebagai dialog lintas spektrum.

  2. Legitimasi moral. Tokoh politik memakai perjumpaan dengan figur agama untuk memperoleh penanda moral yang mempengaruhi persepsi publik. Ketika tokoh agama dihormati oleh segmen masyarakat, kedekatan simbolik itu memberi “cermin moral” bagi bekas presiden. Rocky menyorot kemungkinan ini.

  3. Instrumentalisasi politik. Pembacaan paling kritis — dan yang diangkat Rocky — adalah bahwa ini adalah langkah instrumental: agama dijadikan alat untuk menggalang dukungan non-partisan, menjaga pengaruh sosial, atau bahkan membangun routing komunikasi alternatif jika saluran politik formal melemah. Jika benar demikian, itu mengaburkan batas antara ruang spiritual dan kalkulasi kekuasaan.

Risiko: Politik Agama dan Ambiguitas Niat

Ada sejumlah risiko nyata bila perjumpaan semacam ini dibaca sebagai strategi politik. Pertama, politisasi agama cenderung memecah wacana publik dengan menggeser argumen rasional ke ranah legitimasi moral absolut; lawan politik menjadi “bukan sekadar berbeda pendapat” tetapi berhadapan dengan otoritas religius. Kedua, publik yang terfragmentasi akan lebih mudah dimobilisasi lewat klaim kultural ketimbang program kebijakan—ini mengubah mekanika demokrasi dari debat kebijakan ke kontestasi simbolik. Ketiga, figur agama yang memiliki rekam jejak kontroversial dapat memperuncing kekhawatiran tentang normalisasi kelompok atau ide yang sebelumnya dipersoalkan.

Sebagai contoh konkret, komentator skeptis mengingat bahwa Ba’asyir pernah bermasaalah dengan negara; pertemuan yang hangat itu bisa menimbulkan interpretasi bahwa negara memberi lampu hijau simbolis kepada figur tertentu—satu hal yang mudah diselewengkan oleh berbagai aktor politik. Di sisi lain, pembela pertemuan menunjukkan bahwa ulama berhak menasihati pemimpin, dan pertemuan pribadi tidak harus selalu diatribusikan niat politis.

Bukti vs Interpretasi: Apa yang Bisa Diverifikasi?

Penting untuk membedakan fakta terverifikasi dari tafsir. Fakta: pertemuan terjadi, berlangsung singkat, Ada sungkeman dan penyerahan nasihat; beberapa media merekam momen itu. Tafsir Rocky—bahwa ini manuver mencari payung kultural atau tanda kecemasan politik—adalah interpretasi yang masuk akal tetapi bukan bukti empiris. Pembaca harus memisahkan narasi (apa yang terjadi) dari hipotetis (kenapa itu terjadi).

Implikasi Jangka Menengah: Apa yang Harus Diwaspadai Publik?

  1. Transparansi niat. Tokoh publik yang melakukan pertemuan simbolis dengan figur agama disarankan memberi konteks: apa yang dibicarakan, apakah ada agenda kebijakan, atau sekadar silaturahmi? Ketiadaan konteks membuka ruang spekulasi.

  2. Jaga batas negara-agama. Di negara demokratis plural, pemimpin harus berhati-hati agar hubungan dengan pemuka agama tidak mereduksi kebebasan beragama kelompok lain atau melemahkan netralitas negara.

  3. Penguatan institusi. Jika langkah tersebut dilihat sebagai manuver untuk memperkuat pengaruh pasca jabatan, maka institusi politik dan masyarakat sipil perlu memperkuat mekanisme akuntabilitas normatif—mis. mendorong dialog publik tentang peran tokoh agama dalam politik.

Kritik Rocky sebagai Panggilan untuk Transparansi

Komentar Rocky Gerung, baik yang provokatif maupun mengundang debat, berfungsi sebagai panggilan. Ia meminta publik bertanya: mengapa pertemuan itu terjadi sekarang, apa pesan yang ingin dibawa, dan bagaimana masyarakat memaknai hubungan antar elite politik dan tokoh agama?. Apapun jawabannya, yang mesti dijaga adalah ruang publik yang transparan—agar simbol-simbol tidak menjadi kendaraan terselubung untuk agenda yang tidak dilaporkan kepada rakyat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here