Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Barak TNI Jadi Kelas Kehidupan: Terobosan Kang Dedi Tangani Kejahatan Remaja

Purwakarta — Alih-alih menyerahkan para remaja bermasalah ke jeruji besi, mantan Bupati Purwakarta yang kini dikenal luas sebagai tokoh masyarakat, Kang Dedi Mulyadi, memilih...
HomeNewsPernyataan Bahlil dan “Keharusan” Golkar di Kabinet: Tradisi, Ambisi, atau Keangkuhan Politik?

Pernyataan Bahlil dan “Keharusan” Golkar di Kabinet: Tradisi, Ambisi, atau Keangkuhan Politik?

Jakarta, 4 Oktober 2025 — Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, mengundang kontroversi setelah menyatakan bahwa “siapa pun presidennya, anggota kabinetnya harus dari Golkar.” Ucapan ini sontak memicu perdebatan luas: apakah pernyataan tersebut mencerminkan realitas politik Indonesia yang selama ini sarat dengan kompromi, atau sekadar bentuk keangkuhan politik yang tidak sejalan dengan semangat demokrasi dan amanat UUD 1945?

Golkar dan Tradisi Kekuasaan

Sejak era Orde Baru, Partai Golkar identik dengan kekuasaan. Lahir sebagai kendaraan politik pemerintah, Golkar nyaris tidak pernah berada di luar lingkaran kekuasaan. Bahkan pasca-reformasi, ketika partai-partai lain berani mengambil posisi oposisi, Golkar tetap memilih berada di dalam pemerintahan.

Pernyataan Bahlil menegaskan pola lama itu. Ia menekankan bahwa Golkar “tidak punya budaya oposisi.” Artinya, bagi partai berlambang pohon beringin tersebut, menjadi bagian dari kabinet adalah keniscayaan. Alasan yang kerap dikemukakan adalah kontribusi stabilitas politik, tradisi sejarah, ketersediaan kader berpengalaman, hingga posisi Golkar sebagai salah satu partai besar.

Argumen yang Diperdebatkan

Namun, jika dicermati, empat alasan utama yang menopang argumen “keharusan” Golkar berada di kabinet tampak rapuh. Pertama, sejarah memang mencatat dominasi Golkar, tetapi sejarah bukan jaminan masa depan. Kedua, stabilitas politik sejatinya bisa lahir bukan hanya dari partisipasi Golkar, tetapi dari tata kelola demokrasi yang sehat dan transparan. Ketiga, soal kontribusi kader, publik justru sering diingatkan pada sederet kasus korupsi kader Golkar. Dan keempat, koalisi besar tidak otomatis menuntut kehadiran Golkar, karena konstitusi memberi presiden hak prerogatif untuk menentukan kabinet.

Dengan kata lain, klaim Bahlil bisa dibaca lebih sebagai tekanan politik ketimbang argumen substantif.

Hak Prerogatif Presiden

UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa presiden memegang kekuasaan eksekutif, termasuk hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Tidak ada satu pun pasal yang mewajibkan presiden menunjuk kader dari partai tertentu.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, misalnya, menilai bahwa ucapan Bahlil bisa menimbulkan distorsi dalam praktik ketatanegaraan. “Kalau semua partai merasa wajib masuk kabinet, maka demokrasi kita berubah menjadi transaksi kekuasaan semata. Presiden terbelenggu, publik kehilangan kualitas pemerintahan yang berbasis meritokrasi,” ujarnya.

Jejak Korupsi Kader Golkar

Pernyataan Bahlil juga sulit dilepaskan dari catatan panjang keterlibatan kader Golkar dalam kasus korupsi. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), pada periode DPR 2014–2019, setidaknya 8 anggota DPR dari Golkar terjerat kasus korupsi. Nama-nama besar seperti Azis Syamsuddin (mantan Wakil Ketua DPR) dan Eni Maulani Saragih (Anggota DPR Komisi VII) pernah terseret kasus suap.

Tak berhenti di situ, dalam Pemilu 2024 lalu, Golkar tercatat sebagai partai dengan jumlah caleg mantan koruptor terbanyak, yakni 9 orang. Bahkan, Nurdin Halid, eks terpidana kasus korupsi, berhasil kembali duduk sebagai anggota DPR dari Golkar.

Lebih jauh, laporan media menunjukkan bahwa 23 kader Golkar pernah diproses KPK sebagai anggota DPR dalam kasus suap dan korupsi lainnya. Angka ini menempatkan Golkar sebagai salah satu partai dengan catatan korupsi tertinggi di parlemen.

Implikasi Politik

Dengan rekam jejak seperti itu, tuntutan bahwa Golkar harus berada di kabinet menimbulkan tanda tanya besar: apakah partai ini benar-benar menawarkan kualitas pemerintahan yang bersih, atau sekadar memperjuangkan akses kekuasaan?

Implikasi dari pernyataan Bahlil setidaknya ada tiga:

  1. Mengurangi independensi presiden. Bila pernyataan ini diterima begitu saja, presiden terpilih akan seolah terikat untuk memberi jatah kursi kepada Golkar, terlepas dari pertimbangan kompetensi dan integritas.

  2. Memperlemah oposisi. Demokrasi sehat membutuhkan oposisi yang kuat. Jika Golkar selalu menjadi kolaborator, check and balance terhadap kekuasaan bisa melemah.

  3. Meningkatkan risiko politik transaksional. Bila kursi kabinet dianggap “jatah wajib”, publik bisa melihat politik hanya sebagai ajang bagi-bagi kekuasaan, bukan untuk pelayanan rakyat.

Perubahan Zaman

Konteks politik Indonesia saat ini jelas berbeda dengan era Soeharto. Dulu, kader Golkar memang dikenal mumpuni dalam birokrasi, tetapi kecenderungan korupsi juga kuat. Kini, meski demokrasi lebih terbuka, kecenderungan serupa masih terlihat.

Golkar, dalam banyak kajian, disebut sebagai partai kolaborator kekuasaan. Posisi ini membuatnya rentan diisi oleh kader bermental koruptif, karena insentif terbesar bukanlah oposisi dan advokasi rakyat, melainkan akses ke sumber daya negara.

Penutup

Pernyataan Bahlil Lahadalia bahwa “siapa pun presidennya, anggota kabinetnya harus dari Golkar” seakan menegaskan posisi partainya sebagai partai penguasa abadi. Namun, jika ditelaah lebih dalam, pernyataan itu lebih dekat pada bentuk keangkuhan politik ketimbang argumentasi yang berdasar pada konstitusi dan nilai demokrasi.

Sejarah, stabilitas, kontribusi kader, dan koalisi besar — keempat alasan yang dikemukakan — tidak lagi cukup relevan untuk era kini. Justru dengan catatan panjang kasus korupsi kadernya, Golkar seharusnya lebih rendah hati dan berbenah diri, alih-alih menuntut posisi otomatis di kabinet.

Pada akhirnya, publiklah yang akan menilai. Apakah Golkar mampu memperbaiki citra dan membuktikan bahwa mereka pantas duduk di kursi kekuasaan karena integritas dan kapasitas, ataukah tetap terjebak dalam pola lama: kolaborator kekuasaan dengan bayang-bayang korupsi?


Redaksi Berita Indonesia News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here