Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Jam Tangan

OLEVS Jam Tangan Pria Anti Air Original ahan kulit Keren Led Multifungsi Chronograph Watch Men 2878 Kode Produk ID0052https://katalogproduk.co.id/muhibuddin21/ID0052/cvaiftvsar4s70lfoct0
HomeEconomyDana Pemda Mengendap Rp 233 Triliun, Karena Pejabat Daerah Menunggu “Pengantin” Proyek?

Dana Pemda Mengendap Rp 233 Triliun, Karena Pejabat Daerah Menunggu “Pengantin” Proyek?

Jakarta — Kementerian Keuangan mencatat dana pemerintah daerah (pemda) yang tersimpan di perbankan mencapai Rp 233,11 triliun per Agustus 2025. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.

Lonjakan dana idle ini menimbulkan pertanyaan serius terkait efektivitas belanja daerah dan tata kelola APBD, mengingat anggaran publik justru lebih lama mengendap di bank dibanding bergerak membiayai pembangunan.

Distribusi Dana Mengendap per Kawasan

Berdasarkan data Kemenkeu, dana pemda yang tersimpan di bank per Agustus 2025 tersebar sebagai berikut:

  • Jawa: Rp 84,77 triliun (36,37%)

  • Kalimantan: Rp 51,34 triliun (22,03%)

  • Sumatera: Rp 43,63 triliun (18,71%)

  • Sulawesi: Rp 19,27 triliun (8,27%)

  • Maluku & Papua: Rp 17,34 triliun (7,44%)

  • Bali & Nusa Tenggara: Rp 16,75 triliun (7,19%)

Kawasan Jawa menjadi penyumbang utama saldo dana mengendap, diikuti Kalimantan dan Sumatera.

Penyebab Klasik: Belanja Lambat, Kontrak Molor

Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu, Astera Primanto Bhakti, menjelaskan bahwa pola ini berulang hampir setiap tahun. Meski APBD disahkan sejak September–Oktober tahun sebelumnya, realisasi belanja terutama untuk proyek fisik baru aktif di kuartal kedua.

“Kontrak proyek banyak baru berjalan April, sementara di awal tahun hanya belanja rutin. Akibatnya, uang menumpuk dulu di rekening daerah,” ujar Astera.

Kemenkeu memprediksi saldo kas pemda akan turun ke kisaran Rp 95–100 triliun menjelang akhir 2025. Namun pola penumpukan di pertengahan tahun terus berulang.

Rahasia Umum: Menunggu “Pengantin” Proyek

Selain faktor administratif, sejumlah sumber menilai ada praktik rahasia umum yang ikut memperlambat realisasi proyek.

Biasanya, anggaran rutin mulai berjalan di April, sementara tender proyek fisik baru digelar sekitar Mei–Juni, kecuali untuk proyek prioritas nasional. Penyebabnya, bukan semata proses teknis, melainkan menunggu rampungnya daftar paket yang sudah diarahkan oleh kepala daerah atau pejabat penguasa anggaran.

Dalam praktik lapangan, fenomena ini dikenal dengan istilah “pengantin”. Artinya, calon pelaksana proyek sudah ditentukan jauh sebelum tender dilaksanakan. Perusahaan yang menjadi “pengantin” umumnya telah menyetor sejumlah uang sebagai syarat tak tertulis untuk mendapatkan paket pekerjaan. Dengan demikian diduga kuat dana yang mengendap itu adalah anggaran yang tidak dilaksanakan akibat tidak adanya calon “pengantin” sebagai pelaksana kegiatan anggaran tersebut.

“Proses ini membuat proyek tertunda berbulan-bulan, karena sebelum tender resmi diumumkan, ada negosiasi gelap yang memastikan siapa pelaksana setiap paket,” ujar seorang pengamat kebijakan fiskal daerah yang meminta identitasnya disamarkan.

Dampak Ekonomi: Multiplier Effect Hilang

Keterlambatan belanja daerah berimplikasi langsung pada ekonomi. Dana ratusan triliun yang seharusnya berputar di masyarakat untuk infrastruktur, layanan publik, hingga lapangan kerja, justru mengendap di bank.

Di akhir tahun, pemda biasanya terpaksa melakukan percepatan belanja (spending rush). Praktik ini kerap menghasilkan proyek terburu-buru, kualitas rendah, hingga rawan penyimpangan.

Perlu Reformasi Tata Kelola

Pemerintah pusat menilai percepatan eksekusi belanja adalah kunci agar dana tidak hanya mengendap. Namun menurut para analis, solusi tidak bisa berhenti di level teknis.

“Kalau budaya rente lewat sistem ‘pengantin proyek’ masih dibiarkan, maka siklus uang mengendap dan belanja terburu-buru akan terus berulang,” kata seorang ekonom fiskal dari universitas negeri di Jakarta.

Fenomena dana mengendap Rp 233,11 triliun ini memperlihatkan persoalan mendasar tata kelola keuangan daerah. Lambatnya realisasi belanja bukan hanya soal prosedur, tetapi juga praktik rente politik yang sudah menjadi rahasia umum.

Tanpa reformasi serius untuk menertibkan budaya pengantin proyek, APBD akan terus gagal memberi manfaat nyata bagi rakyat, sementara dana publik hanya menjadi angka besar yang berputar di rekening bank.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here