Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Prabowo Tak Pernah Bahas Pelepasan Aceh dan Papua ke Delegasi Belanda

Jakarta — Narasi menyesatkan kembali beredar di media sosial terkait Presiden Prabowo Subianto. Sebuah unggahan di Facebook pada 28 Juni 2025 menyebutkan bahwa Prabowo...

Sepatu Gucci

HomeEconomyBahlil Sanggah Purbaya Terkait Data Subsidi LPG 3 Kg

Bahlil Sanggah Purbaya Terkait Data Subsidi LPG 3 Kg

Jakarta – Perselisihan data subsidi energi kembali mencuat di ruang publik setelah Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan pernyataan berbeda terkait harga keekonomian LPG 3 kilogram (kg), atau yang akrab disebut gas melon.

Kontroversi ini bermula ketika Purbaya, dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI pada Selasa (30/9/2025), mengungkapkan bahwa harga keekonomian LPG 3 kg mencapai Rp42.750 per tabung. Dengan adanya subsidi dari pemerintah sekitar Rp30.000 per tabung, masyarakat hanya perlu membayar Rp12.750 sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) di pangkalan.

Perbandingan Harga LPG di Asia Tenggara (perkiraan 2024–2025)

NegaraHarga LPG per kg (USD)Estimasi Rupiah/kg (kurs Rp15.500)Catatan
Indonesia~0,92 USD (Rp14.250)Rp14.250Harga keekonomian, bukan harga subsidi.
Malaysia~0,65 USDRp10.000LPG 14 kg dijual murah karena subsidi besar.
Thailand~0,95 USDRp14.700Harga fluktuatif, ada subsidi terbatas untuk rumah tangga miskin.
Vietnam~1,00 USDRp15.500Harga pasar, relatif stabil.
Filipina~1,10 USDRp17.000Harga LPG tinggi, tidak ada subsidi besar.
Singapura~1,50 USDRp23.000Pasar bebas, harga paling mahal di kawasan.

 

“Subsidi ini mencapai sekitar 70 persen dari harga keekonomian. Artinya, negara menanggung beban yang sangat besar agar masyarakat tetap bisa membeli LPG dengan harga murah,” ujar Purbaya dalam rapat tersebut.

Namun, pernyataan itu segera mendapat bantahan dari Bahlil Lahadalia. Menteri ESDM tersebut menilai data yang disampaikan Menkeu belum final dan kemungkinan terjadi salah baca. “Itu mungkin Menkeunya salah baca data. Biasalah, mungkin butuh penyesuaian. Bisa jadi belum dapat masukan yang lengkap dari tim atau dirjennya,” kata Bahlil di Jakarta, Kamis (2/10/2025)

Perbedaan Metodologi

Perbedaan pandangan antara kedua menteri ini terutama terletak pada metodologi perhitungan.

  • Kementerian Keuangan menggunakan pendekatan fiskal makro, yakni menghitung selisih antara harga keekonomian dengan harga jual ke masyarakat. Angka Rp42.750 per tabung dianggap sebagai harga keekonomian yang mencerminkan biaya impor, distribusi, dan faktor makro lain.
  • Kementerian ESDM, sebaliknya, menekankan bahwa data subsidi masih dalam proses validasi teknis bersama Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut Bahlil, variabel seperti volume konsumsi, harga minyak mentah Indonesia (ICP), kurs rupiah, dan biaya distribusi harus diperhitungkan secara lebih rinci sebelum angka final diumumkan.

“Data subsidi ini masih dalam proses pematangan. Kami sedang bekerja sama dengan BPS untuk memastikan angka yang keluar benar-benar valid,” tegas Bahlil.

Sejalan dengan Sri Mulyani

Menariknya, data yang dipaparkan Purbaya sejatinya sejalan dengan pernyataan Menteri Keuangan sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati. Pada awal 2025, Sri Mulyani juga pernah menyebut harga keekonomian LPG 3 kg berada di kisaran Rp42.750, sementara harga jual ke masyarakat Rp12.750. Ia bahkan mengungkapkan bahwa realisasi subsidi LPG 3 kg sepanjang 2024 mencapai Rp80,2 triliun

Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan bukan pada substansi angka, melainkan pada cara membaca dan menyajikan data. Purbaya sendiri mengakui kemungkinan adanya perbedaan pendekatan. “Mungkin Pak Bahlil betul, tapi nanti kita lihat lagi seperti apa. Yang jelas saya dapat angka dari hitungan staf saya. Pada akhirnya, angkanya harusnya sama,” kata Purbaya saat kunjungan kerja di Kudus, Jawa Tengah.

Beban Fiskal dan Target APBN

Subsidi LPG 3 kg memang menjadi salah satu pos terbesar dalam belanja energi negara. Estimasi subsidi mencapai Rp80–87 triliun per tahun. Namun, dalam outlook APBN 2025, pemerintah menargetkan pemangkasan menjadi Rp68,7 triliun, atau turun sekitar 21 persen dari target awal.

Perbedaan tafsir antara Kemenkeu dan ESDM menimbulkan pertanyaan publik: apakah subsidi benar-benar bisa ditekan sesuai target, atau justru berpotensi membengkak jika harga minyak dunia naik dan kurs rupiah melemah.

Implikasi Kebijakan

Polemik ini memiliki beberapa implikasi penting:

  1. Fiskal – Perbedaan data bisa memengaruhi proyeksi APBN. Jika realisasi subsidi lebih tinggi dari target, pemerintah harus melakukan realokasi anggaran.
  2. Kebijakan Energi – Menunjukkan perlunya konsolidasi data lintas kementerian agar tidak terjadi “adu klaim” di ruang publik.
  3. Sosial – Menegaskan kembali urgensi subsidi tepat sasaran. Saat ini, LPG 3 kg masih banyak dikonsumsi rumah tangga menengah dan pelaku usaha kecil yang tidak selalu tergolong miskin.

Bahlil menegaskan bahwa pemerintah sedang merancang skema baru agar subsidi LPG lebih tepat sasaran. Salah satunya melalui integrasi data penerima dalam Data Terpadu Subsidi Energi Nasional (DTSEN) yang dikerjakan bersama BPS.

Penutup

Kontroversi antara Purbaya dan Bahlil memperlihatkan dinamika klasik dalam pengelolaan subsidi energi: tarik-menarik antara pendekatan fiskal makro dan validasi teknis lapangan. Meski berbeda narasi, keduanya sepakat bahwa pada akhirnya angka subsidi harus sinkron.

Bagi publik, perdebatan ini menjadi pengingat bahwa subsidi energi bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan kebijakan strategis yang menyangkut daya beli jutaan rumah tangga. Dengan beban subsidi yang bisa menembus Rp80 triliun per tahun, transparansi data dan konsistensi kebijakan menjadi kunci agar subsidi benar-benar melindungi kelompok yang berhak.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here