Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Jam Tangan

LIGE Jam Tangan Pintar Pria Call Bluetooth Sentuh Penuh Jam Tangan Olahraga  Kesehatan Jam Tangan Pintar Kode Produk ID0094 https://katalogproduk.co.id/muhibuddin21/ID0094/cvbphe453jns70jnotm0
HomeNewsAria Bima Sebut Wartawan “Munafik”, Polemik Transparansi Gaji DPR Kembali Mengemuka

Aria Bima Sebut Wartawan “Munafik”, Polemik Transparansi Gaji DPR Kembali Mengemuka

Jakarta – Pernyataan kontroversial kembali muncul dari Gedung DPR. Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Aria Bima, menyebut wartawan sebagai “munafik” ketika ditanya soal transparansi gaji dan tunjangan anggota dewan. Ucapan itu sontak memicu perdebatan publik, terutama terkait hubungan antara lembaga legislatif dan media yang selama ini berperan sebagai pengawas kekuasaan.

Pernyataan Aria Bima disampaikan saat ia dimintai tanggapan mengenai keterbukaan informasi terkait gaji anggota DPR. Menurutnya, pemberitaan media kerap hanya menyoroti sisi negatif, tanpa melihat beban pengeluaran politik yang harus ditanggung oleh seorang legislator. “Wartawan itu munafik, hanya ingin memberitakan hal-hal jelek tentang DPR,” ujarnya dalam sebuah kesempatan.

Gaji dan Tunjangan vs Beban Politik

Aria Bima menekankan bahwa gaji anggota DPR tidak bisa dilihat semata-mata sebagai pemasukan pribadi. Ia menyebut, sebagian besar dana yang diterima justru habis untuk kebutuhan operasional politik dan sosial.

Ia merinci sejumlah pengeluaran bulanan yang harus ditanggung, antara lain:

  • Operasional tiga unit ambulans dan tiga tangki air untuk kebutuhan masyarakat.
  • Gaji untuk delapan orang karyawan yang membantu aktivitas politik dan sosial.
  • Biaya kampanye serta konsolidasi politik yang tidak sedikit.

Menurutnya, jika hanya melihat angka gaji pokok dan tunjangan, publik akan salah paham. “Yang harus dilihat bukan hanya berapa gaji yang diterima, tapi juga berapa besar pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk melayani masyarakat,” tegasnya.

Ajakan Transparansi Versi Aria Bima

Untuk membuktikan klaimnya, Aria Bima mengajak wartawan dan publik untuk datang langsung ke rumah aspirasinya, “Bale Rakyat Aria Bima”, di Solo, Jawa Tengah. Di sana, ia mengaku siap menunjukkan aktivitas dan pengeluaran yang ia lakukan demi kepentingan konstituen.

Namun, ajakan ini dinilai sebagian kalangan sebagai bentuk transparansi terbatas. Pasalnya, yang ditampilkan hanyalah aktivitas yang dikurasi oleh pihaknya sendiri, bukan laporan keuangan resmi yang bisa diaudit secara independen.

Kritik dan Respons Publik

Pernyataan keras Aria Bima menuai kritik dari sejumlah pihak. Kalangan jurnalis menilai ucapan “munafik” tidak pantas diucapkan oleh seorang pejabat publik. Alih-alih menyerang media, DPR seharusnya membuka data resmi agar publik bisa menilai secara objektif.

Pengamat komunikasi politik menilai, pernyataan tersebut merupakan strategi defensif untuk membalik sorotan publik. Dengan menekankan besarnya beban pengeluaran, Aria Bima berusaha membangun narasi bahwa gaji DPR bukanlah keuntungan pribadi, melainkan “modal politik” yang sebagian besar kembali ke masyarakat.

Namun, strategi ini juga berisiko. Publik bisa menilai bahwa klaim pengeluaran tanpa bukti rinci justru memperkuat kesan DPR enggan transparan. “Kalau memang benar, seharusnya ada laporan resmi yang bisa diakses publik, bukan sekadar klaim,” ujar seorang analis politik.

Media vs DPR: Siapa yang Munafik?

Polemik ini juga membuka perdebatan lebih luas: siapa yang lebih “munafik” antara wartawan dan DPR?

  • Wartawan kerap dituding hanya mencari sensasi dan memberitakan sisi negatif. Namun, dalam kaidah jurnalistik, fungsi utama media adalah mengawasi kekuasaan dan menyuarakan kepentingan publik. Jika ada bias atau framing berlebihan, itu menjadi catatan etis bagi media.
  • DPR di sisi lain, sering dituding tidak konsisten antara janji dan tindakan. Mereka mengaku bekerja untuk rakyat, tetapi publik kerap melihat praktik yang lebih mengutamakan kepentingan politik atau partai.

Dengan demikian, tudingan “munafik” sebenarnya bisa diarahkan ke kedua belah pihak, tergantung perspektif. Namun, karena DPR memegang kekuasaan langsung atas kebijakan dan anggaran, sorotan publik biasanya lebih keras diarahkan kepada wakil rakyat.

Penutup

Kontroversi pernyataan Aria Bima menegaskan kembali pentingnya transparansi dalam demokrasi. Media dituntut menjaga integritas pemberitaan, sementara DPR dituntut membuka data secara resmi agar publik tidak hanya menerima klaim sepihak.

Pada akhirnya, pertanyaan yang lebih relevan bukanlah siapa yang lebih munafik, melainkan bagaimana kedua pihak—media dan DPR—dapat menjalankan perannya secara jujur, terbuka, dan bertanggung jawab. Hanya dengan cara itu, kepercayaan publik terhadap lembaga demokrasi bisa dipulihkan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here