Jakarta, Oktober 2025 — Kredibilitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali dipertanyakan setelah dua kasus besar yang menyeret nama pejabat politik menunjukkan adanya praktik hukum yang terkesan tebang pilih. Kasus dugaan korupsi proyek jalan yang melibatkan mantan Wali Kota Medan, Bobby Nasution, serta dugaan korupsi dana haji dengan pintu masuk kebijakan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, menimbulkan kecurigaan publik bahwa KPK tidak lagi tegak lurus menegakkan hukum.
Alasan KPK untuk tidak memeriksa Bobby maupun belum menetapkan Yaqut sebagai tersangka dipandang sebagai bentuk pengkhianatan terhadap asas keadilan, kesetaraan hukum, dan prinsip konstitusi UUD 1945.
Kasus Bobby: Kepala Daerah yang Tak Tersentuh
Dalam perkara korupsi proyek jalan senilai ratusan miliar rupiah, sejumlah pejabat teknis dan kontraktor sudah diperiksa dan bahkan ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Namun, nama Bobby Nasution, yang saat itu menjabat Wali Kota Medan, justru tidak pernah dipanggil.
KPK beralasan, Bobby tidak disebut dalam keterangan saksi. Logika ini dinilai publik sangat lemah, karena dalam praktik penyidikan, pemanggilan saksi tidak harus bergantung pada penyebutan pihak lain. Penyidik seharusnya bisa memanggil siapa pun yang dinilai memiliki posisi strategis dalam lingkar kasus.
Fakta persidangan justru memperlihatkan hal sebaliknya. Ketua Majelis Hakim Khamozaro Waruwu menyoroti pengajuan pergeseran anggaran proyek yang disetujui gubernur hanya dalam waktu satu hari. Proses instan tanpa evaluasi memadai itu dinilai berisiko dan dapat dikategorikan sebagai kesalahan kebijakan atau kelalaian struktural yang membuka peluang penyimpangan.
Lebih jauh, eks Kadis PUPR Sumut, Topan Ginting, dalam sidang mengaku mengadopsi program jalan sebagai prioritas meski tidak tercantum dalam APBD awal, dan hal itu dilaporkannya kepada Bobby. Fakta ini menunjukkan adanya indikasi bahwa kebijakan proyek muncul dari arahan pimpinan tertinggi. Jika benar demikian, maka kebijakan yang lahir dari visi Bobby menjadi pintu masuk penting untuk menelusuri tanggung jawabnya.
Kesalahan fatal Bobby bukan hanya pada kelalaian mengawasi, tetapi pada kebijakan yang mempercepat persetujuan anggaran tanpa kajian juga terindikasi kolusi serta memberi ruang proyek yang berpotensi bermasalah berjalan dengan legitimasi kepala daerah.
Kasus Yaqut: SK Menteri Jadi Pintu Masuk Korupsi Haji
Dugaan korupsi dana haji pun menjadi sorotan. Banyak pihak menilai bahwa Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas terkait tata kelola biaya haji justru menjadi pintu utama penyimpangan.
SK tersebut mengatur mekanisme pembiayaan, subsidi silang, hingga penunjukan pihak ketiga dalam penyelenggaraan. Dengan demikian, tanggung jawab struktural Yaqut sangat besar karena ia menandatangani aturan yang membuka celah korupsi.
Namun hingga kini, KPK belum menetapkan Yaqut sebagai tersangka. Pola yang muncul mirip dengan kasus Bobby: pejabat teknis di bawahnya diperiksa, tetapi pejabat strategis yang membuat kebijakan justru dibiarkan “aman”.
Kesalahan fatal Yaqut adalah menandatangani SK yang lemah dalam pengawasan dan membuka ruang besar bagi praktik korupsi. Akibatnya, dana umat yang seharusnya dijaga malah berpotensi dikorupsi, merugikan jutaan calon jamaah haji.
UUD 1945 yang Terciderai
Sikap KPK dalam dua kasus ini bukan hanya dipersoalkan dari sisi teknis penyidikan, melainkan juga dari segi konstitusi. Ada beberapa asas UUD 1945 yang jelas tercederai:
Asas Persamaan Kedudukan di Hadapan Hukum
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
→ Jika KPK tidak berani memanggil Bobby atau menetapkan Yaqut sebagai tersangka karena faktor politik, asas equality before the law ini runtuh.Asas Keadilan dan Kepastian Hukum
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
→ Dengan logika “tidak disebut, maka tidak dipanggil”, KPK mempersempit tafsir hukum. Bawahan bisa diperiksa, tapi atasan dengan posisi strategis dibiarkan.Asas Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi
Pasal 28I ayat (4) UUD 1945: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
→ Prinsip ini, yang diperkuat TAP MPR XI/1998 dan UU KPK, menuntut pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Dengan melindungi pejabat strategis, KPK justru melawan semangat ini.
Kesimpulan
KPK kini berada di titik kritis. Dengan tidak memeriksa Bobby dan belum menyentuh Yaqut, publik menilai lembaga ini telah berkhianat kepada amanat UUD 1945 dan keadilan rakyat.
Kasus Bobby menunjukkan bagaimana kesalahan kebijakan kepala daerah yang sarat dengan kolusi bisa menjadi pintu masuk korupsi, sementara kasus Yaqut membuktikan bahwa sebuah SK menteri bisa membuka ruang besar penyalahgunaan dana publik.
Jika KPK terus berlindung di balik alasan prosedural sempit, maka yang dilanggar bukan hanya rasa keadilan, tetapi juga fondasi konstitusi negara: persamaan di depan hukum, kepastian hukum, dan penyelenggaraan negara yang bersih.