Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Era Baru Samba: Carlo Ancelotti Resmi Tangani Timnas Brasil

Dalam dunia sepak bola, keputusan besar tak hanya mengubah taktik—ia mengubah sejarah. Itulah yang terjadi ketika Federasi Sepak Bola Brasil (CBF) secara resmi mengumumkan...
HomeEconomyPemangkasan TKD: Antara Sentralisasi Fiskal dan Perlawanan terhadap Korupsi Daerah

Pemangkasan TKD: Antara Sentralisasi Fiskal dan Perlawanan terhadap Korupsi Daerah

Jakaarta – Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk memangkas Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp200 triliun pada tahun 2026 memicu perdebatan publik. Pemerintah pusat menilai kebijakan ini perlu ditempuh karena tingginya indikasi penyelewengan anggaran di tingkat pemerintah daerah. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk membangun pelayanan dasar, infrastruktur, dan kesejahteraan rakyat justru kerap bocor akibat praktik korupsi yang mengakar di daerah.

Meski kebijakan ini berpotensi menimbulkan resistensi dari kepala daerah, publik sebaiknya melihat konteks yang lebih luas: korupsi di tingkat daerah jauh lebih parah dibandingkan pusat. Data dan pengamatan menunjukkan bahwa korupsi anggaran di daerah bisa mencapai 15–20% dari total APBD, sementara di pusat berada pada kisaran 7,5–12%. Angka ini menggambarkan adanya jurang besar dalam tata kelola keuangan publik, di mana daerah menjadi titik lemah dalam pemberantasan korupsi.

Mengapa Daerah Lebih Rawan Korupsi?

Ada beberapa faktor yang membuat APBD lebih rentan dibandingkan APBN. Pertama, sistem pengawasan di daerah relatif lemah. Aparat pengawas internal daerah sering kali memiliki keterbatasan kapasitas, sementara hubungan personal dan kedekatan politik antara pejabat daerah dengan kontraktor lokal memicu praktik kolusi.

Kedua, politik anggaran daerah yang masih sarat kepentingan. Proses penganggaran di DPRD kerap menjadi ajang transaksi politik antara eksekutif dan legislatif. Tak jarang, proyek pembangunan disusun bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat, melainkan kepentingan elite politik dan kelompok tertentu.

Ketiga, fragmentasi birokrasi. Banyaknya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menyebabkan alokasi anggaran tersebar ke berbagai pos. Kondisi ini membuat celah penyelewengan semakin besar, terutama dalam proyek pengadaan barang dan jasa.

Dampak Konkret: Infrastruktur Murahan dan Kantor Rusak

Salah satu bukti nyata dari tingginya tingkat korupsi daerah adalah kondisi infrastruktur pemerintahan yang memprihatinkan. Banyak kantor pemerintahan dibangun dengan kualitas rendah karena anggaran “dikorupsi” melalui praktik markup atau material yang disengaja diturunkan mutunya. Akibatnya, gedung baru cepat rusak meski miliaran rupiah sudah dihabiskan.

Ironisnya, setiap tahun ada alokasi anggaran pemeliharaan dan perawatan, tetapi realisasinya minim. Dana tersebut kerap tidak digunakan sesuai peruntukan, melainkan kembali menjadi “ladang basah” bagi oknum pejabat daerah. Hal ini menjelaskan mengapa banyak fasilitas publik—dari kantor pemerintahan hingga jalan desa—rusak parah walaupun anggaran terus digelontorkan.

Masyarakat akhirnya menjadi pihak yang paling dirugikan. Alih-alih mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik, warga justru menyaksikan anggaran daerah bocor tanpa hasil nyata.

Sentralisasi Anggaran: Solusi atau Masalah Baru?

Dalam konteks inilah pemerintah pusat memilih memangkas TKD. Langkah ini bukan sekadar pemotongan, melainkan pergeseran mekanisme belanja. Jika sebelumnya dana dikirim ke daerah dalam bentuk TKD, mulai 2026 sebagian anggaran akan langsung dikelola pusat untuk membiayai program di daerah.

Total alokasi pusat untuk program daerah meningkat dari Rp900 triliun (2025) menjadi Rp1.300 triliun (2026). Artinya, meski TKD turun Rp200 triliun, secara keseluruhan belanja pemerintah pusat di daerah justru naik Rp400 triliun.

Pertanyaannya, apakah mekanisme ini efektif? Ada dua sisi mata uang.

  • Sisi positif:
    Dengan pusat mengelola anggaran, risiko korupsi di daerah bisa ditekan. Program akan lebih terstandarisasi dan pengawasan bisa lebih ketat. Sentralisasi juga memungkinkan percepatan proyek-proyek strategis nasional yang kerap tersendat jika hanya mengandalkan Pemda.

  • Sisi negatif:
    Sentralisasi berpotensi menimbulkan tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah. Selain itu, langkah ini bisa dianggap sebagai penggerusan semangat otonomi daerah, yang sejak reformasi 1999 menjadi pilar penting demokrasi Indonesia. Kepala daerah akan kehilangan ruang fiskal untuk berinovasi, sementara masyarakat lokal mungkin merasa kebutuhannya tidak lagi sepenuhnya diperhatikan.

Efisiensi dan Akuntabilitas sebagai Jalan Tengah

Menteri Keuangan sudah menegaskan bahwa kunci dari semua ini adalah efisiensi dan akuntabilitas. Artinya, daerah dituntut memperbaiki tata kelola keuangan, memperkuat pengawasan internal, dan memastikan setiap rupiah digunakan untuk kepentingan publik.

Langkah-langkah yang bisa ditempuh antara lain:

  1. Digitalisasi pengelolaan APBD agar transparan dan bisa diakses publik.

  2. Audit independen berkala terhadap proyek infrastruktur dan belanja modal.

  3. Penguatan inspektorat daerah serta keterlibatan masyarakat sipil dalam mengawasi belanja publik.

  4. Sanksi tegas bagi kepala daerah yang terbukti menyalahgunakan TKD, termasuk pencabutan hak politik.

Tanpa reformasi serius, pemangkasan TKD hanya akan menjadi kebijakan sementara yang tidak menyentuh akar masalah.

Mengembalikan Kepercayaan Publik

Rakyat sudah lama kehilangan kepercayaan terhadap pengelolaan APBD. Kasus demi kasus korupsi kepala daerah, mulai dari bupati hingga gubernur, menjadi bukti nyata bagaimana anggaran daerah dijadikan “bancakan politik”.

Kebijakan pemangkasan TKD seharusnya dipahami sebagai peringatan keras bagi pemerintah daerah: era pengelolaan anggaran yang semrawut sudah berakhir. Daerah harus belajar mengelola anggaran dengan jujur dan bertanggung jawab, atau bersiap kehilangan kewenangan fiskalnya.

Namun pada saat yang sama, pusat juga tidak boleh jumawa. Program langsung dari pemerintah pusat harus benar-benar transparan dan menghindari jebakan birokrasi baru. Jika tidak, kebijakan ini hanya akan memindahkan praktik korupsi dari daerah ke pusat dengan skala yang berbeda.

Penutup

Pemangkasan TKD adalah kebijakan kontroversial, tapi perlu dibaca sebagai upaya serius memperbaiki tata kelola keuangan negara. Data jelas menunjukkan bahwa tingkat korupsi di daerah jauh lebih tinggi daripada pusat, dan hal ini membahayakan kualitas pelayanan publik.

Dengan memangkas TKD, pemerintah pusat ingin mengurangi ruang korupsi sekaligus meningkatkan efektivitas belanja daerah. Namun tantangan besar menanti: bagaimana menjaga keseimbangan antara pengawasan pusat dan kewenangan otonomi daerah, serta memastikan program langsung pusat benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat.

Jika semua ini dikelola dengan baik, kebijakan ini bisa menjadi momentum penting dalam perang melawan korupsi anggaran. Tetapi jika gagal, publik hanya akan menyaksikan “perpindahan lahan basah” dari daerah ke pusat. Pada akhirnya, rakyatlah yang harus menanggung akibatnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here