MEDAN — Persidangan kasus korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara kembali membuka tabir dugaan penyalahgunaan wewenang dalam tata kelola anggaran daerah. Pada Rabu, 2 Oktober 2025, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan menggelar sidang dengan menghadirkan Topan Obaja Putra Ginting, mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Sumut, sebagai saksi kunci.
Kasus ini menyoroti dua proyek jalan bernilai besar, yakni pembangunan Jalan Sipiongot–Batas Labuhan Batu dengan nilai kontrak Rp 96 miliar, serta Jalan Hutaimbaru–Sipiongot di Padang Lawas Utara senilai Rp 61,8 miliar. Kedua proyek dengan total anggaran Rp 158 miliar itu ternyata tidak tercantum dalam APBD 2025, namun tetap dijalankan dengan memanfaatkan pergeseran anggaran melalui Peraturan Gubernur (Pergub).
Kronologi Sidang
Dua terdakwa utama yang duduk di kursi pesakitan adalah Muhammad Akhirun Piliang, Direktur Utama PT Dalihan Na Tolu Grup, serta Muhammad Rayhan Dulasmi, Direktur Utama PT Rona Mora. Jaksa penuntut mendakwa keduanya terlibat dalam pengaturan dan pelaksanaan proyek yang diduga sarat rekayasa.
Dalam sidang tersebut, Topan Obaja Ginting mengaku bahwa penetapan dua proyek jalan tersebut bukanlah murni berdasarkan perencanaan teknis dan prosedur resmi APBD. Ia menyebut, keputusan muncul karena adanya arahan untuk menyesuaikan dengan “visi-misi Bobby Nasution”, Gubernur Sumut saat ini.
“Proyek itu tidak ada dalam APBD 2025, tetapi kami diminta tetap memasukkannya dalam prioritas. Anggarannya digeser melalui Pergub,” ungkap Topan di hadapan majelis hakim.
Selain Topan, saksi lain yang dihadirkan adalah Rasuli Efendi Siregar, Kepala UPT Dinas PUPR Gunung Tua, serta Yasir Ahamadi, mantan Kapolres Tapanuli Selatan. Keterangan mereka memperkuat dugaan bahwa ada perubahan prioritas proyek yang tidak sesuai mekanisme.
Anomali Anggaran dan Pertanyaan Hukum
Fakta bahwa proyek bernilai ratusan miliar dapat dieksekusi tanpa tercatat dalam APBD menimbulkan pertanyaan serius. APBD seharusnya menjadi dokumen hukum tertinggi dalam pengelolaan keuangan daerah, yang disusun bersama DPRD dan eksekutif.
Penggunaan Pergub untuk menggeser anggaran membuka ruang tafsir apakah langkah tersebut sesuai hukum atau justru bentuk penyalahgunaan kewenangan. Dalam aturan perundangan, pergeseran anggaran bisa dilakukan, tetapi hanya pada pos-pos tertentu dan harus sesuai dengan mekanisme yang ketat.
“Kalau sampai proyek baru yang tidak ada dalam APBD bisa muncul lewat Pergub, itu jelas penyimpangan. Mekanisme check and balance diabaikan,” ujar seorang pakar hukum tata negara dari Universitas Sumatera Utara yang enggan disebut namanya.
Jejak Politik dalam Proyek Infrastruktur
Pernyataan Topan Obaja Ginting yang menyebut “visi-misi Bobby Nasution” sebagai landasan pergeseran anggaran menambah dimensi politik dalam kasus ini. Infrastruktur jalan selama ini memang kerap menjadi proyek strategis yang dikaitkan dengan pencitraan politik kepala daerah.
Bobby, sebagai Gubernur Sumut, tentu memiliki wewenang dalam menetapkan prioritas pembangunan. Namun, jika visi-misi dijadikan justifikasi untuk menggeser anggaran tanpa prosedur, maka hal itu bisa menimbulkan masalah serius.
“Pernyataan saksi ini bisa menjadi pintu masuk untuk menelusuri apakah kebijakan politik pembangunan telah disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu. Infrastruktur memang seksi secara politik, tapi jangan sampai jadi pintu korupsi,” kata analis politik lokal.
Modus Proyek: Dari Tender hingga Eksekusi
Berdasarkan dakwaan, perusahaan milik terdakwa diduga memperoleh keuntungan dengan mengatur tender dan memanipulasi pelaksanaan proyek. Ada indikasi penggunaan perusahaan pinjaman (pinjam bendera) untuk memenangkan lelang, serta dugaan mark-up anggaran.
Praktik semacam ini bukan hal baru dalam proyek infrastruktur di daerah. Proyek jalan kerap dijadikan ladang bagi kontraktor dan pejabat untuk mengeruk keuntungan, karena besarnya nilai kontrak serta sulitnya pembuktian teknis di lapangan.
“Mark-up material, kualitas jalan yang tidak sesuai standar, hingga keterlibatan oknum aparat sering terjadi. Kasus ini hanya puncak gunung es dari persoalan kronis pengadaan infrastruktur,” ujar seorang aktivis antikorupsi di Medan.
Dampak bagi Publik
Meski proyek ini bernilai besar, faktanya jalan yang dibangun belum memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat. Beberapa laporan lapangan menunjukkan kualitas pengerjaan yang buruk dan kerusakan dini pada beberapa ruas jalan.
Kerugian negara yang ditaksir dari proyek ini masih dihitung, namun diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah. Jika terbukti, maka masyarakat Sumut yang paling dirugikan: pajak yang seharusnya kembali dalam bentuk infrastruktur berkualitas, justru hilang karena dikorupsi.
Selain itu, kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah pun terancam. Kasus ini menambah daftar panjang skandal korupsi di sektor infrastruktur, setelah sebelumnya kasus serupa juga muncul di proyek jalan lain di Sumut.
Analisis: Simpul Masalah di Tata Kelola
Kasus ini mencerminkan lemahnya tata kelola pembangunan daerah di Indonesia, khususnya dalam pengendalian proyek infrastruktur. Ada beberapa simpul masalah yang tampak:
Perencanaan yang Tidak Konsisten: Proyek bisa muncul tanpa perencanaan APBD yang matang.
Kebijakan Politik yang Dominan: Visi-misi kepala daerah dijadikan dasar tanpa melewati mekanisme hukum.
Tender yang Rawan Manipulasi: Perusahaan tertentu diduga mendapat perlakuan istimewa.
Pengawasan yang Lemah: DPRD dan aparat pengawas internal tidak mampu mencegah pergeseran anggaran yang menyimpang.
Jika tidak ada perbaikan sistemik, kasus seperti ini akan terus berulang.
Penutup: Ujian Integritas Hukum dan Politik
Sidang ini menjadi ujian bagi integritas lembaga peradilan, sekaligus bagi pemerintahan daerah. Jika proses hukum berjalan tegas, maka kasus ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola proyek infrastruktur.
Namun, jika kasus ini hanya berhenti pada kontraktor atau pejabat level menengah, sementara aktor politik di balik kebijakan tidak tersentuh, publik akan semakin pesimis terhadap komitmen pemberantasan korupsi.
Pada akhirnya, jalan seharusnya menjadi simbol konektivitas dan kemajuan ekonomi daerah. Tetapi jika jalannya berawal dari korupsi, yang terjadi hanyalah jalan buntu bagi kesejahteraan rakyat.