Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Kerusuhan di Kwitang: Massa Ojol Bakar Mobil dan Pos Polisi, Dipicu Tewasnya Seorang Driver

Jakarta, 29 Agustus 2025 – Kerusuhan pecah di depan Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) Polda Metro Jaya, kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, pada Jumat...
HomeNewsGugat Hak Pensiun DPR: Amanat UUD 45, Rakyat Sejahtera Bukan Wakil...

Gugat Hak Pensiun DPR: Amanat UUD 45, Rakyat Sejahtera Bukan Wakil Rakyat

Jakarta – Perdebatan mengenai hak pensiun anggota DPR kembali mencuat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menerima gugatan terkait keberlanjutan tunjangan pensiun bagi wakil rakyat. Gugatan ini mempersoalkan keadilan pemberian pensiun seumur hidup kepada anggota DPR, meski mereka hanya menjabat lima tahun, sementara sebagian besar rakyat masih bergulat dengan persoalan kesejahteraan.

Perkara yang terdaftar dengan nomor 176/PUU-XXIII/2025 ini menguji sejumlah pasal dalam UU Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan dan Anggota. Pemohon, yakni Lita Linggayani Gading dan Syamsul Jahidin, berargumen bahwa pemberian hak pensiun bagi anggota DPR menimbulkan beban keuangan negara yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan sosial.

Puan: Semua Ada Aturannya

Menanggapi gugatan tersebut, Ketua DPR Puan Maharani menyatakan bahwa setiap kebijakan harus berlandaskan aturan hukum yang berlaku. Menurutnya, hak pensiun bagi anggota DPR bukanlah keputusan sepihak melainkan sudah diatur dalam UU 12/1980.

“Semua ada aturannya. Tidak bisa hanya melihat satu sisi saja. Regulasi yang mengatur hal itu lahir sejak lama, jadi harus dikaji secara menyeluruh,” kata Puan di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Puan menegaskan bahwa DPR menghormati jalur konstitusional yang ditempuh masyarakat melalui gugatan ke MK, namun menilai perubahan regulasi tidak bisa dilakukan secara sepihak tanpa dasar hukum yang kuat.

Kritik Publik: Wakil Rakyat Sejahtera Duluan

Di sisi lain, gelombang kritik publik kian menguat. Sejumlah aktivis dan akademisi menilai bahwa aturan mengenai pensiun DPR dibuat di masa Orde Baru, dalam kondisi politik yang tidak merefleksikan aspirasi rakyat secara demokratis.

“UU 12/1980 dibuat oleh anggota DPR sendiri pada masa lalu. Jadi wajar muncul kritik bahwa aturan itu belum tentu sesuai dengan kehendak rakyat hari ini,” ujar seorang pengamat politik Universitas Indonesia.

Masyarakat menilai, idealnya DPR dan pejabat negara bisa menikmati pendapatan dan fasilitas yang mapan apabila rakyat terlebih dahulu terjamin kesejahteraannya. Kritik ini merujuk pada Pasal 23 dan Pasal 27 UUD 1945 yang menegaskan bahwa keuangan negara harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak.

Jalur Perubahan: Revisi UU atau Putusan MK

Secara hukum, ada dua jalur yang bisa ditempuh untuk merespons aspirasi publik tersebut. Pertama, legislative review melalui DPR dan pemerintah dengan merevisi UU 12/1980 agar lebih adil dan relevan dengan kondisi sekarang. Kedua, judicial review melalui MK yang bisa menyatakan norma pemberian hak pensiun DPR bertentangan dengan UUD 1945.

“Kalau kehendak rakyat jelas meminta agar hak pensiun DPR dihapus, maka jalan konstitusionalnya adalah revisi undang-undang oleh DPR atau putusan MK yang menghapus norma tersebut,” kata peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Anggaran.

Ujian Legitimasi DPR

Perdebatan ini sejatinya menjadi ujian bagi DPR dalam membuktikan komitmen mereka sebagai wakil rakyat. Publik menilai, wakil rakyat seharusnya menjadi teladan dalam pengelolaan anggaran negara.

“Legitimasi DPR terletak pada seberapa jauh mereka menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri sendiri. Jika DPR bisa merevisi aturan lama ini, itu akan menjadi sinyal positif bagi kepercayaan publik,” ujar analis politik dari LIPI.

Hingga kini, MK masih memproses gugatan tersebut. Apapun hasilnya, isu hak pensiun DPR diyakini akan menjadi sorotan publik yang lebih besar, terutama ketika kesejahteraan rakyat masih jauh dari kata merata.


Catatan redaksi: Artikel ini disusun berdasarkan data gugatan perkara 176/PUU-XXIII/2025 di MK, pernyataan resmi Ketua DPR Puan Maharani, serta pandangan publik dan pengamat politik terkait relevansi UU 12/1980 dengan amanat UUD 1945.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here