Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Prabowo Beri Abolisi untuk Tom Lembong dan Amnesti untuk Hasto

Jakarta, 31 Juli 2025 – Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto resmi memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong, serta amnesti kepada Sekretaris Jenderal...
HomeNewsHabib Rizieq Shihab dan Para Pendeta Bahas Syariat Islam: “Siapa yang Untung?”

Habib Rizieq Shihab dan Para Pendeta Bahas Syariat Islam: “Siapa yang Untung?”

Jakarta – Sebuah diskusi lintas agama berlangsung hangat ketika Habib Rizieq Shihab (HRS) bertemu dengan sejumlah pendeta Kristen di Jakarta. Pertemuan ini bukan hanya ajang silaturahmi, tetapi juga menjadi ruang terbuka untuk membicarakan isu fundamental: penerapan syariat Islam di Indonesia.

Tema besar diskusi ini berangkat dari pertanyaan yang kerap muncul di ruang publik: apakah syariat Islam bila diterapkan di Indonesia akan merugikan umat non-Muslim? Pertanyaan itu dijawab panjang lebar oleh HRS, lalu ditanggapi secara kritis oleh para pendeta.

Pancasila dan Syariat Islam

HRS membuka dialog dengan menegaskan bahwa Indonesia sesungguhnya sudah memiliki dasar yang selaras dengan nilai agama, yaitu Pancasila. Dalam sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, menurutnya jelas bahwa bangsa Indonesia mengakui adanya kewajiban menjalankan ajaran agama masing-masing.

“Kalau umat Islam diminta menjalankan syariat Islam, itu bukan melawan Pancasila. Justru itu menegakkan sila pertama. Sila itu berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan sekadar pengakuan formal, tapi juga praktik syariat dalam kehidupan nyata bagi para pemeluknya,” papar HRS.

Ia menekankan, penerapan syariat Islam tidak serta-merta memaksa umat lain untuk ikut. Prinsipnya jelas: hukum agama berlaku hanya untuk pemeluknya. Seorang Muslim wajib menjalankan syariat Islam, sementara umat lain tetap menjalankan hukum dan keyakinan agamanya masing-masing.

Kekhawatiran Minoritas

Beberapa pendeta menyampaikan kekhawatiran. Menurut mereka, jika aturan publik – termasuk hukum pidana, ekonomi, dan sosial – diatur berdasarkan syariat Islam, maka minoritas dikhawatirkan ikut terdampak.

“Kami khawatir, kalau syariat Islam diterapkan, umat kami harus ikut aturan itu. Misalnya soal pakaian, makanan halal-haram, bahkan pidana hudud,” ujar salah seorang pendeta.

HRS menanggapi dengan tegas bahwa kekhawatiran itu lahir dari kesalahpahaman. “Justru kalau non-Muslim dipaksa ikut aturan Islam, itu melanggar syariat Islam itu sendiri. Karena syariat Islam tidak boleh dipaksakan kepada yang bukan pemeluknya,” jelasnya.

Keuntungan untuk Non-Muslim

HRS lalu mengajukan sebuah logika sederhana. Bila syariat Islam berlaku, justru umat non-Muslim yang lebih ‘diuntungkan’. Mengapa demikian? Karena hukum Islam yang keras hanya berlaku untuk Muslim.

“Contoh, jika seorang Muslim mencuri, hukumannya bisa potong tangan. Tapi kalau seorang non-Muslim mencuri, ia tetap diproses dengan hukum pidana umum, misalnya pasal pencurian KUHP. Jadi non-Muslim tidak terkena hukum syariat,” katanya.

Para pendeta terdiam sejenak mendengar penjelasan ini. Sebagian dari mereka kemudian mengangguk, menyadari bahwa syariat Islam memang bersifat partikular, bukan universal force yang mengikat semua warga negara.

Syariat Islam dan Pencegahan Korupsi

Diskusi berlanjut ke soal korupsi yang marak di Indonesia.

Secara umum, pandangan yang berkembang dalam diskusi adalah bahwa salah satu kelebihan syariat Islam terletak pada aspek efek jera. Hukumannya tegas dan tidak bisa dinegosiasikan. Misalnya, dalam kasus pencurian atau korupsi besar-besaran, syariat mengenal hukuman potong tangan.

Pandangan umum itu berbunyi: “Lihat hari ini, betapa banyak pejabat ditangkap KPK, tapi korupsi terus saja berjalan. Kenapa? Karena hukumannya ringan, bisa dinegosiasikan. Kalau syariat Islam berlaku, siapa yang berani korupsi miliaran rupiah? Hukum Islam tegas, tidak bisa diakali. Inilah efek jera yang kuat.”

Beberapa pendeta yang hadir tampak merenung mendengar argumentasi ini. Seorang pendeta bahkan berkomentar, “Kalau begitu, justru umat Kristen akan lebih ringan hukumannya. Kami hanya dipenjara, sedangkan umat Islam bisa dipotong tangan.”

Ucapan itu memecah tawa seisi ruangan, membuat suasana diskusi sejenak lebih cair.

Dialog tentang Keadilan

Salah satu poin penting dalam dialog adalah prinsip keadilan. HRS menjelaskan bahwa syariat Islam bukan sekadar aturan hukuman, tetapi juga sistem yang menekankan keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi, dan tanggung jawab moral.

“Kalau hanya melihat hukum potong tangan, orang takut. Padahal syariat lebih luas. Ada zakat, infak, sedekah, ada keharusan pemimpin berlaku adil, ada larangan menindas yang lemah. Jadi syariat itu bukan hanya pidana, tapi menciptakan keseimbangan hidup,” ujarnya.

Para pendeta mengakui bahwa prinsip keadilan dalam Islam memiliki kesamaan dengan ajaran Kristen. “Kami pun mengajarkan kasih dan keadilan. Kalau syariat Islam membawa keadilan bagi pemeluknya, itu hal yang bisa dihormati,” kata seorang pendeta senior.

Menjawab Salah Paham Publik

Dalam percakapan itu, HRS juga menyoroti bahwa sering kali isu syariat Islam ditampilkan di media seolah-olah menakutkan. Padahal, jika ditelaah, hukum itu hanya berlaku bagi Muslim. “Kalau ada non-Muslim bilang takut syariat Islam, itu karena informasi yang sampai tidak lengkap,” tegasnya.

Seorang pendeta menimpali, “Kalau begitu, perlu ada sosialisasi lebih luas. Supaya umat kami juga tahu, syariat Islam itu bukan untuk mereka, tapi khusus bagi Muslim.”

Syariat Islam dan Pemberantasan Korupsi

Isu korupsi kembali mengemuka di sesi akhir dialog. Para tokoh agama sepakat bahwa korupsi adalah penyakit bangsa yang sudah kronis. Sanksi yang ringan membuat para pelaku tidak kapok.

“Kalau hukumannya hanya penjara, kadang masih bisa dinegosiasikan. Bahkan ada yang keluar penjara, lalu mengulangi lagi,” ujar salah seorang pendeta.

Dalam perspektif syariat Islam, korupsi setara dengan pencurian besar. Maka hukumannya bisa sangat berat. Pandangan umum yang mengemuka adalah, jika aturan ini ditegakkan, korupsi akan jauh berkurang karena umat Islam takut dengan hukuman yang tidak bisa ditawar.

Penutup: Kesepahaman yang Tercapai

Diskusi lintas iman itu akhirnya berakhir dengan sebuah titik temu. Para pendeta yang semula khawatir, pada akhirnya memahami bahwa penerapan syariat Islam justru tidak merugikan umat non-Muslim. Sebaliknya, mereka melihat bahwa tanggung jawab berat justru dipikul oleh umat Islam sendiri.

“Kalau umat Islam menjalankan syariat, mereka yang akan menanggung resiko hukumannya. Kami tidak. Tapi tentu, kami menghormati itu sebagai bagian dari keyakinan mereka,” ujar seorang pendeta sebelum forum ditutup.

HRS pun menegaskan kembali: “Indonesia adalah negara dengan umat Islam terbanyak di dunia. Jika syariat Islam tidak ditegakkan di negeri ini, maka umat Islam akan terus menghadapi masalah besar, termasuk maraknya korupsi. Sebab hukum yang ada terlalu longgar. Dengan syariat, ada efek jera, ada keadilan, ada keseimbangan.”

Akhirnya, para tokoh agama yang hadir dapat memahami maksud pentingnya penegakan syariat Islam di Indonesia. Bukan untuk memaksa, apalagi merugikan pihak lain, melainkan untuk menertibkan umat Islam sendiri agar lebih jujur, adil, dan bertanggung jawab. Dan mereka pun sepakat: selama ini banyak koruptor lahir dari kalangan umat Islam sebab umat islam mayoritas juga karena hukum negara terlalu mudah diakali. Dengan syariat Islam, umat Islam dituntut lebih keras, sementara umat lain tetap aman dengan hukum mereka.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here