Jakarta – RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sudah diusulkan sejak 2008 lewat PPATK. Penundaan berlarut-larut terhadap pengesahan RUU Perampasan Aset semakin memanaskan situasi politik nasional. Publik kini menyorot tajam peran para Ketua Umum partai politik dan anggota DPR RI yang dinilai menjadi penghambat utama lahirnya undang-undang strategis ini.
RUU Perampasan Aset seharusnya menjadi instrumen hukum penting untuk memiskinkan koruptor dan mengembalikan uang negara yang dijarah. Namun, hingga hari ini, rancangan tersebut terus tertahan dengan alasan menunggu pembahasan KUHAP baru, harmonisasi regulasi, hingga dalih “belum prioritas” di Prolegnas.
Alasan formal itu tidak meredakan kemarahan publik. Sebaliknya, masyarakat semakin curiga bahwa penundaan ini sarat kepentingan politik. Dugaan yang berkembang: para Ketua Umum partai dan anggota DPR tidak ingin membuka celah hukum yang bisa mengancam aliran dana gelap atau menutup praktik transaksi jual-beli pasal di parlemen.
“Rakyat sudah di ubun-ubun. Mereka melihat DPR lebih sibuk menjaga kepentingan partai daripada menyelamatkan uang negara. Kalau dibiarkan, kepercayaan publik akan runtuh total,” kata seorang analis politik.
Kemarahan masyarakat wajar mengingat kasus korupsi terus berulang sementara upaya pemulihan aset negara berjalan lambat. Dengan RUU ini, aparat penegak hukum bisa langsung merampas aset hasil tindak pidana tanpa menunggu vonis pidana, sebuah terobosan yang sangat ditunggu.
Namun, resistensi dari elit politik membuat harapan itu seakan dipasung. Akibatnya, gelombang kritik kian membesar dan menempatkan DPR pada posisi serba sulit. Jika terus menahan, mereka akan semakin kehilangan legitimasi.
RUU Perampasan Aset kini menjadi simbol pertarungan antara kehendak rakyat melawan kepentingan politik partai. Publik menuntut: jangan lagi ada alasan, segera sahkan atau bersiap menghadapi kemarahan rakyat yang sudah berada di puncak kesabaran.