Jakarta – Australia memilih tidak mengirim perwakilan resmi dalam pelantikan Presiden Prabowo Subianto. Secara diplomatik, ini memang bukan “krisis”, tetapi di dunia politik internasional setiap simbol punya arti. Ketika negara tetangga sekaligus mitra strategis dekat seperti Australia mengambil jarak, maka ada pertanyaan: apakah ini pesan politik, atau sekadar kalkulasi pragmatis?
Di sisi lain, absennya Australia kontras dengan kehadiran sejumlah tokoh asing lain, termasuk wakil dari Tiongkok, Rusia, hingga negara-negara Asia Tenggara. Hal ini menguatkan persepsi bahwa Canberra ingin menunjukkan ketidaknyamanan pada arah kebijakan Indonesia yang kian fleksibel, terutama terhadap Moskow.
Biak: Titik Strategis di Khatulistiwa yang Jadi Rebutan
Pulau Biak, Papua, sudah lama diincar sebagai lokasi peluncuran satelit karena keunggulan geografisnya: dekat khatulistiwa, sehingga biaya energi peluncuran bisa ditekan. Lokasi ini bisa bersaing dengan Kourou di Guyana Prancis atau Baikonur di Kazakhstan.
Rusia, melalui Roscosmos, menunjukkan minat serius. Diskusi mengenai pembangunan fasilitas antariksa sipil di Biak sudah pernah muncul sejak 2000-an, tetapi kini kembali relevan di tengah konstelasi geopolitik baru.
Bagi Rusia, akses ke Biak adalah peluang emas untuk memperluas kehadiran di Indo-Pasifik, sekaligus melewati isolasi akibat sanksi Barat. Bagi Indonesia, tawaran Rusia memperkuat posisi tawar di hadapan kekuatan besar lain.
Reaksi Australia dan Amerika: Dari Kekhawatiran ke Kecurigaan
Australia merespons isu Biak dengan nada waspada. Jarak Biak ke Darwin hanya sekitar 1.300 km—bisa ditempuh pesawat tempur dalam waktu kurang dari 2 jam. Meski Indonesia menegaskan proyek itu murni sipil, Canberra khawatir fasilitas tersebut bisa bergeser menjadi dual-use (sipil-militer).
Amerika Serikat juga tidak tinggal diam. Washington melihat setiap langkah Rusia di Asia Tenggara sebagai upaya mengganggu dominasi strategis AS di Indo-Pasifik. Ada kekhawatiran bahwa kerja sama satelit dapat membuka pintu pada alih teknologi sensitif, atau bahkan pengintaian berbasis ruang angkasa.
Di titik inilah ketegangan muncul. Australia dan AS melihat Biak bukan sekadar proyek antariksa, melainkan potensi “Trojan horse” Rusia di halaman belakang mereka.
Indonesia Punya Semua Kartu Penting
Indonesia berada di posisi tawar unik:
Geografi strategis: dari Selat Malaka hingga Biak, seluruh jalur vital perdagangan dunia melewati wilayah Indonesia.
Sumber daya alam: nikel, batu bara, minyak, gas, hingga potensi energi baru terbarukan.
Populasi besar: pasar domestik yang menggoda sekaligus tenaga kerja muda yang melimpah.
Lokasi antariksa: Biak sebagai salah satu “prime location” untuk industri luar angkasa dunia.
Fakta ini membuat Indonesia berada pada posisi yang “diinginkan semua orang”. Prabowo tampaknya sadar bahwa nilai tawar Indonesia bukan sekadar pada kekuatan ekonomi atau militer, tetapi pada geografi dan aset strategis yang tidak tergantikan.
Diplomasi Personal ala Prabowo
Berbeda dengan gaya Jokowi yang pragmatis-ekonomi, Prabowo dikenal mengandalkan diplomasi personal. Ia membangun hubungan langsung dengan para pemimpin dunia, seringkali lewat komunikasi informal, pertemuan tatap muka, atau simbol-simbol persahabatan pribadi.
Strategi ini memiliki kelebihan:
Fleksibilitas dalam menggeser posisi tawar.
Mampu mengirim sinyal politik tanpa harus membuat dokumen formal.
Membuat Indonesia tampak “dekat” dengan semua pihak, meski tanpa berkomitmen mutlak.
Namun ada risikonya: diplomasi personal bergantung pada figur, sehingga konsistensinya diuji dalam jangka panjang.
Catatan Akhir: Indonesia Sebagai Pemain, Bukan Penonton
Absennya Australia di pelantikan Prabowo dan isu kerja sama Biak–Rusia bukan peristiwa terpisah, melainkan bagian dari puzzle geopolitik besar.
Indonesia sedang menegaskan diri sebagai pemain aktif yang bisa berhubungan dengan semua kekuatan global.
Australia dan Amerika harus mulai menerima kenyataan bahwa Jakarta tidak lagi sekadar “mitra junior”, melainkan negara yang berani memainkan kartu strategisnya.
Prabowo menempatkan Indonesia sebagai negara yang “punya semua yang dunia butuhkan”—dan ia sendiri menjadi aktor utama yang memainkan kartu tersebut lewat diplomasi personal.
Dengan kata lain, era baru telah dimulai: Indonesia bukan sekadar obyek dalam perebutan pengaruh global, tetapi subyek yang mengatur tempo permainan.