Jakarta — Setelah mengungkap anomali data ekspor-impor nikel Indonesia–China yang menimbulkan potensi kerugian negara hingga Rp 970 triliun, investigasi berlanjut pada pertanyaan utama: siapa yang bermain di balik penyelundupan ini?
Oligarki Tambang dan Penguasa Izin
Sejak larangan ekspor bijih nikel diberlakukan pada 2020, izin usaha pertambangan (IUP) menjadi komoditas politik. Sejumlah nama besar pengusaha tambang disebut-sebut mendapatkan akses istimewa.
“Di tingkat daerah, banyak IUP bermasalah yang justru dibiarkan. Ada perusahaan kecil yang menjadi ‘bendera’ bagi pemain besar untuk mengalirkan bijih nikel ke luar negeri,” kata seorang sumber di lingkaran industri tambang yang enggan disebutkan namanya.
Beberapa perusahaan tambang lokal juga diduga berperan sebagai “penyalur bayangan” ke smelter, sebelum barang itu keluar ke jalur ekspor gelap menuju China.
Dugaan Peran Aparat dan Pejabat
Modus penyelundupan skala besar mustahil berjalan tanpa backing dari aparat dan pejabat berwenang. Sejumlah laporan menyebut adanya oknum yang:
Membiarkan kapal pengangkut bijih nikel lolos dari pengawasan pelabuhan.
Memanipulasi dokumen ekspor, dengan melabeli bijih mentah sebagai ferro-nikel atau slag (sisa peleburan).
Menutup mata terhadap selisih data bea cukai Indonesia–China.
Dalam sebuah dokumen investigasi internal yang bocor ke publik, disebutkan adanya indikasi aliran dana ke sejumlah pejabat pusat dan daerah. Dana ini diduga sebagai suap untuk melancarkan jalur ekspor ilegal.
Baca juga : https://beritaindonesia.news/2025/09/25/skandal-nikel-indonesia-dugaan-korupsi-dan-penipuan-menelan-kerugian-negara-rp-970-triliun-1/
1. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Pemberi Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Menentukan kuota produksi, kewajiban penjualan ke smelter, dan pengawasan larangan ekspor.
Celah: banyak IUP kecil yang jadi “bendera” untuk pengusaha besar.
2. Kementerian Perdagangan (Kemendag)
Otoritas pemberi izin ekspor (surat persetujuan ekspor).
Celah: manipulasi klasifikasi HS code (misalnya bijih nikel mentah dilabeli sebagai ferro-nikel atau slag).
3. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Kemenkeu)
Mengawasi keluar-masuk barang di pelabuhan.
Celah: dokumen bisa “diplintir” agar kapal lolos, atau pembiaran karena adanya backing.
4. Kementerian Perhubungan (Kemenhub)
Mengawasi lalu lintas kapal di pelabuhan.
Celah: kapal pengangkut bijih bisa lolos tanpa pemeriksaan detail muatan.
5. Kementerian BUMN & Holding Tambang (MIND ID, ANTAM)
BUMN tambang ikut dalam tata kelola nikel, terutama sebagai pemasok smelter domestik.
Celah: BUMN bisa jadi “tameng” untuk melapisi transaksi perusahaan swasta.
6. Pemerintah Daerah (Pemprov & Pemkab)
Kepala daerah punya kewenangan pengawasan tambang.
Celah: IUP abal-abal, pungutan liar, pembiaran pengiriman ilegal dari daerah.
7. Aparat Penegak Hukum (Polisi, TNI AL, Kejaksaan)
Berwenang menindak penyelundupan di laut maupun darat.
Celah: praktik suap agar kapal lolos atau kasus dihentikan.
8. Importir & Otoritas China (GACC – General Administration of Customs China)
Pencatat resmi impor nikel.
Data GACC terbuka: mereka jelas mencatat jutaan ton nikel asal Indonesia meski Indonesia klaim nol ekspor.
Celah: perusahaan importir bisa bekerja sama dengan eksportir bayangan di Indonesia.
Jaringan Lintas Negara
Jejak penyelundupan nikel tidak berhenti di dalam negeri. Data kepabeanan China menunjukkan bahwa sebagian besar nikel asal Indonesia masuk melalui pelabuhan di Guangdong dan Fujian, dua kawasan yang menjadi pusat industri baja tahan karat.
Di sana, importir China tercatat membeli bijih nikel dengan harga lebih rendah dibanding harga pasar internasional. Skema ini menguntungkan dua pihak: eksportir ilegal di Indonesia dan importir di China, sementara negara dirugikan besar-besaran.
Infografis Jaringan Skandal Nikel
Untuk menggambarkan bagaimana rantai ini bekerja, berikut peta sederhana jaringan dugaan ekspor ilegal:
Tambang → Perantara lokal → Smelter/Perusahaan bendera → Pelabuhan → Importir China → Industri baja
🔗 Di setiap mata rantai, ada potensi keterlibatan oknum pejabat dan aparat.
Mengulang Pola BLBI dan Migas
Pengamat menilai skandal nikel ini memiliki pola yang sama dengan kasus besar sebelumnya: BLBI, Century, hingga mafia migas.
“Skandal nikel bukan sekadar soal tambang. Ini tentang bagaimana oligarki dan pejabat berkolusi mengeruk kekayaan negara. Nilainya luar biasa, hampir Rp 1.000 triliun. Kita seperti mengulang sejarah BLBI, hanya beda sektor,” ujar seorang peneliti ekonomi politik.
Kesimpulan Episode 2
Skandal nikel Indonesia bukan hanya soal angka di atas kertas, tetapi juga soal aktor-aktor besar yang mengendalikan arus perdagangan ilegal. Selama tidak ada transparansi dan penegakan hukum serius, “hantu triliunan rupiah” akan terus menghantui ekonomi Indonesia.
Catatan : BVI dan Seychelles adalah dua wilayah offshore financial center alias surga pajak (tax haven).
📌 BVI (British Virgin Islands)
Wilayah seberang laut Inggris di Karibia.
Dikenal sebagai salah satu pusat perusahaan cangkang terbesar di dunia.
Memiliki aturan kerahasiaan tinggi: identitas pemilik perusahaan (beneficial owner) sulit dilacak.
Pajak hampir nol, biaya pendirian murah, dan tidak ada kewajiban laporan publik.
📌 Seychelles
Negara kepulauan kecil di Samudera Hindia.
Sama seperti BVI, sering dipakai untuk mendirikan perusahaan offshore.
Memfasilitasi rekening bank dan perusahaan cangkang dengan perlindungan kerahasiaan.
Mengapa dipakai dalam skandal nikel?
Karena:
Mudah dan murah → cukup paspor dan biaya ratusan dolar bisa bikin perusahaan di BVI/Seychelles.
Anonimitas tinggi → nama asli pemilik bisa disembunyikan di balik nominee director/shareholder.
Tidak transparan → sulit dilacak oleh aparat Indonesia atau publik.
Dipakai global → banyak kasus korupsi, suap, dan pencucian uang (Panama Papers, Paradise Papers) mencatat BVI & Seychelles sebagai lokasi favorit.
Singkatnya, kalau dana hasil penyelundupan nikel masuk ke BVI/Seychelles, hampir mustahil publik tahu siapa pemilik sesungguhnya kecuali ada kerja sama internasional untuk membuka data.