Jakarta — Skandal nikel kembali menyeruak setelah terungkap adanya perbedaan mencolok antara data perdagangan Indonesia dan China. Meski pemerintah resmi melarang ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020, catatan bea cukai China justru menunjukkan impor nikel dari Indonesia dalam jumlah jutaan ton setiap tahun. Anomali ini menguatkan dugaan adanya praktik korupsi, penyelundupan, dan manipulasi data perdagangan yang berpotensi merugikan negara hingga Rp 970 triliun.
Larangan Ekspor, Tapi Data China Berkata Lain
Pada 2019, pemerintah Indonesia mempercepat kebijakan larangan ekspor bijih nikel untuk mendukung hilirisasi industri. Aturan ini efektif berlaku mulai 1 Januari 2020.
Sejak itu, Kementerian Perdagangan Indonesia berkali-kali menegaskan bahwa ekspor ore nikel resmi adalah nol. Namun, laporan resmi Administrasi Umum Kepabeanan China (GACC) mencatat impor dari Indonesia sebagai berikut:
Tahun | Ekspor Indonesia (Data Kemendag) | Impor China (Data GACC) |
---|---|---|
2020 | 0 juta ton | 5,56 juta ton |
2021 | 0,00004 juta ton | 4,8 juta ton |
2022 | 0 juta ton | 6,2 juta ton |
2023 | 0,5 juta ton | 7,856 juta ton |
Perbedaan data ini bukan sekadar selisih, melainkan lonjakan yang tidak masuk akal: di satu sisi Indonesia klaim nol, di sisi lain China justru mencatat jutaan ton impor.
Dugaan Modus: Penyelundupan dan Rekayasa Klasifikasi
Sejumlah ekonom dan pengamat perdagangan menduga ada dua modus besar dalam praktik ini:
Penyelundupan langsung
Bijih nikel tetap dikirim ke China melalui jalur laut, tetapi tidak tercatat dalam sistem ekspor resmi Indonesia.Reklasifikasi produk
Bijih nikel mentah disamarkan sebagai ferro-nikel atau produk olahan rendah kadar, lalu dilegalkan sebagai ekspor yang sah. Padahal, secara substansi tetap berupa bijih mentah.
Fakta Data dan Timeline Anomali
Berikut visualisasi investigatif yang memperlihatkan kontras data perdagangan dan garis waktu kebijakan pemerintah:
📊 Perbandingan Ekspor Indonesia vs Impor China (2020–2023)
🗂️ Disertai timeline larangan ekspor dan catatan anomali data.
Kerugian Negara Rp 970 Triliun
Berdasarkan hitungan ekonom, jika harga rata-rata bijih nikel global berkisar USD 100–150 per ton, maka selisih jutaan ton ekspor ilegal ke China dapat menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 970 triliun dalam empat tahun terakhir.
Kerugian ini tidak hanya berupa hilangnya potensi pendapatan negara, tetapi juga merusak tujuan hilirisasi yang sejak awal digadang-gadang pemerintah.
Pemerintah Perlu Transparansi
Hingga kini, pemerintah Indonesia belum memberikan jawaban detail terkait perbedaan data tersebut. Pihak Kementerian Perdagangan dan Kementerian ESDM hanya menegaskan bahwa ekspor ore nikel tetap dilarang.
Namun, tanpa audit menyeluruh dan transparansi lintas kementerian, dugaan bahwa ada permainan oknum pejabat dan oligarki tambang semakin menguat.
Catatan Redaksi
Tulisan ini adalah bagian pertama dari liputan investigatif mengenai skandal nikel Indonesia. Episode selanjutnya akan mengupas jaringan oligarki, dugaan suap, serta aliran dana gelap yang terkait dengan praktik penyelundupan nikel ke luar negeri.