Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Sumatera Utara Tetapkan Empat Prioritas Pembangunan RKPD 2025: Menjawab Tantangan, Menata Harapan

Medan, Mei 2025 — Pemerintah Provinsi Sumatera Utara secara resmi menetapkan empat prioritas utama dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) untuk Rencana Kerja Pemerintah Daerah...

Press Releases

HomeHukumKetika Ribuan Jemaah Reguler Gagal Berangkat, Uang Haram Berubah Menjadi Aset Mewah

Ketika Ribuan Jemaah Reguler Gagal Berangkat, Uang Haram Berubah Menjadi Aset Mewah

Jakarta – Tahun 2024, Indonesia mendapat tambahan 20.000 kuota haji dari Pemerintah Arab Saudi. Tambahan ini seharusnya menjadi kabar gembira bagi ratusan ribu calon jemaah yang sudah menunggu bertahun-tahun dalam antrean panjang. Aturan resmi pembagian kuota jelas: 92 persen untuk jemaah reguler, 8 persen untuk haji khusus.

Namun, fakta di lapangan berbeda. Kuota tambahan itu justru dibagi rata: 50 persen reguler, 50 persen khusus. Perubahan komposisi ini membuka ruang gelap yang segera dimanfaatkan oleh oknum. Kuota khusus yang seharusnya terbatas, berubah menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan.

Sejumlah biro travel haji diduga menyetor antara USD 2.600 hingga 7.000 per kursi (sekitar Rp41,9 juta–Rp113 juta) kepada oknum di Kementerian Agama (Kemenag). Dana itu berasal dari calon jemaah yang dijanjikan bisa berangkat tanpa harus menunggu antrean panjang.

Rp1 Triliun yang Menguap

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperkirakan nilai aliran dana dalam kasus ini mencapai Rp1 triliun. Angka fantastis itu tidak berhenti di meja pejabat. Dana mengalir berlapis-lapis, melalui tangan travel, asosiasi, hingga oknum pejabat, lalu berubah wujud menjadi berbagai aset.

Di antara aset yang sudah terdeteksi adalah:

  • Rumah mewah di Jakarta Selatan
  • Mobil-mobil baru
  • Tanah dan bangunan
  • Simpanan tunai miliaran rupiah

Pola ini sesuai dengan modus klasik pencucian uang (TPPU): hasil korupsi disamarkan menjadi aset legal agar sulit dilacak.

Baca juga : https://beritaindonesia.news/2025/09/25/penetapan-tersangka-kasus-haji-yang-terkatung-katung-apakah-ada-tekanan/

Jemaah yang Tersisih

Di balik angka-angka besar itu, ada ribuan wajah kecewa. Sekitar 8.400 jemaah reguler kehilangan hak berangkat. Mereka yang sudah menabung bertahun-tahun harus kembali menunggu, sementara kursi mereka dijual kepada mereka yang mampu membayar lebih.

Cerita-cerita serupa muncul dari berbagai daerah: calon jemaah yang sudah melunasi biaya, koper yang sudah disiapkan, hingga keluarga yang sudah menggelar doa syukuran. Semua pupus karena kuota reguler dipotong.

Bagi publik, inilah luka paling nyata. Ibadah suci yang seharusnya menjadi hak setiap muslim yang mampu, justru dijadikan komoditas. Keadilan sosial dikorbankan demi keuntungan segelintir orang.

Lobi dan Jaringan Travel

KPK mengendus adanya lebih dari 100 biro travel dan sejumlah asosiasi yang melobi Kemenag. Skemanya sistemik:

Travel → Asosiasi → Oknum Kemenag → Aset.

Ini bukan sekadar praktik individu, melainkan jaringan yang terstruktur. Asosiasi travel diduga menjadi pintu masuk utama, mengkoordinasi setoran dari berbagai biro untuk kemudian disalurkan ke pejabat terkait.

Dengan pola ini, keuntungan tidak hanya dinikmati oleh satu-dua orang, melainkan menyebar ke banyak pihak. Inilah yang membuat kasus ini begitu kompleks dan sulit diurai.

Bayang-Bayang TPPU

KPK sudah memberi sinyal keras: jika terbukti, kasus ini tidak berhenti pada pasal korupsi. Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) siap menjerat.

“Kalau kita temukan nanti bahwa uang hasil tindakan korupsi itu sudah dialihkan, bentuknya sudah dibelikan terhadap mungkin kendaraan, properti lainnya, kita akan TPPU-kan,” ujar Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu.

Dengan jeratan ganda, ancaman hukuman semakin berat. Selain hukuman penjara, peluang penyitaan aset juga makin besar. Artinya, rumah, mobil, dan tanah yang dibeli dari uang haram bisa dirampas negara.

Status Penyelidikan

Hingga kini, KPK belum mengumumkan tersangka. Namun, penyidikan sudah berjalan. KPK menegaskan, pengembangan perkara ke arah TPPU hanya bisa dilakukan setelah dua alat bukti sah terpenuhi.

Meski demikian, arah kasus ini sudah jelas. Fakta bahwa uang hasil dugaan korupsi telah dialihkan menjadi aset adalah pintu masuk kuat untuk jeratan TPPU.

Analisis: Lebih dari Sekadar Korupsi

Kasus kuota haji ini bukan hanya soal uang. Ia menyentuh kepercayaan publik pada negara dalam mengelola ibadah paling sakral.

  • Kerugian negara: Rp1 triliun lebih.
  • Kerugian sosial: ribuan jemaah gagal berangkat.
  • Kerugian moral: ibadah dijadikan komoditas.

Jika TPPU benar-benar diterapkan, kasus ini bisa menjadi preseden penting. Bahwa korupsi yang menyentuh ranah publik dan agama tidak hanya ditindak sebagai kejahatan finansial, tetapi juga sebagai kejahatan moral yang harus dihukum maksimal.

Penutup

Kasus kuota haji ini adalah cermin buram tata kelola ibadah di Indonesia. Ia menunjukkan bagaimana celah regulasi bisa dimanfaatkan untuk memperkaya diri, bahkan di ranah yang seharusnya paling suci.

Di satu sisi, ribuan jemaah reguler harus menelan kekecewaan. Di sisi lain, rumah-rumah mewah dan mobil baru berdiri megah dari hasil uang haram.

Kini, publik menunggu langkah tegas KPK. Apakah jeratan TPPU benar-benar akan diterapkan? Jika ya, kasus ini bisa menjadi tonggak penting dalam perang melawan korupsi: bahwa tidak ada ruang aman bagi mereka yang memperdagangkan ibadah dan mengorbankan rakyat demi keuntungan pribadi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here