Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Bank Mandiri Tunjuk Riduan sebagai Direktur Utama dalam RUPSLB 4 Agustus 2025

Jakarta, 4 Agustus 2025 – PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) dengan agenda tunggal: pergantian jajaran...
HomeNewsPrabowo Percepat Pengambilalihan Tanah Terlantar, Reforma Agraria Yang Rawan Ditunggani Pemodal

Prabowo Percepat Pengambilalihan Tanah Terlantar, Reforma Agraria Yang Rawan Ditunggani Pemodal

Jakarta – Presiden Prabowo Subianto memerintahkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Tujuan revisi ini adalah mempercepat proses pengambilalihan tanah terlantar, dari sebelumnya membutuhkan waktu hingga 587 hari menjadi hanya 90 hari.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menegaskan percepatan tersebut sejalan dengan arahan Presiden untuk mempercepat redistribusi tanah kepada masyarakat. “Bapak Presiden ingin proses ini dipangkas agar tanah yang tidak dimanfaatkan segera diambil alih negara dan didistribusikan kembali untuk kepentingan rakyat,” ujar Nusron, Kamis (25/9).

Menurut data Detik Finance, proses penetapan tanah terlantar berdasarkan aturan lama memakan waktu sekitar 578–587 hari. Dengan revisi yang sedang disiapkan, waktu tersebut akan dipangkas drastis menjadi 90 hari saja (Detik)

ATR/BPN juga mencatat adanya potensi 100 ribu hektare tanah yang bisa dikategorikan sebagai tanah terlantar. Lahan-lahan tersebut sebagian besar berasal dari hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, hingga hak pengelolaan yang tidak digunakan sesuai peruntukan. “Kalau memang terbukti terlantar, langsung kita ambil alih,” kata Nusron (Detik Sumut)

Tanah yang telah diambil alih nantinya akan dikelola oleh pemerintah daerah bersama Badan Bank Tanah. Pengelolaan ini diprioritaskan untuk kepentingan publik, termasuk redistribusi lahan kepada petani, pembangunan fasilitas umum, hingga mendukung ketahanan pangan nasional.

Sebelumnya, CNN Indonesia melaporkan bahwa Presiden Prabowo memberikan tiga mandat utama kepada Menteri ATR/BPN: mempercepat pengambilalihan tanah terlantar, memperkuat peran Bank Tanah, dan memperjelas redistribusi untuk masyarakat kecil (CNN Indonesia)

Meski demikian, kebijakan ini juga menuai kritik. Sejumlah pihak, termasuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menilai PP 20/2021 berpotensi menimbulkan “perampasan tanah” apabila pelaksanaannya tidak hati-hati. PKS menilai aturan tersebut bisa mendegradasi semangat reforma agraria bila tidak memberi perlindungan yang cukup kepada pemilik tanah (Gemapos)

Pemerintah menegaskan revisi ini justru dimaksudkan untuk memperkuat payung hukum penertiban kawasan dan tanah terlantar. Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui InfoPublik menyebut revisi PP 20/2021 akan menjadi instrumen hukum yang lebih tegas dan jelas untuk mencegah spekulasi lahan serta mempercepat distribusi tanah kepada rakyat (InfoPublik)

Saat ini, pemerintah masih menyusun draf revisi PP 20/2021 sebelum diajukan untuk pembahasan lebih lanjut.

Analisis: Percepatan Pengambilalihan Tanah Terlantar, Antara Reforma Agraria dan Potensi Konflik

Jakarta – Instruksi Presiden Prabowo Subianto untuk memangkas waktu pengambilalihan tanah terlantar dari 587 hari menjadi hanya 90 hari menandai langkah tegas pemerintah dalam menjalankan reforma agraria. Namun, di balik niat redistribusi tanah untuk rakyat, kebijakan ini menyimpan tantangan besar, baik dari sisi hukum, investasi, maupun politik.

Reforma Agraria dan Kepentingan Publik

Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyebut percepatan ini bertujuan agar tanah yang tidak dimanfaatkan segera bisa diambil alih negara. Menurutnya, redistribusi akan diprioritaskan untuk petani, kepentingan ketahanan pangan, dan pembangunan fasilitas umum. Pemerintah juga memetakan sekitar 100 ribu hektare lahan yang berpotensi masuk kategori terlantar.

Kebijakan ini sejalan dengan janji reforma agraria: menjamin akses lahan lebih adil, mengurangi kesenjangan kepemilikan tanah, serta mencegah praktik spekulasi.

Dampak ke Investor HGU dan HGB

Namun, percepatan pengambilalihan tanah terlantar juga bisa menimbulkan kekhawatiran bagi investor, khususnya pemegang Hak Guna Usaha (HGU) di sektor perkebunan maupun Hak Guna Bangunan (HGB) untuk properti.

Dengan revisi PP 20/2021, pemerintah memiliki legitimasi lebih kuat untuk mengambil alih lahan yang dinilai tidak dikelola optimal. Bagi sebagian perusahaan, aturan ini bisa dianggap ancaman, terutama jika mekanisme penetapan tanah terlantar tidak transparan. Investor khawatir kehilangan lahan meskipun masih dalam tahap perencanaan atau menghadapi kendala izin.

Potensi Konflik Agraria Ditunggangi Pemodal

Percepatan proses juga berpotensi memperbesar konflik agraria. Dalam beberapa tahun terakhir, ratusan kasus sengketa tanah melibatkan masyarakat adat, petani, dan perusahaan besar. Jika negara bergerak lebih cepat mengambil tanah, benturan bisa terjadi antara pemilik hak lama dengan calon penerima redistribusi.

Lebih jauh, potensi konflik agraria kerap dipicu oleh permainan para pemilik modal yang bersimbiosis dengan pemegang kewenangan. Hubungan timbal balik antara elite bisnis dan pejabat negara seringkali melahirkan praktik perizinan atau penguasaan tanah yang tidak berpihak pada rakyat. Pada akhirnya, kelompok masyarakat lemah yang tidak memiliki akses politik maupun kekuatan hukum kerap menjadi korban. Mereka terancam kehilangan hak atas tanah yang telah lama digarap, sementara lahan justru jatuh ke tangan korporasi besar yang dekat dengan kekuasaan.

Sejumlah pihak juga menilai aturan tentang tanah terlantar berpotensi menjadi bentuk “perampasan tanah” jika tidak dijalankan hati-hati, dan bisa mendegradasi semangat reforma agraria. Kritik ini menyoroti pentingnya perlindungan hukum agar pemilik tanah tidak serta-merta kehilangan hak akibat keterlambatan pemanfaatan.

Implikasi Politik dan Legitimasi

Secara politik, langkah ini memperkuat citra Prabowo sebagai pemimpin yang berpihak pada rakyat kecil. Reforma agraria adalah isu sensitif dan populer, terutama di kalangan petani dan masyarakat pedesaan. Dengan percepatan redistribusi tanah, pemerintah bisa meraih legitimasi sosial yang besar.

Namun, kebijakan ini juga rawan dipolitisasi. Lawan politik bisa memframing revisi PP sebagai ancaman bagi kepemilikan tanah sah, sementara pendukungnya menilai langkah ini bukti keberpihakan negara pada rakyat.

Kesimpulan

Revisi PP 20/2021 membuka peluang bagi pemerataan akses tanah dan percepatan pembangunan berbasis keadilan agraria. Tetapi, implementasi kebijakan ini perlu diawasi ketat agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum bagi investor dan konflik baru di lapangan.

Dengan kata lain, percepatan 587 hari menjadi 90 hari adalah pedang bermata dua: bisa jadi terobosan reforma agraria, tapi juga berisiko memperuncing persoalan agraria jika tidak dijalankan secara transparan, adil, dan partisipatif.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here