Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

KPK Memburu Mastermind Dalang Suap Proyek RSUD Kolaka Timur

Jakarta — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah membongkar lapisan demi lapisan dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kolaka Timur, Sulawesi...
HomeHukumKorupsi Berjamaah di DPRD Medan: Pola Lama yang Terulang

Korupsi Berjamaah di DPRD Medan: Pola Lama yang Terulang

Medan — Deretan kasus dugaan korupsi dan pemerasan yang menyeret anggota DPRD Medan belakangan ini memunculkan kembali istilah lama: “korupsi berjamaah”. Istilah ini bukan tanpa alasan, sebab pola yang terjadi menunjukkan adanya keterlibatan kolektif, baik melalui praktik penyalahgunaan anggaran maupun pemerasan terhadap pengusaha.

Jejak Korupsi Berjamaah DPRD Sumut

Masyarakat Sumatera Utara tentu belum lupa dengan skandal besar yang mengguncang DPRD Sumut periode 2009–2014 dan 2014–2019, ketika 38 anggota DPRD Sumut ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap berjamaah dari Gubernur Gatot Pujo Nugroho.

Modusnya sederhana: anggota DPRD menerima setoran berkala dalam jumlah besar agar menyetujui laporan pertanggungjawaban gubernur, mendukung anggaran tertentu, hingga meloloskan kebijakan yang menguntungkan kelompok penguasa. Kasus ini membuktikan bahwa praktik “gotong royong korupsi” bukan sekadar oknum, tetapi sudah menjadi budaya politik uang di parlemen lokal.

Pola Lama Muncul Kembali di DPRD Medan

Kini, pola serupa tampak di DPRD Medan. Dari temuan BPK soal kelebihan bayar perjalanan dinas Rp7,6 miliar, pemanggilan empat anggota Komisi III DPRD Medan oleh Kejati Sumut terkait dugaan pemerasan pengusaha mikro, hingga laporan dugaan korupsi anggaran media, semua memperlihatkan adanya keterlibatan lebih dari satu orang anggota dewan.

Keterlibatan kolektif ini bukan kebetulan. “Berjamaah” memungkinkan mereka melindungi satu sama lain, membuat praktik korupsi lebih sulit dibongkar, sekaligus menunjukkan lemahnya sistem pengawasan internal DPRD maupun eksekutif kota.

Modus Baru: Pemerasan dan Aturan yang Dibengkokkan

Jika dulu korupsi berjamaah DPRD Sumut lebih banyak terkait “suap politik” dengan eksekutif, kini di DPRD Medan modusnya bergeser ke pemerasan langsung terhadap pengusaha.

  • Pemerasan pengusaha biliar oleh Ketua Komisi III DPRD Medan, Salomon Pardede, dengan setoran rutin Rp4 juta per bulan.

  • Dugaan pemerasan pengusaha kecil oleh anggota DPRD dengan dalih izin usaha dan pajak.

  • Manipulasi anggaran “lembut” melalui pos belanja media, advetorial, dan kliping berita.

Pola ini menunjukkan adaptasi baru mafia politik di daerah: menggunakan kewenangan legislasi dan pengawasan untuk menciptakan jebakan regulasi, yang kemudian bisa dinegosiasikan dengan imbalan uang.

Masyarakat Jadi Korban Ganda

Korupsi berjamaah bukan hanya merugikan keuangan negara, tapi juga melukai kepercayaan publik. Pengusaha kecil dan masyarakat kota terjebak dalam sistem “bayar atau dimatikan”, sementara anggaran publik yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan justru dikuras demi memperkaya segelintir elite.

Fenomena ini kian berbahaya ketika ada dukungan atau pembiaran dari aparat penegak hukum (APH). Dalam beberapa kasus sengketa tanah maupun usaha, rakyat kecil kerap dipaksa berhadapan dengan rakyat bayaran mafia atau dilindas kekuatan hukum yang seharusnya berpihak pada keadilan.

Citra DPRD di Titik Nadir

Jika kasus-kasus ini terbukti, DPRD Medan berpotensi masuk dalam daftar hitam sejarah korupsi berjamaah seperti halnya DPRD Sumut. Publik menilai lembaga legislatif ini bukan lagi wadah perjuangan rakyat, melainkan kartel politik lokal yang menjadikan kewenangan sebagai alat pemerasan dan ladang bancakan anggaran.

Dengan membandingkan pola lama (DPRD Sumut) dan pola baru (DPRD Medan), kita bisa melihat bahwa masalahnya bukan sekadar “oknum”, melainkan sistem patronase politik daerah yang sudah lama dikuasai praktik mafia uang dan jabatan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here