Jakarta — Dua puluh tujuh tahun setelah krisis moneter, skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali jadi sorotan. Bukan karena uangnya kembali, tetapi karena para obligor justru menggugat negara.
Data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta mencatat dua gugatan besar pada Agustus 2025: gugatan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut Soeharto) dan Marimutu Sinivasan (Grup Texmaco).
Babak Terbaru: Gugatan Tutut dan Texmaco 2025
Tutut, putri sulung Presiden ke-2 Soeharto, menggugat Menteri Keuangan terkait statusnya sebagai penanggung utang BLBI.
Ia disebut menanggung utang PT Citra Mataram Satriamarga Persada (CMSP) dan PT Citra Bhakti Margatama Persada (CBMP), dua perusahaan keluarga Cendana yang terlibat BLBI.
Dalam gugatannya, Tutut meminta hakim:
Menyatakan ia bukan penanggung utang.
Menyatakan keputusan Menkeu sebagai perbuatan melawan hukum.
Membatalkan klaim negara atas kewajibannya.
Dengan kata lain, Tutut ingin lepas dari jeratan BLBI yang selama ini melekat pada nama keluarganya.
Gugatan Marimutu Sinivasan (Texmaco Group)
Obligor besar lainnya, Marimutu Sinivasan, pemilik Grup Texmaco, juga melawan. Ia menggugat Surat Keputusan Menkeu No.192/MK.KN/2025 tentang pencekalan ke luar negeri.
Gugatan ini terdaftar dengan nomor perkara 281/G/2025/PTUN.JKT pada 28 Agustus 2025, saat Sri Mulyani masih menjabat Menkeu.
Marimutu meminta hakim membatalkan pencekalan, sekaligus menghapus kewajiban yang dikaitkan dengan BLBI—yang nilainya mencapai Rp 29 triliun.
Negara dalam Posisi Bertahan
Alih-alih menagih, negara kini justru dipaksa bertahan di meja hijau. Jika gugatan ini dimenangkan oleh para obligor, maka peluang negara menagih sisa piutang BLBI semakin mengecil.
Situasi ini mempertegas dominasi oligarki: bukan hanya berhasil lolos jeratan hukum pidana, mereka juga mampu membalikkan posisi hingga negara yang digugat.
Analisis
Episode terbaru BLBI menunjukkan satu hal: perjuangan negara menagih uang BLBI tak hanya soal aset, tetapi juga soal hukum dan politik.
Oligarki memanfaatkan semua jalur yang ada, sementara birokrasi negara sering kali kaku, lambat, dan terikat aturan.
Skandal BLBI pun memasuki babak baru: bukan sekadar piutang yang tak tertagih, tetapi pertarungan di pengadilan antara negara dan konglomerat.
Akhir yang Tak Pernah Tuntas
Jakarta — Hampir tiga dekade sejak krisis moneter 1997/1998, skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tetap menghantui republik ini. Triliunan rupiah dana talangan negara berubah menjadi utang yang tak tertagih.
Pemerintah silih berganti, lembaga berganti nama—dari BPPN, PUPN, hingga Satgas BLBI—namun nasib piutang negara tetap sama: hanya sedikit yang kembali, sementara sebagian besar hilang ditelan oligarki.
Rakyat Menanggung, Oligarki Menang
Rakyat membayar bunga obligasi rekap setiap tahun lewat APBN. Generasi baru menanggung utang yang tidak pernah mereka nikmati.
Sementara itu, para obligor—konglomerat penerima BLBI—tetap eksis. Mereka menguasai aset strategis, hidup sebagai taipan, bahkan menggugat negara untuk melawan status penanggung utang.
BLBI pun menjadi simbol ironis: negara kalah, oligarki menang.
Satgas dan Hukum yang Mandek
Satgas BLBI memang sempat menyita sejumlah aset dan mengklaim puluhan triliun berhasil diamankan. Namun gugatan hukum dari para obligor membuat banyak hasil sitaan tak bisa dinikmati negara.
KPK dan Kejaksaan pun gagal membawa obligor besar ke meja hijau. Putusan Peninjauan Kembali (PK) yang membebaskan Sjamsul Nursalim adalah contoh nyata betapa tajam hukum ke bawah, tumpul ke atas.
Jejak Oligarki
Skandal BLBI tak sekadar soal angka Rp 110 triliun yang belum tertagih. Ia adalah cermin struktur kekuasaan Indonesia:
Konglomerat bisa bertahan karena jaringan politik dan bisnis.
Hukum bisa dibelokkan lewat gugatan balik.
Negara tampak berwibawa di atas kertas, namun rapuh di lapangan.
Analisis Penutup
BLBI bukan hanya skandal finansial, melainkan pelajaran sejarah. Ia menunjukkan bagaimana krisis dimanfaatkan segelintir orang, dan bagaimana reformasi gagal menegakkan keadilan ekonomi.
“Hantu BLBI” akan terus hidup selama oligarki masih menguasai negara. Bukan hanya dalam bentuk angka piutang, tetapi juga dalam sistem hukum dan politik yang memungkinkan kejahatan triliunan rupiah tak pernah benar-benar dituntaskan.
Epilog
Skandal BLBI adalah kisah tentang negara yang kalah melawan oligarki. Tentang rakyat yang membayar, dan elit yang tetap berkuasa.
Akhirnya, BLBI menjadi simbol bahwa di Indonesia, korupsi bisa abadi, tetapi keadilan sering kali hanya sementara.
Timeline Skandal BLBI (1997–2025)
Tahun | Peristiwa Utama | Aktor / Catatan |
---|---|---|
1997–1998 | Krisis moneter menghantam Indonesia. Bank runtuh, BI mengucurkan BLBI Rp 144,5 triliun untuk menyelamatkan perbankan. | Bank-bank penerima BLBI (BDNI, Texmaco, BCA, dll.) |
1998–2004 | Dibentuk BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) untuk menagih dan mengelola utang BLBI. | Konglomerat menyerahkan aset (Asset Settlement). Banyak perjanjian MSAA/MSMLA bermasalah. |
2004 | BPPN dibubarkan, penagihan dialihkan ke PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) di bawah Kemenkeu. | Piutang mengendap, banyak obligor mangkir. |
2009–2019 | KPK mulai menyelidiki kasus BLBI, khususnya BDNI / Sjamsul Nursalim. | 2019: Sjamsul & istrinya ditetapkan tersangka. |
2021 | Presiden Jokowi bentuk Satgas BLBI lewat Keppres No.6/2021. | Dipimpin Menkopolhukam Mahfud MD. Fokus menagih Rp 110 triliun. |
2021–2024 | Satgas BLBI melakukan penyitaan aset (Texmaco, Sjamsul, Tutut, dll.). | Nilai puluhan triliun diamankan, tapi banyak digugat balik. |
2021 (Sept) | KPK kalah di PK Mahkamah Agung: Sjamsul Nursalim & Itjih lolos dari jerat hukum. | Kegagalan besar penegakan hukum BLBI. |
2025 (Agustus) | Tutut Soeharto gugat Menkeu di PTUN terkait status penanggung utang PT CMSP & CBMP. | Tutut minta dinyatakan tidak sah sebagai penanggung utang. |
2025 (Agustus) | Marimutu Sinivasan (Texmaco Group) gugat Menkeu soal pencekalan ke luar negeri. | Nilai kewajiban Texmaco mencapai Rp 29 triliun. |
2025 (sekarang) | BLBI tetap jadi hantu triliunan, piutang sulit tertagih, obligor menggugat balik. | Negara dalam posisi defensif di pengadilan. |