Jakarta — Dua dekade lebih skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menggantung tanpa penyelesaian tuntas. Pada 2021, Presiden Joko Widodo membentuk Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI (Satgas BLBI) melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021.
Satgas ini berada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, dengan anggota lintas kementerian dan lembaga. Mandat utamanya: menagih sisa piutang negara dari para obligor dan debitur BLBI.
Satgas BLBI: Menagih Hantu Triliunan, Aksi Penyitaan Aset
Sejak dibentuk, Satgas BLBI bergerak cepat dengan melakukan penyitaan aset milik obligor, di antaranya:
Aset keluarga Sjamsul Nursalim di Karawang dan Bogor.
Tanah dan gedung milik Grup Texmaco di Karawang, Subang, dan daerah lain.
Gedung eks BPPN di Jakarta Selatan, yang kemudian dipakai untuk markas Satgas BLBI.
Langkah ini menjadi sinyal bahwa pemerintah serius menagih kembali uang negara.
Gugatan Hukum Bermunculan
Namun, perlawanan para obligor tak kalah sengit. Hampir setiap penyitaan aset dibarengi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) maupun gugatan perdata.
Contoh terbaru:
Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut Soeharto) menggugat Menkeu terkait status penanggung utang BLBI melalui PT CMSP dan PT CBMP.
Marimutu Sinivasan (Texmaco Group) menggugat keputusan pencekalan ke luar negeri oleh Kementerian Keuangan pada Agustus 2025.
Gugatan-gugatan ini membuat proses penagihan tersendat.
Hasil Nyata dan Keterbatasan
Menurut data Kemenkeu, hingga akhir 2024 Satgas BLBI berhasil mengumpulkan aset dan kas dengan nilai puluhan triliun rupiah. Namun angka itu masih jauh dari total kewajiban obligor BLBI yang mencapai lebih dari Rp 110 triliun.
Keterbatasan wewenang Satgas, tarik-menarik politik, serta rumitnya jalur hukum membuat pencapaian Satgas belum maksimal.
Kritik Publik
Sejumlah pengamat menyebut Satgas BLBI lebih mirip “show of force” ketimbang solusi tuntas. Meski ada penyitaan aset, para obligor besar tetap sulit dijerat pidana. Akibatnya, publik kembali mempertanyakan komitmen pemerintah:
Apakah Satgas sekadar formalitas untuk menunjukkan keseriusan?
Ataukah memang ada batasan politik yang membuat “para raksasa BLBI” tetap tak tersentuh?
Analisis
Satgas BLBI berhasil membangunkan isu lama yang hampir dilupakan. Namun, perlawanan hukum dari obligor menunjukkan betapa kuatnya jejaring oligarki dalam melindungi kepentingannya.
BLBI bukan sekadar soal piutang negara, melainkan pertarungan panjang antara negara dan oligarki.
Oligarki yang Kebal: Cara Konglomerat BLBI Bertahan
Fenomena ini memunculkan istilah: “oligarki kebal hukum”, di mana kekuatan uang, jaringan politik, dan kelicinan hukum membuat para konglomerat BLBI tetap aman.
1. Strategi Politik: Menjadi Donatur dan Mitra Kekuasaan
Banyak obligor BLBI menjaga posisi dengan mendekat ke kekuasaan. Sejumlah pengusaha tercatat sebagai penyumbang dana politik atau memiliki hubungan dekat dengan elite partai.
Prinsipnya jelas: “menjadi bagian dari lingkar kekuasaan agar tak menjadi target hukum.”
Dengan dukungan politik, ancaman penagihan bisa dilemahkan, sementara akses bisnis tetap terjaga.
2. Strategi Hukum: Menggugat Balik Negara
Hampir semua obligor BLBI memanfaatkan jalur hukum untuk melawan. Mereka mengajukan gugatan ke PTUN, perdata, hingga arbitrase internasional.
Contoh:
Tutut Soeharto menggugat statusnya sebagai penanggung utang CMSP & CBMP.
Marimutu Sinivasan (Texmaco) menuntut pembatalan pencekalan keluar negeri.
Sjamsul Nursalim & Itjih Nursalim memenangkan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung setelah ditetapkan tersangka oleh KPK.
Hasilnya, banyak upaya negara berakhir buntu.
3. Strategi Bisnis: Diversifikasi dan Perlindungan Aset
Obligor BLBI juga mengamankan aset melalui diversifikasi bisnis, pengalihan kepemilikan, atau menyimpannya di luar negeri.
Grup besar seperti Texmaco tetap menguasai kawasan industri dan pabrik tekstil.
Aset properti dan lahan sitaan banyak yang dialihkan melalui perusahaan cangkang.
Sebagian besar oligark BLBI memiliki cadangan kekayaan di luar negeri, yang sulit dijangkau Satgas maupun aparat hukum.
4. Publik yang Terlupakan
Sementara oligarki tetap nyaman, rakyatlah yang membayar mahal. Utang BLBI ditutup dengan obligasi rekapitalisasi yang bunganya hingga kini membebani APBN.
Ironisnya, para obligor hidup sebagai taipan, sementara rakyat kecil menanggung tagihan.
Analisis
Kebal hukum para obligor BLBI menunjukkan asimetrisnya kekuasaan di Indonesia. Negara tampak kuat di atas kertas, tetapi rapuh menghadapi perlawanan oligarki.
BLBI akhirnya menjadi bukan sekadar kasus korupsi, melainkan simbol kegagalan reformasi hukum dan ekonomi.
Warisan BLBI: Beban Abadi APBN dan Generasi yang Membayar Utang
Skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bukan hanya meninggalkan jejak oligarki dan konglomerat kebal hukum. Lebih dari itu, ia meninggalkan beban utang abadi yang terus menghantui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Setiap tahun, negara masih harus membayar bunga obligasi rekapitalisasi perbankan—obligasi yang diterbitkan pemerintah untuk menutup lubang akibat kucuran BLBI.
Dari Krisis ke Utang Negara
Tahun 1998, pemerintah menggelontorkan Rp 144,5 triliun BLBI untuk menyelamatkan bank yang kolaps. Namun karena mayoritas bank penerima tak sanggup mengembalikan dana, beban dialihkan menjadi utang negara.
Untuk menutupinya, pemerintah menerbitkan obligasi rekap perbankan dengan nilai ratusan triliun. Inilah cikal bakal warisan BLBI yang menempel di APBN hingga hari ini.
Generasi yang Membayar
Menurut perhitungan ekonom, total kewajiban akibat BLBI dan bunga obligasi rekap mencapai lebih dari Rp 600 triliun sejak krisis 1998. Artinya, dua dekade lebih rakyat Indonesia—terutama generasi muda—turut menanggung beban yang tak pernah mereka nikmati.
Sementara itu, para konglomerat penerima BLBI tetap bisa melanjutkan bisnis, bahkan menambah kekayaan.
Satgas Tak Menutup Lubang
Upaya penagihan melalui BPPN hingga Satgas BLBI memang menghasilkan sejumlah aset dan kas. Namun nilainya hanya sebagian kecil dari total kewajiban.
Satgas BLBI melaporkan telah berhasil mengamankan puluhan triliun rupiah dalam bentuk aset dan kas. Namun dibanding kewajiban lebih dari Rp 110 triliun yang belum tertagih, angka ini masih jauh dari cukup.
Ironi Reformasi Ekonomi
Reformasi 1998 menjanjikan Indonesia bebas dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Tetapi BLBI membuktikan sebaliknya: konglomerat justru semakin kuat, sementara rakyat menanggung tagihan.
BLBI menjadi beban struktural ekonomi Indonesia—bukan hanya dalam bentuk angka utang, tetapi juga dalam membentuk oligarki yang kebal hukum.
Analisis
Warisan BLBI adalah cermin kegagalan negara menegakkan keadilan ekonomi. Bukan hanya soal uang yang tak kembali, tetapi juga hilangnya kepercayaan publik bahwa hukum bisa adil bagi semua.
Selama oligarki tetap dominan, BLBI akan terus menjadi hantu: hidup di APBN, hadir di ingatan publik, dan tak pernah benar-benar hilang.