Jakarta — Lebih dari seperempat abad berlalu sejak krisis moneter 1997/1998, namun kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) masih menjadi luka yang tak kunjung sembuh. Dana talangan senilai lebih dari Rp 144,5 triliun yang digelontorkan untuk menyelamatkan perbankan nasional justru menjelma menjadi skandal korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia.
Pemerintah telah berulang kali berupaya menutup buku BLBI, tetapi “hantu triliunan” itu tetap bergentayangan. Di baliknya, terdapat jejak konglomerat besar, oligarki politik, hingga pejabat yang diduga terlibat praktik korupsi.
Awal Mula: Talangan Krisis yang Berujung Skandal
BLBI lahir sebagai respons darurat ketika puluhan bank kolaps dihantam krisis. Bank Indonesia menyalurkan dana talangan kepada 48 bank penerima. Namun, alih-alih dipakai menyehatkan sistem keuangan, sebagian besar dana justru digunakan untuk kepentingan pribadi pemilik bank dan grup usahanya.
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat, hampir 95 persen dari total BLBI bermasalah. Negara kemudian membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengelola aset dan kewajiban bank penerima BLBI.
Jalan Pintas: MSAA dan MRNIA
Melalui BPPN, pemerintah menawarkan skema penyelesaian utang lewat Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA). Skema ini banyak dikritik karena memberi kelonggaran besar bagi konglomerat penerima BLBI.
Beberapa nama besar, seperti Sjamsul Nursalim (Bank Dagang Nasional Indonesia/BDNI), Bob Hasan, keluarga Soeharto, hingga grup Texmaco milik Marimutu Sinivasan, tercatat sebagai pihak yang menikmati keringanan.
Namun penyelesaian tersebut tidak tuntas. Banyak obligor tetap mangkir, sementara negara kehilangan posisi tawar setelah BPPN dibubarkan pada 2004.
Warisan Utang yang Membeku
Pasca-BPPN, penagihan utang BLBI dilimpahkan ke Kementerian Keuangan melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Proses penagihan berjalan lamban dan kerap menemui jalan buntu. Upaya hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun tidak menghasilkan terobosan berarti.
KPK pernah menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih, sebagai tersangka. Namun Mahkamah Agung pada 2021 mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan keduanya, sehingga status hukum mereka kembali bebas.
Satgas BLBI: Menagih Hantu Triliunan
Pada 2021, Presiden Joko Widodo membentuk Satgas BLBI dengan target menagih piutang negara senilai Rp 110 triliun. Satgas bergerak dengan menyita sejumlah aset berupa tanah, gedung, hingga saham milik obligor.
Meski demikian, upaya itu memicu gelombang perlawanan hukum. Banyak obligor menggugat pemerintah melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Perlawanan Obligornya
Di antaranya, Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut Soeharto) menggugat Menteri Keuangan karena ditetapkan sebagai penanggung utang PT Citra Mataram Satriamarga Persada (CMSP) dan PT Citra Bhakti Margatama Persada (CBMP). Tutut menilai keputusan itu merupakan perbuatan melanggar hukum oleh pejabat negara.
Obligor lain, Marimutu Sinivasan, menggugat keputusan Menkeu terkait pencegahan ke luar negeri. Gugatan dengan nomor perkara 281/G/2025/PTUN.JKT didaftarkan ke PTUN Jakarta pada Agustus 2025, ketika jabatan Menkeu masih dipegang Sri Mulyani Indrawati.
Jejak Oligarki dan Pejabat Korup
Pengamat menilai, kasus BLBI bertahan puluhan tahun karena kuatnya pengaruh oligarki. Banyak obligor memiliki hubungan erat dengan elite politik dan pejabat negara, sehingga proses penagihan kerap terhambat.
“BLBI adalah contoh klasik bagaimana oligarki dan pejabat korup melindungi satu sama lain. Negara rugi, rakyat yang menanggung beban,” ujar salah satu peneliti kebijakan publik.
Luka Lama yang Belum Sembuh
Hingga kini, nilai utang BLBI yang belum tertagih masih puluhan triliun rupiah. Meski Satgas BLBI telah bubar pada akhir 2024, gugatan hukum obligor terus berjalan.
Skandal ini pun meninggalkan jejak panjang: negara kehilangan uang, keadilan tak sepenuhnya ditegakkan, sementara publik terus menyaksikan bagaimana oligarki dan kekuasaan berkelindan di balik salah satu skandal finansial terbesar Indonesia.
MSAA, MRNIA, dan Jalan Pintas Konglomerat
Setelah dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) digelontorkan pada masa krisis 1997/1998, pemerintah dihadapkan pada masalah baru: bagaimana menagih kembali piutang raksasa dari para pemilik bank yang kolaps.
Untuk itu, dibentuklah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 1998. Lembaga ini diberi mandat untuk mengelola aset-aset bermasalah dan memulihkan sektor perbankan. Namun, langkah yang ditempuh justru membuka jalan pintas bagi konglomerat untuk lolos dari tanggung jawab penuh.
Skema MSAA: Membayar dengan Aset
Pemerintah menawarkan skema Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) kepada obligor. Dalam skema ini, pengusaha bisa melunasi kewajiban BLBI dengan menyerahkan aset perusahaan—baik tanah, gedung, maupun saham—kepada negara.
Di atas kertas, solusi ini tampak realistis: negara memperoleh aset nyata, sementara obligor terbebas dari lilitan utang. Namun pada praktiknya, banyak aset yang diserahkan nilainya jauh di bawah jumlah utang, atau kemudian bermasalah secara hukum.
Contoh:
Sjamsul Nursalim (BDNI) menyerahkan sejumlah aset properti, termasuk tambak udang, untuk melunasi kewajiban yang nilainya jauh lebih besar.
Bob Hasan juga menyepakati penyelesaian utang dengan aset perusahaan kayu dan perkebunan.
MRNIA: Menunda dengan Surat Utang
Selain MSAA, ada pula skema Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA). Skema ini memberi kesempatan obligor untuk membayar secara bertahap melalui penerbitan surat utang (notes).
Akibatnya, pembayaran utang semakin kabur. Negara justru menanggung risiko gagal bayar obligor, sementara kepastian penerimaan dana makin samar.
Kritik Tajam
Banyak kalangan menilai MSAA dan MRNIA adalah bentuk “jalan pintas” yang justru merugikan negara.
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan kajian akademisi menemukan, sebagian besar aset yang diserahkan obligor sulit dijual kembali. Ada yang status hukumnya bermasalah, ada pula yang nilainya jauh di bawah piutang.
Ekonom senior bahkan menyebut MSAA sebagai “pengampunan konglomerat” yang lahir dari tekanan politik dan kedekatan oligarki dengan pejabat negara.
Negara Rugi, Oligarki Selamat
Alih-alih menutup kerugian negara, MSAA dan MRNIA justru memperkuat posisi para konglomerat. Banyak di antara mereka yang tetap bisa melanjutkan bisnis, bahkan masuk ke sektor-sektor strategis setelah krisis.
Sementara itu, beban utang BLBI berubah menjadi obligasi rekapitalisasi perbankan yang ditanggung pemerintah dan rakyat. Nilainya mencapai ratusan triliun rupiah, menjadi salah satu pos besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pascakrisis.
Analisis
Skema MSAA dan MRNIA memperlihatkan bagaimana negara memilih kompromi ketimbang penegakan hukum tegas. Di balik kompromi itu, terdapat lobi-lobi politik dan kepentingan bisnis yang melibatkan oligarki.
BLBI pun bergeser dari sekadar talangan darurat menjadi skandal jangka panjang: utang negara yang terus diwariskan, sementara para obligor mencari cara untuk terus lolos dari jerat hukum.
Piutang yang Membeku: BLBI Pasca-BPPN
Tahun 2004, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) resmi dibubarkan. Lembaga yang sejak 1998 menjadi ujung tombak penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dianggap telah menyelesaikan tugasnya. Namun kenyataannya, beban piutang negara justru semakin mengendap.
Aset-aset sitaan dari konglomerat diserahkan ke Kementerian Keuangan melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Di atas kertas, penagihan masih berjalan. Tetapi praktiknya, utang triliunan rupiah dari obligor BLBI tak kunjung dilunasi.
Dari BPPN ke PUPN
Pasca-bubarnya BPPN, pemerintah mengalihkan penanganan piutang BLBI ke PUPN di bawah Kemenkeu. Tugasnya jelas: menagih kewajiban obligor, menyelesaikan sengketa, dan memastikan negara memperoleh kembali haknya.
Namun PUPN tak memiliki kewenangan penuh. Proses hukum menjadi berlarut-larut, sementara obligor memanfaatkan celah hukum dan politik untuk menghindari pembayaran.
Kasus yang Menggantung
Sejumlah obligor besar tetap mangkir. Nilai utang mereka membengkak karena bunga dan denda. Contoh:
Sjamsul Nursalim & Itjih Nursalim (BDNI) → utang lebih dari Rp 4,8 triliun, meski sempat menyerahkan aset tambak udang. Status hukum mereka sempat ditangani KPK, tetapi akhirnya gugur lewat putusan PK MA.
Marimutu Sinivasan (Texmaco) → kewajiban lebih dari Rp 29 triliun. Sejak 2004 hingga kini, masih jadi sengketa berkepanjangan.
Keluarga Soeharto (Tutut, Tommy, Bambang Trihatmodjo) → lewat berbagai perusahaan infrastruktur, ditetapkan memiliki kewajiban BLBI. Namun penyelesaian selalu terbentur gugatan hukum.
Hukum yang Mandek
Kejaksaan Agung dan KPK beberapa kali mencoba masuk ke kasus BLBI. Namun banyak kasus berhenti di tahap penyelidikan atau kalah di pengadilan.
Pada 2009, KPK sempat mendalami kasus BDNI dan Nursalim. Namun prosesnya tersendat bertahun-tahun. Baru pada 2019, Sjamsul Nursalim dan istrinya ditetapkan tersangka, sebelum akhirnya lolos lewat PK pada 2021.
Situasi ini memperkuat kesan publik bahwa penegakan hukum BLBI hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Negara Menanggung Beban
Sementara obligor lolos, negara menanggung utang. Untuk menutup lubang perbankan pascakrisis, pemerintah menerbitkan obligasi rekapitalisasi perbankan dengan nilai mencapai ratusan triliun rupiah. Hingga kini, pembayaran bunga obligasi itu tetap membebani APBN.
Dengan kata lain, rakyat menanggung tagihan, sementara konglomerat penyedot BLBI tetap bisa hidup makmur.
Analisis
Pasca-BPPN, BLBI memasuki fase “membeku”. Negara kehilangan instrumen efektif, sementara obligor semakin kuat dengan jejaring politik dan ekonomi pascareformasi.
Piutang BLBI pun berubah menjadi hantu administratif: tercatat di dokumen negara, tetapi sulit ditagih di lapangan.