Jakarta/New York – Bergabungnya Presiden Joko Widodo ke dalam Bloomberg New Economy Advisory Board memunculkan perdebatan hangat di dalam negeri. Banyak pihak menilai posisi itu bukan semata pengakuan atas prestasi ekonomi Jokowi, melainkan hasil dari sebuah hubungan saling menguntungkan—mutualisme—antara pemimpin Indonesia dan jaringan kapital global yang diwakili Bloomberg.
Bloomberg Butuh Akses, Jokowi Punya Kunci
Bloomberg, raksasa media dan data keuangan asal Amerika Serikat, terus memperluas pengaruhnya melalui forum global seperti New Economy Advisory Board. Forum ini bukan hanya sekadar wadah diskusi, tetapi juga pintu untuk menjalin relasi dengan pasar strategis.
Indonesia, dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan populasi 280 juta jiwa, jelas merupakan target penting. Dalam konteks inilah, Jokowi dianggap sebagai figur kunci. Meski banyak kritik terhadap integritasnya di dalam negeri, Jokowi tetap memiliki akses langsung ke jejaring oligarki superkaya Indonesia—dari konglomerat tambang, infrastruktur, hingga teknologi.
Bagi Bloomberg, kedekatan Jokowi dengan jaringan elite bisnis Indonesia adalah aset berharga. Dengan menempatkannya di dewan penasihat, Bloomberg memperoleh legitimasi untuk memperluas pengaruhnya di kawasan dan memperkuat hubungan dengan pusat-pusat modal domestik.
Jokowi Butuh “Panggung Bersih”
Di sisi lain, bagi Jokowi, duduk di kursi dewan penasihat Bloomberg adalah peluang emas untuk memperbaiki citra internasional. Dalam beberapa tahun terakhir, reputasi Jokowi di dalam negeri kerap diguncang isu kontroversial: mulai dari tuduhan ijazah palsu, kedekatan dengan oligarki, hingga kecurigaan publik terhadap praktik korupsi di lingkar kekuasaan.
Dengan menggandeng nama besar seperti Bloomberg, Jokowi memperoleh semacam cover moral di panggung global. Kehadirannya di forum internasional memberi kesan bahwa ia tetap dipercaya dunia, seakan-akan membantah tudingan yang meruntuhkan reputasi domestiknya.
Seorang pengamat politik menyebut fenomena ini sebagai image laundering—proses pencucian citra melalui jejaring internasional. “Bloomberg dapat akses, Jokowi dapat legitimasi. Ini simbiosis klasik antara kapital global dan kekuasaan politik domestik,” katanya.
Pertukaran Bayangan
Hubungan ini tampak sebagai pertukaran kepentingan:
Bloomberg mendapatkan pintu masuk langsung ke pasar dan elite ekonomi Indonesia.
Jokowi mendapatkan panggung internasional untuk menjaga reputasi politiknya di tengah kritik dalam negeri.
Keduanya saling memanfaatkan. Bloomberg butuh legitimasi geopolitik di Asia, sementara Jokowi butuh stempel global untuk membungkus kontroversi domestik.
Publik yang Skeptis
Meski tampak menguntungkan bagi kedua belah pihak, publik Indonesia banyak yang melihat fenomena ini dengan sinis. Bagi mereka, ini bukan soal kontribusi intelektual Jokowi di dunia ekonomi, melainkan sekadar permainan citra.
“Kalau benar-benar soal keahlian ekonomi, tentu ada banyak nama lain dari Indonesia yang lebih mumpuni,” ujar seorang akademisi ekonomi politik. “Masuknya Jokowi ke Bloomberg lebih mirip transaksi simbolis ketimbang penghargaan atas prestasi.”
Simbiosis yang Akan Terus Berjalan
Pada akhirnya, hubungan antara Jokowi dan Bloomberg menunjukkan bagaimana politik domestik dan kapital global bisa saling menopang. Bloomberg memanfaatkan posisi Jokowi sebagai penghubung dengan pasar Asia Tenggara, sementara Jokowi menggunakan Bloomberg untuk menampilkan diri sebagai pemimpin global yang tetap dipercaya.
Dalam dunia di mana reputasi dan akses sama berharganya dengan modal finansial, hubungan semacam ini kemungkinan akan terus berlanjut. Dan publik, seperti biasa, hanya bisa menilai dari jauh—apakah ini sekadar pencitraan, atau benar-benar membawa manfaat bagi rakyat.