Jakarta — Pembentukan Tim Reformasi Polri menuai kritik dari berbagai kalangan. Kritik utama terletak pada komposisinya yang hanya berasal dari internal kepolisian, tanpa melibatkan unsur masyarakat sipil maupun pakar independen.
Ketua Perhimpunan Victimologi Indonesia (PVRI) sekaligus Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai langkah ini tidak ideal. Menurutnya, ketiadaan partisipasi publik dalam tim reformasi menimbulkan keraguan atas akuntabilitas dan efektivitas agenda perbaikan institusi kepolisian.
Kekhawatiran Konflik Kepentingan
Pandangan senada disampaikan peneliti PVRI, Muhammad Naziful Haq. Ia menegaskan bahwa reformasi yang dilakukan sepenuhnya oleh internal Polri rentan menghadirkan conflict of interest. Tanpa kehadiran pihak independen, upaya evaluasi dan pembenahan bisa berujung pada sekadar formalitas.
“Bagaimana mungkin sebuah institusi mereformasi dirinya sendiri secara objektif, bila tidak ada pengawasan dari luar?” ujarnya.
Seruan untuk Transparansi
Kritik juga datang dari mantan Menteri ESDM, Sudirman Said. Ia menekankan bahwa reformasi kepolisian harus dilakukan secara transparan, partisipatif, dan melibatkan publik.
Lebih jauh, Sudirman bahkan menyinggung perlunya pergantian pucuk pimpinan Polri. Menurutnya, catatan kontroversial yang melekat pada kepemimpinan saat ini menjadi hambatan besar bagi proses perbaikan institusi.
Reformasi yang Terbuka dan Inklusif
Isu komposisi tim ini menegaskan kembali tantangan lama: reformasi institusi penegak hukum hanya akan bermakna jika dilaksanakan dengan prinsip check and balance. Keterlibatan akademisi, aktivis hak asasi manusia, dan organisasi masyarakat sipil dianggap penting untuk mencegah reformasi menjadi sekadar jargon.
Jika Tim Reformasi Polri tetap berjalan tanpa membuka diri terhadap partisipasi independen, maka wajar jika publik meragukan hasil akhirnya. Sebaliknya, jika Polri mampu menjadikan reformasi ini sebagai momentum untuk membuka ruang dialog dengan masyarakat, kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian bisa dipulihkan.
Rekomendasi Kebijakan
Agar reformasi Polri tidak terjebak dalam simbolisme, ada beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan:
Melibatkan unsur independen — akademisi, pakar hukum, tokoh masyarakat sipil, dan organisasi HAM perlu diberi ruang dalam tim reformasi.
Membuka mekanisme transparansi publik — laporan kinerja tim reformasi sebaiknya dipublikasikan secara berkala agar masyarakat bisa memantau perkembangan.
Evaluasi kepemimpinan — jika pucuk pimpinan terbukti menjadi hambatan, pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan langkah perombakan struktural.
Dengan langkah-langkah tersebut, reformasi Polri tidak hanya menjadi janji, tetapi juga menjelma sebagai proses nyata yang membawa perubahan dan mengembalikan kepercayaan masyarakat.