Jakarta – Reformasi Polri seharusnya menjadi jawaban atas tuntutan publik akan institusi yang profesional, transparan, dan akuntabel. Namun, kenyataan terkini menunjukkan ironi besar: mereka yang dikritik karena dianggap bermasalah justru membentuk tim reformasi internal mereka sendiri.
Paradoks Reformasi di Tubuh Polri
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri, yang terdiri dari 52 perwira tinggi dan menengah. Struktur tim meliputi Wakapolri Komjen Pol Dedi Prasetyo sebagai penasihat, Kalemdiklat Polri Komjen Pol Chryshnanda Dwilaksana sebagai ketua, Koorsahli Kapolri Irjen Pol Herry Rudolf Nahak sebagai wakil ketua, serta sejumlah pengarah dan sekretaris yang berasal dari Divhumas, Propam, Spripim, dan birokrasi internal lainnya.
Struktur tim ini antara lain mencakup:
Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo sebagai pelindung tim.
Wakapolri Komjen Pol Dedi Prasetyo sebagai penasihat.
Kalemdiklat Polri Komjen Pol Chryshnanda Dwilaksana sebagai ketua tim.
Koorsahli Kapolri Irjen Pol Herry Rudolf Nahak sebagai wakil ketua I.
Karobindiklat Lemdiklat Polri Brigjen Pol Susilo Teguh Raharjo sebagai wakil ketua II.
Pengarah transformasi bidang organisasi, operasional, pelayanan publik, dan pengawasan: Komjen Pol Wahyu Hadiningrat, Komjen Pol Mohammad Fadil Imran, Komjen Pol Akhmad Wiyagus, dan Komjen Pol Wahyu Widada.
Sekretaris I, II, dan III: Irjen Pol Kristiyono, Brigjen Pol Langgeng Purnomo, dan Kombes Pol Kusworo Wibowo.
Anggota lainnya terdiri dari pejabat Divhumas, Propam, Spripim, dan sejumlah perwira menengah aktif lainnya.
Baca juga : https://beritaindonesia.news/2025/09/22/reformasi-polri-tanpa-masyarakat-sipil-upaya-serius-atau-kamuflase/
Publik menilai tim ini rawan konflik kepentingan. “Bagaimana bisa institusi yang dikritik serius menilai dirinya sendiri? Ini bukan reformasi, ini kontrol citra,” ujar seorang aktivis sipil yang menolak disebutkan namanya. Kritik keras juga datang dari GN’98. Ketua Umum Anton Aritonang menegaskan bahwa reformasi sejati harus digerakkan oleh masyarakat sipil, bukan tim internal yang rentan bias politik. “Supremasi sipil adalah fondasi reformasi. Kritik rakyat bukan ancaman, tapi landasan perubahan,” tegas Anton.
Paradoks ini makin nyata ketika publik melihat bahwa aspirasi rakyat justru dibendung oleh struktur yang seharusnya diperbaiki. Tim internal Polri kini menjadi simbol reformasi yang tampak—“reformasi kosmetik”—tanpa menyentuh akar persoalan: politik praktis, kronisme, dan lemahnya mekanisme pengawasan independen.
Sejumlah tokoh masyarakat sipil menyatakan kekhawatirannya: “Jika reformasi Polri hanya dilakukan dari dalam institusi sendiri, tanpa keterlibatan publik, maka reformasi akan kehilangan legitimasi. Publik hanya bisa menyuarakan kritik tanpa ada jaminan perubahan nyata,” ujar pakar hukum dari lembaga pemantau kepolisian.
Paradoks lain terlihat dari aspek akuntabilitas. Idealnya, reformasi Polri harus menyeimbangkan otoritas institusi dengan tuntutan publik. Namun, dengan tim internal yang sepenuhnya berasal dari tubuh Polri, prinsip checks and balances menjadi kabur. Rakyat yang seharusnya menjadi pengawas utama kini hanya bisa menonton dari pinggir, sementara institusi menata narasi reformasi sesuai kepentingannya sendiri.
Sejarah reformasi kepolisian di negara lain menunjukkan bahwa transformasi yang berhasil selalu melibatkan pengawasan eksternal, partisipasi masyarakat, dan transparansi proses internal. Tanpa elemen-elemen ini, reformasi berisiko menjadi simbol belaka, bukan transformasi substansial.
Pertanyaannya sederhana namun tajam: masih adakah rasa malu ketika institusi yang dikritik membentuk tim reformasi sendiri, mengawasi dirinya sendiri, dan menentukan narasi perubahan tanpa masukan publik? Jika rasa malu itu hilang, maka yang tersisa hanyalah upaya mempertahankan kekuasaan dan citra, sementara kepercayaan publik terkikis perlahan.
Paradoks reformasi ini menegaskan satu hal: reformasi tidak cukup dilakukan dari dalam institusi saja. Transformasi sejati membutuhkan keterlibatan masyarakat, transparansi, dan mekanisme akuntabilitas independen. Hanya dengan kombinasi ini Polri bisa kembali ke fungsi utamanya: menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan melayani kepentingan politik atau kepentingan internal institusi semata.