Jakarta — Polemik program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi prioritas Presiden Prabowo Subianto kembali mencuat setelah insiden keracunan massal di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Sebanyak 277 siswa dari berbagai sekolah dilaporkan mengalami gejala alergi usai mengonsumsi menu MBG. Kasus ini menimbulkan wacana agar bantuan tidak lagi berupa makanan siap saji, melainkan diganti uang tunai.
Respons Istana
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan bahwa gagasan penggantian MBG menjadi bantuan tunai bukan hal baru. Menurutnya, skema saat ini adalah hasil kajian panjang dari berbagai alternatif yang pernah dipertimbangkan.
“Pemerintah tetap melihat program MBG sebagai opsi terbaik, meski ada catatan teknis yang harus terus diperbaiki,” ujar Prasetyo di Jakarta, Sabtu (21/9).
Ia menambahkan, pemerintah terbuka terhadap evaluasi, termasuk soal distribusi dan standar keamanan pangan, agar program berjalan lebih efektif dan tidak mengulang kasus Banggai.
Perdebatan Skema: Makanan vs Uang Tunai
Sejumlah pakar menilai, perubahan bentuk bantuan akan sangat berpengaruh pada efektivitas program.
Jika tetap berupa makanan: pemerintah bisa mengendalikan standar gizi, namun rawan masalah distribusi, higienitas, serta biaya logistik yang tinggi. Kasus Banggai menjadi bukti lemahnya rantai pengawasan.
Jika diganti uang tunai: distribusi lebih efisien dan fleksibel, tetapi ada risiko tinggi uang digunakan untuk kebutuhan lain di luar gizi anak. Dalam jangka panjang, tujuan program bisa melenceng dan anak tetap berisiko stunting.
“Risikonya, kalau bulanan, uang bisa habis di minggu pertama dan anak tidak makan bergizi hingga akhir bulan,” ujar seorang pengamat kebijakan sosial.
Kontrol Bantuan: Mingguan Lebih Efektif
Analisis lain menyebut, pemberian bantuan tunai sebaiknya dilakukan per minggu agar lebih fokus memenuhi kebutuhan gizi harian anak. Skema ini dianggap menekan kemungkinan uang dialihkan untuk kebutuhan non-pangan.
Namun, kelemahannya adalah biaya administrasi bank lebih besar karena pencairan lebih sering.
Sebaliknya, pencairan per bulan lebih efisien secara administrasi, tetapi rawan disalahgunakan. “Dalam jangka panjang, program bisa berubah dari makanan bergizi menjadi sekadar bantuan sosial tunai tanpa menjamin kualitas gizi anak,” tambahnya.
Solusi Hybrid
Sejumlah pihak mendorong adanya skema hybrid: di kota besar dengan rantai pasok kuat, MBG tetap berupa makanan siap saji; sementara di daerah terpencil yang sulit distribusi, bantuan bisa dalam bentuk uang tunai berbasis digital.
Uang tersebut dapat “dikunci” penggunaannya, misalnya hanya bisa dipakai membeli bahan pangan bergizi di toko mitra, mirip dengan sistem kartu sembako non-tunai.
Kesimpulan
Pemerintah berupaya menyeimbangkan antara efisiensi anggaran dan jaminan gizi anak. Hingga kini, skema makanan langsung masih dipertahankan, namun opsi bantuan tunai tetap terbuka dengan catatan adanya sistem kontrol ketat.
Polemik ini menjadi ujian awal bagi program andalan Presiden Prabowo, apakah mampu menjawab tantangan lapangan sekaligus memenuhi misi besar mengurangi stunting di Indonesia.