Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Sepatu Versace

Versace latest men's casual fashion shoes Kode Produk ID0256 https://katalogproduk.co.id/muhibuddin21

Sepatu Armani

HomeHukumKuota Haji Disulap Jadi Ladang Uang: KPK Telusuri Jejak Setoran Travel

Kuota Haji Disulap Jadi Ladang Uang: KPK Telusuri Jejak Setoran Travel

Jakarta — Mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi dalam pembagian kuota haji tahun 2023–2024. Sorotan utama mengarah pada keputusan Kementerian Agama (Kemenag) yang mengubah proporsi pembagian kuota tambahan haji 2024 dari ketentuan undang-undang, yakni 92 persen haji reguler dan 8 persen haji khusus, menjadi 50:50.

Kuota Tambahan dan Dasar Aturan

Pemerintah Arab Saudi memberikan tambahan kuota sebesar 20.000 jamaah, sehingga total kuota Indonesia pada 2024 mencapai sekitar 241.000. Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, kuota seharusnya dialokasikan dengan proporsi tetap 92 persen untuk jamaah reguler dan 8 persen untuk haji khusus. Artinya, tambahan kuota mestinya tetap mengikuti formula yang sama.

Namun Kemenag justru menetapkan pembagian kuota tambahan menjadi 10.000 reguler dan 10.000 khusus. Keputusan ini menimbulkan kontroversi karena dianggap menyimpang dari aturan hukum yang berlaku.

Narasi Pembelaan: Kapasitas Mina

Dari pihak pendukung kebijakan, Ulil Absar Abdalla dari PBNU menegaskan bahwa perubahan skema adalah hasil diplomasi Presiden Joko Widodo dengan Kerajaan Arab Saudi. Menurutnya, Presiden meminta Kemenag melakukan simulasi teknis karena kuota tambahan sebelumnya hanya 8.000, jauh di bawah angka 20.000 yang kemudian disetujui.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa penambahan 18.400 jamaah reguler sesuai proporsi 92:8 akan menyebabkan kepadatan berbahaya di tenda Mina, lokasi yang menjadi pusat ritual puncak haji. Dalam simulasi yang disebut melibatkan otoritas Saudi, disarankan agar pembagian dilakukan lebih seimbang demi menjaga keselamatan dan kelancaran ibadah.

Dugaan Pelanggaran Hukum

Meski narasi teknis ini cukup kuat, secara logis-formal ada persoalan mendasar. UU 8/2019 tidak memberikan ruang pengecualian untuk pembagian kuota tambahan. Dengan demikian, keputusan membagi 50:50 dapat dikategorikan sebagai penyimpangan administratif.

Persoalan menjadi lebih serius ketika KPK mengungkap indikasi jual beli kuota haji khusus. Laporan menyebutkan adanya setoran dari penyelenggara perjalanan haji khusus (PIHK) kepada oknum pejabat dengan besaran antara USD 2.600 hingga USD 7.000 per kursi. Jika benar, maka penyimpangan administratif ini berubah menjadi tindak pidana korupsi karena ada unsur memperkaya pihak tertentu melalui gratifikasi.

Analisa Implikasi

  1. Hukum: Ada pelanggaran aturan yang jelas, yakni ketidaksesuaian dengan UU 8/2019. Ini cukup untuk menimbulkan konsekuensi hukum, minimal dalam bentuk maladministrasi, dan bisa naik ke ranah pidana bila terbukti ada gratifikasi.

  2. Operasional: Argumen teknis tentang kapasitas Mina dapat dipahami. Namun alasan operasional tidak otomatis meniadakan konsekuensi pidana bila ada bukti transaksi ilegal.

  3. Ekonomi: Kuota khusus yang lebih besar menguntungkan travel swasta. Dengan biaya lebih tinggi, potensi keuntungan komersial besar, apalagi jika disertai praktik jual beli kursi.

  4. Politik-Diplomatik: Indonesia memang mendapat tambahan kuota melalui jalur diplomasi. Namun tanpa transparansi dokumen resmi, narasi diplomasi mudah dipandang sebagai tameng untuk menutupi penyimpangan.

  5. Reputasi Publik: Kasus ini menimbulkan erosi kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola haji dan menambah sorotan publik terhadap Kemenag.

Status Perkara

Saat ini KPK masih berada pada tahap penyelidikan, dengan memanggil saksi-saksi, melakukan penggeledahan, dan pencegahan ke luar negeri. Belum ada penetapan tersangka. Artinya, secara yuridis formal, duduk perkara pidana belum diputus.

Namun berdasarkan analisa hukum, pelanggaran aturan sudah nyata. Jika kemudian penyelidikan KPK membuktikan adanya imbalan atau keuntungan tidak sah, kasus ini akan resmi masuk ranah pidana korupsi.

Kesimpulan

Perubahan skema kuota haji tambahan 2024 menjadi 50:50 memiliki dua wajah. Dari sisi teknis, keputusan ini digambarkan sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan kapasitas Mina. Namun dari sisi hukum, keputusan itu menyimpang dari undang-undang dan membuka ruang penyalahgunaan. Dugaan adanya jual beli kuota membuat kasus ini berpotensi kuat masuk ranah pidana.

Masyarakat kini menunggu langkah tegas KPK untuk mengungkap apakah kebijakan ini semata pilihan teknis, atau justru menjadi pintu masuk praktik korupsi yang merugikan negara dan jamaah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here