Jakarta – Desakan pemecatan seluruh anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2022–2027 kembali mencuat di tengah sorotan publik. Sekelompok organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Sipil menilai banyak keputusan KPU bermasalah, baik dari sisi administratif maupun etika, sehingga kredibilitas lembaga penyelenggara pemilu dipertanyakan.
Latar Belakang Desakan
Koalisi Sipil menekankan bahwa blunder administratif KPU, terutama rencana merahasiakan dokumen persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden, menciptakan persepsi negatif di publik. Langkah tersebut dinilai menyalahi prinsip keterbukaan dan akuntabilitas yang seharusnya menjadi landasan lembaga penyelenggara demokrasi.
Selain itu, perilaku KPU yang menimbulkan keraguan publik terhadap etika dan transparansi memperkuat tuntutan untuk evaluasi menyeluruh. Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati, menegaskan pentingnya laporan formal ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), lembaga yang memiliki wewenang menilai etika anggota KPU dan memberikan rekomendasi sanksi.
Implikasi Politik
Desakan ini menempatkan Presiden Prabowo Subianto dan DPR pada posisi sulit. Mereka harus menyeimbangkan tuntutan masyarakat sipil yang menuntut akuntabilitas dengan menjaga stabilitas politik dan independensi KPU.
Langkah tegas, seperti pemecatan, berpotensi memperkuat legitimasi penyelenggara pemilu jika dijalankan berdasarkan proses hukum yang jelas. Namun, bila langkah tersebut dipersepsikan sebagai politisasi lembaga, hal ini justru dapat merusak kepercayaan publik.
Publik yang mengikuti kasus ini kemungkinan menilai integritas pemilu dipertaruhkan. Isu transparansi dokumen persyaratan calon dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu 2024–2029, menimbulkan kekhawatiran terkait netralitas dan keadilan penyelenggara pemilu.
Dampak Hukum dan Tata Kelola
DKPP berperan penting sebagai mekanisme pengawasan etik penyelenggara pemilu. Pemecatan anggota KPU memerlukan proses administratif dan bukti pelanggaran kode etik yang kuat agar sah secara hukum.
Koalisi sipil juga mendorong revisi Undang-Undang Pemilu sebagai bagian dari reformasi kelembagaan. Revisi tersebut dapat memperkuat standar transparansi dokumen, mekanisme audit internal, dan kode etik penyelenggara. Dengan kata lain, perubahan regulasi diharapkan menjadi pencegah agar kesalahan serupa tidak terulang di masa mendatang.
Analisis Risiko dan Strategi Reformasi
Tindakan pemecatan anggota KPU tanpa prosedur yang transparan berpotensi menimbulkan tuduhan intervensi politik. Untuk memitigasi risiko tersebut, strategi reformasi harus berbasis audit independen dan rekomendasi DKPP. Selain itu, komunikasi publik yang jelas terkait alasan, prosedur, dan langkah perbaikan menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan masyarakat.
Reformasi kelembagaan KPU juga perlu diperkuat melalui revisi UU Pemilu dan penegakan standar etika yang ketat. Hal ini mencakup mekanisme darurat ketika terjadi blunder administratif atau konflik kepentingan, sehingga proses pemilu tetap berjalan adil dan profesional.
5 Pilar Reformasi KPU
Berdasarkan analisis strategis, reformasi KPU dapat difokuskan pada lima pilar utama:
Transparansi Proses dan Dokumen
Publikasi seluruh dokumen persyaratan calon presiden/cawapres secara daring, dengan sistem digital yang memudahkan masyarakat dan media memantau verifikasi dan keputusan KPU. Indikator keberhasilan: 100% dokumen dapat diakses publik dan laporan verifikasi tersedia secara real-time.Akuntabilitas Anggota KPU
Audit independen rutin terhadap keputusan strategis dan penegakan kode etik dengan sanksi tegas bagi pelanggaran. Indikator keberhasilan: Keputusan kontroversial ditindaklanjuti dan laporan DKPP transparan.Profesionalisme dan Kompetensi
Rekrutmen berbasis merit, pelatihan berkelanjutan terkait hukum pemilu, etika, dan manajemen konflik. Indikator keberhasilan: Promosi berbasis merit >80% dan peningkatan kapasitas anggota KPU terukur melalui survei internal.Pengawasan dan Mekanisme Pengaduan
Memperkuat DKPP dan menyediakan sistem pengaduan digital yang mudah diakses publik. Indikator keberhasilan: Penyelesaian pengaduan <30 hari dan tingkat kepuasan publik >75%.Reformasi Tata Kelola dan Regulasi
Revisi UU Pemilu untuk memperjelas standar transparansi, etika, dan prosedur pengambilan keputusan. Penetapan protokol darurat ketika terjadi konflik kepentingan. Indikator keberhasilan: Revisi UU diterapkan sebelum pemilu berikutnya dan protokol darurat berjalan efektif.
Kesimpulan
Desakan pemecatan anggota KPU mencerminkan ketidakpuasan publik terhadap etika dan kinerja penyelenggara pemilu. Namun, langkah tegas harus diimbangi proses hukum dan administrasi yang transparan agar independensi KPU tetap terjaga.
Jika lima pilar reformasi dijalankan secara sistemik, KPU memiliki potensi menjadi penyelenggara pemilu yang:
Transparan dan akuntabel,
Profesional dan berbasis merit,
Bebas dari intervensi politik atau kepentingan ekonomi,
Modern, adil, dan dipercaya publik.
Reformasi ini menjadi momentum penting untuk memperkuat integritas demokrasi Indonesia, memastikan pemilu berjalan jujur, adil, dan kredibel.