Jakarta — Bursa saham kembali bergejolak setelah Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, menyatakan akan meninjau ulang tarif cukai rokok yang saat ini mencapai sekitar 57%. Sejak dilantik dua minggu lalu, Purbaya menilai tarif tersebut sudah berada pada level yang “sangat tinggi” dan menimbulkan tekanan serius pada industri padat karya.
Menurut data Bea Cukai, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (IHT) sepanjang 2024 mencapai Rp216,9 triliun. Meski menjadi penyumbang besar bagi APBN, kebijakan kenaikan tarif cukai dinilai kontraproduktif karena berisiko menekan industri dan mendorong peredaran rokok ilegal yang kini menguasai 20–30% pasar nasional.
Lonjakan Saham Pasca Pernyataan Menkeu
Pernyataan Purbaya langsung disambut euforia di lantai bursa. Saham dua emiten besar, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP), melesat lebih dari 22% dalam sepekan terakhir.
Data perdagangan 16 September 2025 mencatat:
GGRM naik 19,35% hingga Rp11.100, hampir menyentuh batas auto rejection atas (ARA).
HMSP menguat 19,82% ke Rp665, juga mendekati ARA.
Emiten lain turut terdongkrak, seperti WIIM (+24,70%) dan ITIC (+24,59%).
Lonjakan ini mencerminkan harapan investor bahwa pemerintah akan memberikan konsesi atau moratorium kenaikan cukai pada 2026.
Industri di Bawah Tekanan
Meski saham menguat, kinerja keuangan industri tembakau justru tertekan. Laba Gudang Garam anjlok 81% pada 2024, turun dari Rp5,3 triliun menjadi Rp981 miliar. Sementara itu, Sampoerna (HMSP) mencatat penurunan laba 17,9% menjadi Rp6,64 triliun, meski tetap membagikan dividen jumbo senilai Rp6,53 triliun atau 105% dari laba bersih.
Direktur Gudang Garam menyebut perusahaan terus berupaya merilis produk baru, termasuk Sigaret Kretek Tangan (SKT), untuk menyasar konsumen menengah ke bawah serta menghadapi persaingan dengan produk ilegal dan rokok murah. Namun, PHK massal di sektor SKM dan SKT menjadi ancaman nyata akibat beban cukai yang terus meningkat.
Sikap Pemerintah dan DPR
DPR melalui Komisi XI meminta agar tarif cukai tidak dinaikkan pada 2026, dengan alasan menjaga stabilitas industri dan melindungi jutaan tenaga kerja. Data Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan, sektor tembakau menyerap sekitar 5,98 juta pekerja pada 2023.
Menkeu Purbaya menegaskan keputusan akhir akan diambil setelah kajian lapangan selesai. Ia menekankan bahwa pemerintah juga tengah menghitung potensi penerimaan dari pemberantasan cukai palsu dan peredaran rokok ilegal.
Proyeksi dan Arah Kebijakan
Sejumlah proyeksi menunjukkan bahwa relaksasi tarif dapat memulihkan kinerja emiten. Penurunan tarif cukai sebesar 2% diperkirakan mampu mendongkrak laba HMSP hingga 29,4%, dan GGRM hingga 111,4%. Sebaliknya, jika kenaikan tarif tetap diberlakukan tanpa mitigasi, risiko PHK massal dan pergeseran konsumsi ke produk ilegal akan semakin besar.
Ekonom menilai, dari sisi fiskal, penurunan tarif 2% hanya akan mengurangi penerimaan sekitar Rp7,6 triliun dari total Rp216,9 triliun—angka yang relatif kecil dibandingkan potensi dampak sosial-ekonomi jika industri tembakau terus tertekan.
Kesimpulan
Evaluasi tarif cukai rokok oleh Menkeu menjadi titik krusial yang memengaruhi pasar modal, industri, dan pekerja. Lonjakan saham emiten tembakau mencerminkan optimisme investor terhadap kemungkinan relaksasi kebijakan. Namun, pemerintah masih dihadapkan pada dilema: menjaga penerimaan negara sekaligus melindungi industri padat karya dan menekan peredaran rokok ilegal.
Keputusan akhir akan ditentukan dalam beberapa minggu ke depan, setelah pemerintah merampungkan analisis menyeluruh.