Jakarta – Dari Kathmandu hingga Manila, dari Dili hingga Jakarta, gelombang baru perlawanan politik sedang bergulir. Bukan partai tua atau tokoh karismatik yang memimpin, melainkan generasi termuda di benua ini: Generasi Z.
Mereka lahir di tengah revolusi digital, tumbuh bersama media sosial, dan kini menghadapi kenyataan pahit: ekonomi yang timpang, politik yang penuh nepotisme, serta masa depan yang terasa rapuh. Di jalanan, di ruang-ruang diskusi daring, bahkan lewat meme yang viral, Gen Z Asia menantang tatanan lama yang selama ini mendominasi.
Nepal: Kejatuhan Sang Perdana Menteri
Nepal menjadi contoh paling dramatis. Ratusan ribu anak muda turun ke jalan menentang pemerintahan Perdana Menteri KP Sharma Oli. Mereka menuding elit politik gagal menyediakan lapangan kerja, abai pada keadilan sosial, dan hanya sibuk mempertahankan kekuasaan.
Bentrokan yang menelan korban jiwa tak menyurutkan gelombang itu. Tekanan publik akhirnya memaksa Oli mundur, sebuah tanda betapa suara generasi baru tak bisa lagi diremehkan.
Indonesia: TikTok, Meme, dan Jalanan
Di Indonesia, wajah perlawanan Gen Z tak selalu berupa orasi lantang. Protes sering dimulai dari layar kecil ponsel. Meme politik, video satir di TikTok, hingga kampanye digital jadi pemantik aksi lapangan.
Gelombang protes menentang revisi undang-undang, isu korupsi, hingga kebijakan lingkungan, memperlihatkan kreativitas Gen Z dalam menggabungkan budaya pop dengan aktivisme. “Kami bukan apatis. Kami hanya punya cara berbeda,” kata seorang mahasiswa di Jakarta.
Filipina & Timor Leste: Warisan Dinasti dan Elitisme Ditantang
Di Filipina, generasi muda menolak dominasi politik dinasti yang seakan tak ada habisnya. Sementara di Timor Leste, aktivis muda menuntut transparansi dari elit veteran yang dianggap terlalu lama memegang kendali negara.
Dari kedua negara ini, semangatnya sama: generasi muda tak lagi mau hanya menjadi penonton sejarah.
Spektrum Perlawanan Baru
Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari karakter Gen Z: cepat marah, cepat bergerak, dan cepat menyebarkan pesan. Namun, tantangannya jelas: mampukah mereka mengubah energi jalanan menjadi kekuatan politik berkelanjutan?
Sejarawan politik menyebut, Asia tengah menyaksikan “spektrum perlawanan baru”. Gelombang ini mungkin belum terorganisir sekuat partai atau gerakan lama, tetapi sinyalnya jelas: tatanan lama mulai retak.
Generasi Z Asia tidak sekadar marah. Mereka menuntut transparansi, keadilan sosial, dan masa depan yang lebih pasti. Dari Kathmandu, Jakarta, hingga Manila, suara mereka kini menggema sebagai pertanda perubahan.
Tatanan lama boleh saja bertahan, tetapi spektrum Asia kini sudah diwarnai oleh warna baru: generasi Z yang berani menantang.