Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Mark Zuckerberg Rekrut Tokoh Kunci GPT-4 untuk Proyek AI Ambisius

Jakarta, 28 Juli 2025 — Meta resmi mengumumkan penunjukan Shengjia Zhao, salah satu tokoh penting di balik pengembangan ChatGPT dan GPT-4 di OpenAI, sebagai...
HomeBusinessUnilever vs Gaza: Bagaimana Ben & Jerry’s Kehilangan Suara Keadilan Sosial

Unilever vs Gaza: Bagaimana Ben & Jerry’s Kehilangan Suara Keadilan Sosial

Jakarta – Pada 17 September 2025, Jerry Greenfield, salah satu pendiri merek es krim legendaris Ben & Jerry’s, resmi mundur dari posisinya sebagai brand ambassador. Keputusan ini bukan sekadar urusan pribadi, melainkan puncak dari perseteruan panjang dengan perusahaan induk, Unilever, terkait kebijakan sosial Ben & Jerry’s, khususnya sikapnya atas konflik Gaza.

Bagi banyak konsumen, Ben & Jerry’s bukan sekadar es krim. Ia lahir di Vermont, Amerika Serikat, dengan misi ganda: menghadirkan produk berkualitas sekaligus membawa nilai keadilan sosial. Maka, ketika Greenfield menyatakan dirinya tidak lagi bisa berdiri di balik merek yang “dibungkam”, dunia bisnis dan konsumen pun terbelah: apakah ini akhir dari brand activism yang selama ini menjadi ciri khas Ben & Jerry’s?

Akar Masalah: Gaza dan Janji Merger yang Dilanggar

Konflik bermula pada 2021. Saat itu, Ben & Jerry’s mengumumkan akan menghentikan penjualan di wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel. Keputusan ini, meski mendapat dukungan sebagian konsumen global, langsung memicu kecaman keras, terutama dari kelompok pro-Israel dan sejumlah politisi Amerika.

Unilever, sebagai induk usaha sejak akuisisi 2000, segera berada di tengah badai politik dan bisnis. Menurut Greenfield, justru di sinilah titik awal “pembungkaman” terjadi. Ia menyebut Unilever melanggar perjanjian merger yang semestinya menjamin independensi Ben & Jerry’s dalam menyuarakan misi sosial.

“Kesepakatan kami dulu jelas: Ben & Jerry’s tetap bisa menentukan nilai dan sikap moralnya sendiri. Tapi kini suara kami dipotong,” ungkap Greenfield dalam surat terbuka yang disebarkan rekannya, Ben Cohen.

Bahkan, dalam gugatan hukum yang diajukan Ben & Jerry’s terhadap Unilever, para pendiri menyebut perusahaan melarang penggunaan istilah “genosida” untuk menggambarkan konflik Gaza.

Mundurnya Greenfield: Simbol Perlawanan

Mundur sebagai brand ambassador, Greenfield menegaskan langkahnya bukan bentuk menyerah, melainkan protes moral. Ia tidak terlibat langsung dalam gugatan hukum, tetapi kepergiannya memperkuat narasi bahwa Unilever gagal menjaga ruh sosial Ben & Jerry’s.

Reuters melaporkan, pengunduran diri Greenfield semakin memperkeruh hubungan dengan Unilever yang saat ini tengah sibuk dengan agenda bisnis: mempersiapkan spin-off Magnum Ice Cream Company dan IPO pada November 2025.

Tawaran buyout senilai US$1,5–2,5 miliar yang diajukan para pendiri agar Ben & Jerry’s bisa lepas dari Unilever pun ditolak. Dengan begitu, ruang gerak pendiri semakin sempit, sementara arah korporasi sepenuhnya berada di tangan Unilever.

Aktivisme Merek: Antara Idealisme dan Realitas Pasar

Kisah Ben & Jerry’s bukanlah yang pertama memperlihatkan gesekan antara brand activism dan kepentingan korporasi besar. Nike, misalnya, pernah mengalami boikot setelah mendukung Colin Kaepernick dalam gerakan #TakeAKnee. Patagonia juga kerap berhadapan dengan tekanan investor karena sikap politiknya yang tajam dalam isu lingkungan.

Bedanya, Ben & Jerry’s memiliki perjanjian unik dengan Unilever: hak istimewa untuk tetap bebas bersuara. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa janji hukum kerap sulit bertahan di bawah tekanan politik, pasar, dan citra korporasi global.

“Brand activism selalu menimbulkan risiko. Ia bisa mengikat loyalitas konsumen yang peduli nilai, tapi juga memicu boikot dari kelompok lain. Di sinilah dilema besar korporasi global,” tulis The Washington Post dalam analisisnya.

Implikasi bagi Indonesia: ESG di Persimpangan Jalan

Di Indonesia, semakin banyak perusahaan yang mengusung konsep ESG (environmental, social, governance) sebagai bagian dari strategi bisnis. Beberapa brand fesyen lokal, startup teknologi, hingga perusahaan energi mulai menempatkan isu keberlanjutan dan keadilan sosial dalam narasi publik mereka.

Namun, kisah Ben & Jerry’s memberi peringatan: ketika sebuah merek lokal tumbuh besar dan masuk ke dalam struktur konglomerasi global atau pasar modal internasional, tekanan untuk mengutamakan profit kerap memaksa mereka “menundukkan kepala”.

Dilema ini sangat relevan bagi perusahaan Indonesia yang mengusung nilai keberlanjutan dan aktivisme. Mereka harus memilih: sejauh mana nilai itu bisa dipertahankan ketika berhadapan dengan kepentingan pemilik modal besar?

Konsumen di Tengah Konflik Nilai

Bagi konsumen global, pengunduran diri Greenfield menimbulkan pertanyaan: apakah Ben & Jerry’s masih merepresentasikan nilai yang dulu membuat mereka loyal?

Di era media sosial, identitas merek semakin ditentukan bukan hanya oleh kualitas produk, tetapi juga oleh posisi politiknya. Generasi muda, terutama Gen Z, menaruh perhatian besar pada brand purpose. Sebuah studi Edelman Trust Barometer 2024 menyebut 63% konsumen global bersedia beralih ke brand lain jika merek favorit mereka dianggap mengabaikan isu moral.

Artinya, kasus ini bukan hanya konflik internal, tetapi juga ujian besar bagi citra Ben & Jerry’s di mata konsumennya.

Pertarungan Identitas yang Belum Usai

Mundurnya Jerry Greenfield menandai babak baru dalam sejarah Ben & Jerry’s. Di satu sisi, ia adalah simbol perlawanan terhadap dominasi korporasi global yang menyingkirkan nilai sosial. Di sisi lain, langkah ini menegaskan rapuhnya brand activism ketika berhadapan dengan realitas pasar, politik, dan modal besar.

Bagi perusahaan lokal di Indonesia, kisah ini menjadi cermin: membangun merek berbasis nilai adalah langkah mulia, tetapi mempertahankannya dalam struktur korporasi besar adalah perjuangan yang tak kalah sulit.

Pertanyaan akhirnya sederhana: ketika sebuah merek lahir dari idealisme, apakah ia masih bisa bertahan sebagai ikon sosial setelah masuk ke pusaran kapitalisme global?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here