Prolog
Setiap tahun, laporan keuangan perusahaan milik negara dipublikasikan dengan angka-angka megah: pendapatan triliunan rupiah, aset fantastis, bahkan klaim kinerja positif. Namun di balik barisan tabel dan grafik yang dipoles, publik kerap dikejutkan oleh kabar kerugian besar yang mendadak menyeruak. BUMN yang seharusnya menjadi “sapi perah” negara justru berubah menjadi lubang raksasa yang menelan dana rakyat.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kerugian BUMN benar-benar cerminan kegagalan bisnis, atau hanya hasil rekayasa akuntansi, beban politik, bahkan permainan elite?
Kasus Jiwasraya membuka mata publik tentang bagaimana praktik window dressing dan manipulasi investasi bisa menimbulkan lubang keuangan raksasa. Namun Jiwasraya bukan satu-satunya. Asabri, Garuda Indonesia, PLN, hingga Krakatau Steel pernah—atau masih—bergelut dengan masalah serupa. Polanya berulang: laporan laba semu, beban penugasan negara yang tak diimbangi kompensasi, hingga intervensi elite politik yang menjerat perusahaan ke dalam proyek-proyek nonkomersial.
Tak jarang, kerugian ini bukan sekadar angka di neraca. Ia berubah menjadi beban publik lewat subsidi, bailout, atau suntikan modal negara yang bersumber dari pajak rakyat. Inilah yang membuat isu kerugian BUMN bukan semata persoalan korporasi, melainkan juga soal tata kelola negara, integritas elite, dan masa depan ekonomi Indonesia.
Seri tulisan ini akan menelusuri jejak kerugian BUMN secara kronologis, mulai dari kasus besar Jiwasraya hingga pola kerugian laten di perusahaan infrastruktur strategis seperti PLN. Dengan pendekatan investigatif, kita akan membedah:
Bagaimana kerugian diciptakan atau ditutup-tutupi,
Siapa yang diuntungkan dari skema ini,
Dan mengapa siklusnya terus berulang dari satu generasi elite ke generasi berikutnya.
Inilah kisah tentang akal-akalan yang menelan triliunan, dan mengapa publik harus lebih kritis membaca setiap laporan manis dari perusahaan pelat merah.
Bagian I
Jiwasraya: Awal Terbongkarnya Laba Semu
Ledakan yang Mengejutkan
Akhir 2019 publik dikejutkan. PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tidak mampu membayar klaim polis jatuh tempo hingga Rp12,4 triliun. Ironisnya, setahun sebelumnya perusahaan masih melaporkan laba. Seolah-olah bisnis berjalan sehat, padahal lubang keuangan sudah menganga.
Skema Laba Semu
Investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan praktik window dressing. Perusahaan mencatat laba semu melalui investasi berisiko tinggi yang tidak sesuai prinsip kehati-hatian. Dari portofolio saham senilai Rp5,7 triliun, sekitar Rp3,7 triliun ditempatkan pada saham gorengan. Harga dan volumenya digerakkan kelompok tertentu.
Akibatnya, nilai investasi anjlok. Namun laporan keuangan tetap menampilkan keuntungan. Dengan cara itu, publik percaya Jiwasraya masih sehat. Padahal sebenarnya sebaliknya.
Kerugian Raksasa dan Dampak Publik
Audit BPK mencatat kerugian negara hingga Rp16,8 triliun. Kerugian itu belum termasuk beban restrukturisasi. Ratusan ribu nasabah terancam kehilangan tabungan hidup mereka. Karena itu pemerintah turun tangan. Solusi yang dipilih adalah pembentukan IFG Life untuk menampung polis sehat.
Jejak Politik dan Elite
Kasus Jiwasraya tidak berdiri sendiri. Penempatan dana pada saham gorengan melibatkan dugaan sindikasi antara pejabat perusahaan, manajer investasi, dan pihak luar. Keuntungan singkat dinikmati segelintir orang, tetapi kerugiannya ditanggung negara.
Dengan demikian, Jiwasraya menunjukkan bahwa BUMN bisa menjadi alat permainan politik dan bisnis elite. Pada akhirnya, rakyatlah yang menanggung akibatnya.
Pintu Masuk ke Skandal Lain
Kasus Jiwasraya menjadi lonceng peringatan. Setelah itu, publik mulai menyorot BUMN lain. Dugaan serupa muncul di Asabri, Garuda Indonesia, bahkan PLN. Polanya sama: laporan laba semu, keputusan investasi bermasalah, serta beban politik yang memberatkan.
Catatan Redaksi:
Jiwasraya adalah contoh nyata bahwa laporan laba BUMN tidak selalu mencerminkan kondisi sebenarnya. Di balik angka yang indah, bisa tersembunyi kerugian triliunan rupiah.