Jakarta – Setiap bulan, jutaan pelanggan PLN membayar tagihan listrik secara tunai. Namun di balik arus kas yang terlihat sehat, PLN justru menanggung beban utang yang menembus Rp500 triliun. Pertanyaan publik pun menggantung: Mengapa perusahaan setrum terbesar negeri ini masih terus berutang, padahal masyarakat tidak pernah menunggak?
Jawaban singkatnya: biaya produksi listrik PLN jauh lebih tinggi dari tarif jual ke masyarakat, dan perbedaan itu ditutup dengan subsidi negara. Namun jawaban yang lebih lengkap menunjukkan gambaran lebih pelik: skema kontrak jangka panjang dengan Independent Power Producers (IPP) yang membebani PLN hingga puluhan tahun ke depan.
Biaya Produksi vs Tarif Listrik
Menurut data PLN, biaya pokok penyediaan (BPP) listrik rata-rata mencapai Rp1.732 per kWh. Sementara itu, tarif untuk rumah tangga bersubsidi hanya Rp1.352 per kWh. Artinya, setiap kilowatt-jam listrik untuk kelompok tertentu dijual lebih murah daripada ongkos produksinya.
Selisih itu ditutup melalui subsidi dari APBN. Dalam beberapa tahun terakhir, angka subsidi listrik berkisar Rp70–100 triliun per tahun. Pemerintah menyebut ini sebagai bentuk keberpihakan kepada rakyat kecil. Namun, realitas di lapangan memperlihatkan subsidi ini juga mengalir deras ke kantong perusahaan swasta penyedia listrik.
Kronologi Masuknya IPP
Skema IPP bukan barang baru. Sejak awal 1990-an, Indonesia membuka pintu bagi swasta membangun pembangkit listrik.
1994: Proyek Paiton I (2×615 MW) di Jawa Timur menjadi IPP pertama dengan kontrak jual-beli listrik (PPA) jangka panjang bersama PLN.
1997–1999: Krisis Asia mengguncang. Banyak proyek IPP ditunda, namun beberapa tetap berjalan dengan dukungan lembaga keuangan internasional.
2005–2009: Pemerintah kembali membuka lelang. Dari 126 proposal IPP, hanya 18 proyek yang terealisasi, termasuk PLTU Cirebon (660 MW) dan ekspansi Tanjung Jati II (2×660 MW).
2010–2015: Program Fast Track 2 diluncurkan. Target 10,1 GW, dengan sebagian besar porsi dialokasikan ke IPP.
2015–2016: Presiden Joko Widodo meluncurkan program ambisius 35 GW, mayoritas melalui IPP. Skema Public-Private Partnership (PPP) diperkuat lewat Perpres 38/2015.
2022: Terbit Perpres 112/2022, yang mencoba menahan tarif IPP baru, khususnya berbasis energi terbarukan, melalui plafon tarif benchmark.
2023–2025: Pemerintah menargetkan penambahan 71 GW kapasitas listrik hingga 2034, di mana 60% berasal dari sektor swasta.
Seiring perjalanan tiga dekade, ketergantungan PLN pada IPP semakin dalam. Kini, sekitar 63% kapasitas pembangkit nasional berasal dari swasta.
Kontrak Berat Sebelah: Skema Take-or-Pay
Di atas kertas, IPP dianggap solusi cepat karena PLN tidak sanggup membiayai pembangunan pembangkit sendirian. Namun kontrak yang lahir justru sangat berat sebelah.
Klausul utama adalah take-or-pay: PLN wajib membayar listrik yang diproduksi IPP sesuai kapasitas kontrak, terlepas dari apakah listrik itu dipakai atau tidak.
Konsekuensinya fatal. Dalam periode 2015–2024, PLN tercatat membayar lebih dari Rp341,5 triliun untuk listrik yang tidak terpakai.
“Ini seperti memesan makanan setiap hari dari restoran mahal. Meski tidak dimakan, tetap harus dibayar penuh,” kata seorang analis energi.
Analisis Biaya Produksi Listrik: Indonesia vs Negara Tetangga
🇮🇩 Indonesia
BPP (Biaya Pokok Penyediaan): rata-rata Rp1.732/kWh (sekitar US$0,11/kWh).
Tarif rumah tangga 450–900 VA (subsidi): Rp1.352/kWh (~US$0,086).
Selisih ditutup subsidi: Rp70–100 triliun/tahun dari APBN.
Struktur biaya:
60% lebih dari pembangkit swasta (IPP) → kontrak take-or-pay, memaksa PLN membayar listrik meski tidak terpakai.
Bahan bakar masih dominan batu bara (±60%) + gas (±20%) → fluktuasi harga impor memengaruhi ongkos.
Infrastruktur distribusi luas, menambah biaya.
➡️ Ciri utama: biaya produksi cukup tinggi, tarif ditekan rendah lewat subsidi, beban keuangan jatuh ke PLN dan negara.
🇲🇾 Malaysia
Tarif rata-rata (2024): sekitar US$0,058/kWh (±Rp930).
Mekanisme: subsidi energi berbasis ICPT (Imbalance Cost Pass-Through) → biaya bahan bakar bisa langsung dioper ke tarif, tapi pemerintah memberi kompensasi selektif.
Dominasi pembangkit: TNB (Tenaga Nasional Berhad) masih menguasai mayoritas pembangkitan, walau ada IPP.
Kelebihan: kontrak IPP beberapa kali direstrukturisasi agar tidak terlalu membebani negara.
➡️ Ciri utama: tarif lebih rendah dari Indonesia, dengan mekanisme subsidi lebih transparan dan renegosiasi kontrak IPP.
🇸🇬 Singapura
Tarif rata-rata (2024): US$0,20–0,22/kWh (Rp3.200–3.500).
Subsidi: hampir tidak ada; harga listrik langsung mengikuti pasar gas global.
Struktur pembangkit: hampir 95% berbasis gas alam impor → tarif sensitif terhadap harga LNG internasional.
Sistem: liberalisasi penuh → konsumen bisa memilih retailer listrik, kompetisi relatif transparan.
➡️ Ciri utama: biaya tinggi, tapi transparan. Tidak membebani negara dengan subsidi besar.
🇹🇭 Thailand
Tarif rata-rata (2024): US$0,10–0,11/kWh (~Rp1.600–1.700).
Struktur pembangkit: 65% gas alam, sisanya batu bara dan hidro.
IPP & SPP (Small Power Producers) terlibat, tapi kontraknya melalui tender terbuka dan lebih fleksibel daripada Indonesia.
Subsidi: relatif kecil; tarif listrik cukup mendekati biaya produksi.
➡️ Ciri utama: mirip Indonesia dari sisi biaya, tapi beban IPP lebih ringan karena desain kontrak lebih adil.
🇻🇳 Vietnam
Tarif rata-rata (2024): US$0,08–0,09/kWh (~Rp1.200–1.400).
Struktur pembangkit: dominan batu bara domestik & hidro → biaya bahan bakar lebih murah.
IPP ada, tapi tarif dikendalikan ketat oleh EVN (Electricity of Vietnam).
Subsidi: selektif, fokus pada kelompok miskin.
➡️ Ciri utama: biaya produksi rendah karena bahan bakar lokal dan kontrak IPP tidak semahal Indonesia.
Perbandingan Singkat (tarif listrik rata-rata rumah tangga, 2024)
Negara | Tarif rata-rata (US$/kWh) | Mekanisme Subsidi | Catatan Utama |
---|---|---|---|
Indonesia | 0.11 (BPP), tarif subsidi 0.086 | Subsidi Rp70–100T/tahun, kontrak IPP take-or-pay | Utang PLN menumpuk |
Malaysia | 0.058 | ICPT, renegosiasi IPP | Tarif lebih murah, kontrak lebih adil |
Singapura | 0.20–0.22 | Hampir tanpa subsidi | Transparan, tapi mahal |
Thailand | 0.10–0.11 | Subsidi kecil | Tender IPP terbuka, beban ringan |
Vietnam | 0.08–0.09 | Subsidi selektif | Batu bara & hidro domestik murah |
Analisis Kritis
Indonesia paling mahal secara BPP dibanding Malaysia, Vietnam, dan Thailand, meski masih lebih murah dari Singapura.
Perbedaan utama bukan sekadar harga bahan bakar, tapi model kontrak IPP yang jangka panjang, berat sebelah, dan sulit dinegosiasi ulang.
Negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand lebih agresif melakukan renegosiasi dan tender transparan, sehingga tidak menimbulkan beban keuangan sebesar Indonesia.
Singapura memang mahal, tapi tidak membebani APBN; tarif tinggi ditanggung langsung konsumen dengan mekanisme pasar.
adi, kalau publik bertanya “kenapa listrik di Indonesia mahal biaya produksinya padahal rakyat bayar cash?”, jawabannya adalah: selain faktor geografis dan infrastruktur, kontrak IPP dengan skema take-or-pay membuat biaya listrik lebih tinggi daripada yang seharusnya, dan sebagian besar subsidi justru lari ke pembayaran kontrak ini.
Tokoh & LSM yang Menyoroti Kontrak IPP
🔸 IEEFA (Institute for Energy Economics and Financial Analysis)
Dalam laporan berjudul “PLN in Crisis — Time for IPPs to Share the Pain?” (April 2020), IEEFA menyerukan perlunya IPP membagi risiko lebih adil, khususnya lewat renegosiasi klausul take-or-pay. Mereka menyoroti bagaimana kontrak saat ini membebani keuangan PLN pasca-COVID. IEEFA
Analis IEEFA mencatat: PLN terkunci dalam besarnya capacity payments tanpa fleksibilitas, padahal surplus pasokan dan penurunan konsumsi terjadi. IEEFA
🔸 IESR (Institute for Essential Services Reform)
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyarankan PLN untuk renegosiasi kontrak IPP berbasis fosil, sementara memastikan kontrak IPP energi terbarukan tetap terjaga agar tidak mengganggu target bauran energi bersih. ThinkGeoEnergy
🔸 Coalitions of Civil Society (Civil Society Coalition for Clean Energy)
Koalisi ini mengkritik revisi target energi terbarukan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), menilai pemerintah kurang serius mengembangkan energi bersih dan tetap memprioritaskan IPP fosil. Mereka menyerukan reformasi kontrak IPP sebagai bagian dari transisi energi yang adil. https://indonesiabusinesspost.com/
Sorotan Aktivis dan LSM terhadap Kontrak IPP
1. Model Bisnis Oligarkis dan Risiko Publik
Laporan dari TRT World yang didukung PSI menyebut: model IPP sering mencakup klausul rahasia yang menjamin keuntungan IPP secara dollar-denominated, bahkan saat listrik tidak dipakai—dan tanpa pengawasan publik. Realitas global serupa terjadi di Indonesia. publicservices.international
2. Tidak Adanya Reformasi Struktural
IEEFA menekankan bahwa penurunan konsumsi pasca-pandemi tidak diimbangi dengan renegosiasi kontrak, sehingga PLN tetap dituntut membayar kewajiban penuh tanpa diskon atau substitusi. IEEFA+1
3. Tekanan Akan Transparansi dan Partisipasi Publik
LSM advokasi seperti WWF-Indonesia dan Koaksi Indonesia menuntut keterlibatan masyarakat sipil dalam perumusan kebijakan energi baru, termasuk pengawasan kontrak IPP sebagai bagian dari agenda energi bersih dan keadilan sosial. Mongabay+1
Subsidi: Untuk Rakyat atau untuk Korporasi?
Setiap tahun, pemerintah mengumumkan subsidi listrik sebagai upaya meringankan beban masyarakat. Namun kenyataannya, subsidi itu lebih banyak digunakan untuk menutup kewajiban PLN terhadap IPP.
Rakyat memang membayar listrik dengan harga relatif terjangkau, tapi sebagian besar subsidi justru “dialihkan” untuk menjamin keuntungan perusahaan swasta pemilik pembangkit.
Seorang aktivis energi menegaskan:
“Subsidi listrik di Indonesia sebenarnya adalah subsidi terselubung untuk IPP. Rakyat hanya dijadikan alasan politis agar subsidi tetap masuk APBN.”
Perbandingan dengan Negara Tetangga
Malaysia: juga menggunakan IPP, tapi pemerintah berkali-kali melakukan renegosiasi agar tarif tidak memberatkan Tenaga Nasional Berhad (TNB). Mekanisme ICPT (Imbalance Cost Pass-Through) memastikan biaya bahan bakar dapat dialihkan langsung ke tarif tanpa menumpuk subsidi.
Singapura: tarif listrik US$0,20–0,22 per kWh (setara Rp3.200–3.500), tanpa subsidi besar-besaran. Semua kontrak IPP diawasi regulator dengan transparansi tinggi.
Vietnam & Thailand: tender IPP lebih terbuka, risiko bisnis lebih adil dibagi.
Indonesia berbeda: kontrak jangka panjang, minim transparansi, dan PLN dipaksa menanggung risiko bisnis swasta.
“Sarang Permainan” di Balik Kontrak
Banyak analis menilai kontrak IPP sebagai ladang rente. Beberapa pola yang sering disorot:
Tender tidak transparan, sebagian proyek diberikan melalui penunjukan langsung.
Mark-up biaya proyek, membuat ongkos listrik lebih mahal dari seharusnya.
Risiko dialihkan ke PLN, sementara swasta menikmati keuntungan pasti.
Kontrak panjang 20–30 tahun, sehingga PLN dan negara sulit keluar dari beban.
Tidak heran bila aktivis menyebut IPP sebagai “sarang permainan” yang merugikan publik, namun menguntungkan segelintir pengusaha dan kroni politik.
Dampak Nyata: Utang Menumpuk
Kombinasi kontrak IPP, subsidi, dan tekanan politik tarif membuat PLN terus menanggung kerugian struktural. Utang membengkak, subsidi APBN tersedot, sementara rakyat tetap membayar listrik setiap bulan tanpa tahu aliran uangnya.
Paradoks muncul: subsidi listrik disebut untuk rakyat, tetapi dalam praktik, sebagian besar justru menjadi jaminan keuntungan IPP.
Solusi: Meninjau Ulang Kontrak
Sejumlah ekonom, analis, hingga aktivis energi menyarankan langkah berani:
Renegosiasi kontrak IPP lama, terutama yang merugikan PLN.
Transparansi penuh PPA (Power Purchase Agreement) agar publik tahu ke mana uang rakyat mengalir.
Percepatan energi terbarukan, dengan skema yang adil dan tidak membebani PLN.
Reformasi subsidi, agar benar-benar berpihak pada masyarakat kecil, bukan sekadar alasan politik.
Pernyataan Kunci
IEEFA: “PLN in Crisis — Time for IPPs to Share the Pain?” mengingatkan bahwa IPP harus ikut menanggung beban ekonomi akibat kontrak yang tak lagi relevan di era pasca-pandemi. IEEFA
Fabby Tumiwa (IESR): “PLN harus menegosiasi ulang kontrak dengan IPP berbasis fosil, sementara kontrak EBT tetap aman agar tidak memengaruhi target energi bersih.” ThinkGeoEnergy
Penutup
Utang PLN bukan sekadar persoalan manajemen keuangan. Ia adalah cermin dari kebijakan energi yang berat sebelah, di mana rakyat dan negara menanggung risiko, sementara korporasi swasta menikmati keuntungan.
Selama kontrak IPP tidak ditinjau ulang, subsidi listrik akan tetap menjadi ironi: rakyat bayar tunai, negara beri subsidi, tapi keuntungan terbesar justru mengalir ke segelintir perusahaan.