Jakarta – Istilah Deep State kembali mencuat setelah Donald Trump berulang kali menyatakan niatnya untuk “menghancurkan” kekuatan tersembunyi tersebut. Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan Deep State, dan apakah konsep serupa juga berlaku di negara-negara lain, termasuk Indonesia?
1. Akar Istilah dan Konteks Global
Deep State pertama kali populer di Turki pada era 1990-an, merujuk pada jaringan militer, intelijen, birokrasi, dan kelompok bisnis yang disebut-sebut mengendalikan politik dari balik layar. Di Amerika Serikat, istilah ini kemudian diadopsi untuk menggambarkan “birokrasi permanen” — pegawai negeri sipil, lembaga intelijen (CIA, NSA, FBI), dan aparat yang dianggap sulit dikendalikan oleh presiden terpilih.
Donald Trump, sejak kampanye 2016 hingga masa kepresidenannya, menuding bahwa Deep State menghalangi kebijakan imigrasi, reformasi birokrasi, hingga penyelidikan hukum terhadap dirinya.
2. Bagaimana Ia Bekerja
Secara sederhana, Deep State disebut bekerja lewat:
Birokrasi permanen yang tak bisa mudah diganti.
Lembaga intelijen & militer dengan akses informasi dan anggaran rahasia.
Aliansi dengan konglomerat & lobi bisnis besar.
Koneksi politik lintas partai yang menjaga kepentingan status quo.
Di AS, dokumen bocoran Snowden dan WikiLeaks memperlihatkan betapa luasnya operasi CIA dan NSA, mulai dari pengawasan massal hingga intervensi luar negeri. Inilah yang membuat sebagian masyarakat percaya bahwa Deep State nyata adanya.
3. Kritik dan Kontroversi
Sebagian akademisi menilai Deep State lebih sebagai mitos politik ketimbang entitas konkret. Namun mitos ini kuat karena masyarakat memang merasakan jarak antara kebijakan formal dengan kekuatan riil yang memengaruhi arah negara.
Di sisi lain, investigasi jurnalistik di Meksiko, Eropa Timur, hingga Asia menunjukkan pola yang mirip: jaringan intelijen, oligarki bisnis, dan aparat hukum sering bekerja secara tersembunyi, melampaui kontrol publik.
4. Relevansi di Indonesia
Jika di-Indonesia-kan, istilah ini sering disebut “negara bayangan”. Publik kerap mengaitkan istilah ini dengan:
Jaringan oligarki bisnis yang mengendalikan kebijakan.
Hubungan erat antara aparat keamanan dengan kelompok usaha besar.
Keputusan politik yang lebih ditentukan lobi elite daripada suara rakyat.
Polemik terkait aturan KPU 731/2025 yang sempat merahasiakan dokumen capres-cawapres, misalnya, dipandang sebagian pihak sebagai cerminan praktik “negara bayangan” — ketika keputusan strategis dibuat bukan demi keterbukaan, melainkan demi melindungi kepentingan elite tertentu.
5. Mengapa Penting Dibongkar
Menelisik Deep State bukan sekadar teori konspirasi. Ia menjadi cara untuk memahami mengapa banyak kebijakan publik gagal berpihak pada rakyat. Transparansi, akuntabilitas, dan peran masyarakat sipil adalah kunci untuk membatasi ruang gerak “negara bayangan” agar demokrasi tetap berada di jalur yang sehat.
Jaringan dan Pola Kerja: Bagaimana “Negara Bayangan” Bekerja
Ketika wacana deep state (negara bayangan) kembali mengemuka, terutama setelah klaim-klaim politik yang kuat di panggung internasional, pertanyaan kunci adalah: apakah yang dibicarakan itu sekadar retorika politik, atau memang ada jaringan riil yang bekerja di balik layar? Untuk menjawabnya, kita perlu membedakan antara dua hal: (1) unsur nyata yang bisa diobservasi — lembaga intelijen, birokrasi permanen, aliansi bisnis — dan (2) klaim konspiratif yang sering mengaburkan analisis rasional.
1) Komponen yang Sering Dipanggil “Negara Bayangan”
Dari kajian peristiwa internasional dan literatur akademik, pola yang konsisten muncul: negara bayangan bukan organisasi tunggal, melainkan jaringan tumpang-tindih yang melibatkan:
Birokrasi karier (civil service) — pegawai negeri profesional yang menduduki posisi teknis dan administrasi yang tidak mudah diganti karena aturan kepegawaian. Mereka menjaga kontinuitas pemerintahan tetapi juga dapat menahan perubahan cepat yang diinginkan pemerintahan baru.
Intelijen & aparat keamanan — badan seperti CIA, NSA, atau institusi intelijen negara lain, yang memiliki akses informasi rahasia, anggaran tersendiri, dan kemampuan operasi di luar pengawasan publik penuh. Bocoran-bocoran besar (mis. Snowden, WikiLeaks) memperlihatkan keluasan operasi ini. Wikipedia+1
Jaringan bisnis & oligarki — perusahaan besar dan pengepul modal yang memiliki kepentingan ekonomi luas; mereka dapat menjalin hubungan tukar-untung dengan pejabat demi stabilitas kebijakan yang menguntungkan.
Aktor non-negara — kontraktor keamanan swasta, konsultan, dan think-tank yang menyalurkan ide kebijakan dan personel antara pemerintahan dan bisnis.
Gabungan unsur-unsur ini menciptakan struktur yang sering tampak tahan banting terhadap perubahan politik singkat — inilah yang oleh sebagian disebut “negara bayangan”.
2) Cara Kerja: Mekanisme Praktis yang Terlihat
Berdasarkan dokumentasi kasus dan penyelidikan jurnalis, ada beberapa mekanisme operasional yang dapat diidentifikasi:
a. Kontinuitas birokrasi sebagai penghalang atau alat
Birokrat karier menjaga program-program yang sudah berjalan dan sering menuntut bukti teknis sebelum mengubahnya. Dalam situasi tertentu, sikap “slow-walking” (mengulur proses administrasi) bisa mematikan inisiatif politik baru tanpa perlu konflik terbuka. Hal ini wajar di banyak demokrasi; masalah muncul ketika perilaku itu dipakai untuk melindungi kepentingan tertentu. (lihat ringkasan konsep “birokrasi permanen”). Wikipedia
b. Penggunaan instrumen intelijen & operasi rahasia
Badan intelijen memiliki alat yang tidak tersedia bagi publik: penyadapan, operasi rahasia, jaringan sumber. Bocoran besar seperti dokumen-dokumen yang diungkap Edward Snowden dan Vault 7 (WikiLeaks) memperlihatkan kapasitas teknis lembaga-lembaga ini untuk operasi pengawasan dan intervensi. Itu menciptakan ketidakseimbangan informasi antara aktor negara dengan publik. Wikipedia+1
c. Penempatan personel & “revolving door”
Aktivitas perpindahan orang antara pemerintahan, kontraktor, dan perusahaan swasta (revolving door) membantu menyebarkan pengaruh tanpa struktur formal. Personel yang pindah membawa jaringan dan pengetahuan, sehingga kepentingan tertentu tetap terjaga.
d. Legislasi & aturan administratif yang membentuk kekuasaan tersembunyi
Aturan internal birokrasi, klasifikasi dokumen, mekanisme pengadaan, atau kebijakan darurat bisa digunakan untuk menjalankan tindakan yang minim transparansi. Begitu sebuah kebijakan formal (mis. pengaturan kerahasiaan dokumen) diadopsi, ia bisa menutup ruang pengawasan publik.
3) Contoh-Contoh Nyata yang Mengilustrasikan Pola Ini
Iran-Contra & operasi rahasia era Reagan — operasi yang melibatkan penjualan senjata rahasia dan aliran dana ke kelompok paramiliter memperlihatkan bagaimana cabang-cabang pemerintahan dapat melakukan operasi paralel di luar kontrol Kongres. Wikipedia
Bocoran Snowden & Vault 7 — menunjukkan kapasitas intelijen modern (NSA/CIA) mengumpulkan data massal dan melakukan kegiatan siber yang sangat luas, yang kemudian memicu perdebatan soal pengawasan dan akuntabilitas. Wikipedia+1
Upaya melemahkan proteksi pegawai karier (AS: Schedule F / Project 2025) — rencana kebijakan yang bertujuan mereklasifikasi posisi sipil sehingga lebih mudah dipecat atau diganti politikus, merupakan contoh bagaimana pemerintahan dapat merekayasa peraturan untuk “membersihkan” birokrasi yang dianggap menghalangi agenda eksekutif. Laporan dan analisis melihat ini sebagai cara langsung untuk meruntuhkan mekanisme pemerintahan permanen. Brookings+1
4) Antara Mitologi dan Realitas: Di Mana Batasnya?
Penting dicatat: ada garis tipis antara kritik yang berdasar (pola-pola yang dapat dibuktikan) dan narasi konspirasi (klaim adanya entitas tunggal, monolitik, yang mengendalikan segalanya). Studi akademik dan pakar menyarankan agar kita memisahkan:
Pengamatan empiris: bukti operasi rahasia, kelakuan birokrasi, aliran dana — semua dapat didokumentasikan dan dianalisis.
Klaim monolitik tanpa bukti: “ada organisasi X yang mengendalikan segalanya” — klaim ini jarang terverifikasi dan lebih banyak berfungsi sebagai narasi politik.
Wikipedia dan kajian akademik memetakan fenomena ini: sementara beberapa negara memang memiliki jaringan kekuasaan yang sangat tertutup (Turki, Mesir), di negara dengan lembaga yang relatif kuat (AS, Eropa), apa yang sering terlihat adalah fragmentasi kepentingan—banyak aktor saling bersaing, bukan satu “negara bayangan” tunggal. Wikipedia+1
5) Implikasi bagi Publik & Demokrasi
Jika pola-pola di atas dibiarkan tanpa kontrol, ada beberapa konsekuensi potensial:
Erosi akuntabilitas: kebijakan penting dapat dibuat tanpa pengawasan publik.
Politik patronase: pergantian pegawai karier dengan loyalis melemahkan kapasitas institusi publik. Lihat perdebatan tentang upaya seperti Schedule F yang berpotensi menggusur proteksi karier publik. Brookings+1
Ketidakpercayaan publik: kecurigaan terhadap “negara bayangan” memperburuk hubungan warga dengan negara, memberi lahan bagi teori konspirasi dan polarisasi politik.
6) Jalan Keluar: Transparansi dan Mekanisme Pengawasan
Dari segi kebijakan, pembatasan ruang negara bayangan menuntut langkah-langkah praktis:
Penguatan hukum keterbukaan & whistleblower protection;
Audit legislatif dan pengawasan independen atas lembaga intelijen & pengadaan;
Penguatan meritokrasi kepegawaian agar pergantian personel tidak menjadi alat politik;
Media investigatif & masyarakat sipil sebagai pilar pengungkap praktik tersembunyi.
Negara Bayangan di Indonesia: Jejak Kebijakan, Konglomerat, dan Aparat
Perdebatan soal deep state (negara bayangan) di Indonesia sering kali disangka sebagai retorika politik. Namun bukti-bukti empiris dari sejumlah kasus lokal memperlihatkan pola yang konsisten: keputusan kebijakan yang tampak melindungi kepentingan elite, kriminalisasi warga yang menentang proyek korporasi, serta regulasi yang mengurangi ruang keterbukaan publik. Pola-pola inilah yang memberi benang merah bagi wacana negara bayangan—bukan sebagai teori konspirasi tunggal, melainkan sebagai jaringan kepentingan yang berinteraksi: korporasi, aparat, birokrasi, dan pengambil kebijakan.
Apa yang terjadi? (What)
Beberapa peristiwa akhir-akhir ini memperkuat kecurigaan bahwa kepentingan yang lebih besar kadang bekerja di luar pengawasan publik:
Keputusan KPU Nomor 731/2025 yang mengategorikan ijazah dan dokumen persyaratan capres-cawapres sebagai “informasi yang dikecualikan” memicu protes luas — dan akhirnya dibatalkan menyusul desakan publik dan DPR. Keputusan itu sempat menutup akses verifikasi dokumen penting yang biasa menjadi bahan uji publik. JDIH KPU+1
Serangkaian konflik tambang di berbagai wilayah (Palu/Poboya, Kabaena, Maba Sangaji) menunjukkan pola berulang: masyarakat adat atau warga lokal menolak penambangan yang diduga merusak lingkungan — lalu berhadapan dengan tindakan polisi atau proses hukum yang menjerat warga, sementara praktik tambang tetap berjalan. Referensia.id+2Mongabay.co.id+2
Kasus perkebunan sawit dan kriminalisasi petani — laporan investigatif dan pengaduan ke Bareskrim menunjukkan dugaan pemaksaan lahan, pemberian izin bermasalah, dan penggunaan aparat untuk meredam protes petani. InfoSAWIT Sumatera+1
Siapa pelakunya / diuntungkan? (Who)
Pola-pola yang muncul melibatkan aktor berulang:
Korporasi besar di sektor SDA (tambang & sawit) yang mendapat akses konsesi dan sering bersinggungan dengan warga adat atau petani; beberapa perusahaan disebut dalam liputan investigatif dan laporan LSM. Referensia.id+2Mongabay.co.id+2
Oknum aparat / penegak hukum yang dalam beberapa kasus dipandang bertindak pro-korporasi (mis. pembubaran protes, kriminalisasi peserta). Laporan di lapangan dan sidang kasus warga Maba Sangaji menunjukkan tuduhan kriminalisasi terhadap warga yang membela hutan adat. Mongabay.co.id+1
Birokrasi & pembuat kebijakan yang mengeluarkan peraturan seperti KPU 731 — keputusan yang berpotensi memangkas ruang verifikasi publik dan memicu tuduhan “melindungi” figur tertentu. tirto.id+1
Secara ringkas: mereka yang paling diuntungkan adalah pihak yang memperoleh akses ekonomi dan politik dari status quo — baik perusahaan pemegang konsesi, maupun jaringan pendukungnya yang membutuhkan stabilitas dan perlindungan administratif.
Kapan & di mana? (When & Where)
Peristiwa-peristiwa penting yang menjadi rujukan:
2019–2025: kasus ijazah dan perdebatan akses dokumen publik menjadi tema berulang; puncaknya aturan KPU 731 terbit dan kemudian dibatalkan pada September 2025. JDIH KPU+1
2022–2025: bentrokan dan protes di situs-situs tambang (Palu/Poboya, Kabaena, Maba Sangaji) dan aksi warga menuntut hak lingkungan/ruang hidup yang aman. Referensia.id+2Mongabay.co.id+2
2023: pengaduan terhadap perusahaan sawit (PT EWF dan sejenisnya) diajukan ke Bareskrim, menunjukkan pola sengketa agraria dengan penegakan hukum yang kontroversial. InfoSAWIT Sumatera+1
Mengapa ini penting? (Why)
Fenomena ini penting karena menyentuh inti demokrasi: keterbukaan informasi, akuntabilitas penyelenggara negara, dan perlindungan hak warga. Ketika dokumen-dokumen kunci (ijazah, rekam jejak) bisa ditutup, publik kehilangan alat verifikasi yang sah. Ketika warga yang menolak proyek besar malah diproses hukum, sementara perusahaan terus beroperasi, muncul kesan bahwa aturan dan aparat bekerja untuk melindungi kepentingan kuat — bukan publik.
Kasus KPU 731 adalah ilustrasi paling gamblang: sebuah keputusan administratif dapat langsung berdampak pada hak publik untuk menguji syarat calon pemimpin. Desakan publik yang berhasil membuat KPU membatalkan keputusan itu memperlihatkan kekuatan kontrol sosial — namun juga menunjukkan betapa rapuhnya praktik keterbukaan bila tidak diawasi secara konstan. Liputan6+1
Bagaimana modusnya bekerja? (How)
Berdasarkan pola observasi:
Pengaturan administratif: aturan seperti mekanisme kerahasiaan dokumen, klasifikasi informasi, atau prosedur perizinan bisa dipakai untuk menutup akses publik atau memperlambat penindakan. Contoh: KPU 731 sempat menetapkan 16 dokumen sebagai “dikecualikan”. JDIH KPU
Penempatan aparat & proteksi lapangan: penggunaan aparat untuk mengamankan proyek atau membubarkan protes—sering kali berujung pada tuduhan kriminalisasi warga, sebagaimana di Maba Sangaji dan lokasi tambang lain. Mongabay.co.id+1
Jejak hukum yang panjang: ketika penyelesaian hukum berlangsung lambat atau berpihak, pelaku korporasi mempertahankan operasionalnya sementara warga kehilangan ruang perlawanan efektif. Laporan investigatif di Kabaena & pulau-pulau kecil memperlihatkan kerusakan lingkungan yang berlangsung puluhan dekade. Mongabay.co.id+1
Bukti publik & rujukan utama (select bibliography)
Salinan dan isi Keputusan KPU Nomor 731/2025 (JDIH KPU). JDIH KPU
Liputan pembatalan Keputusan 731/2025 (Liputan6, Media Indonesia, Merdeka). Liputan6+1
Laporan dan liputan konflik tambang: BRM/Palu, Kabaena, Poboya, Maba Sangaji (Referensia, Mongabay, Tempo). Referensia.id+2Mongabay.co.id+2
Pengaduan terhadap perusahaan sawit (PT EWF) & investigasi implementasi plasma sawit (Mongabay, The Gecko Project). InfoSAWIT Sumatera+1
(Daftar rujukan lengkap bisa disertakan pada naskah final untuk publikasi cetak/web; saya siap susun bibliografi terperinci dengan tautan PDF dan kutipan langsung.)
Implikasi & rekomendasi singkat
Untuk media & masyarakat sipil: terus kawal akses dokumen publik; dorong litigasi strategis bila ada pembatasan yang merusak prinsip keterbukaan. tirto.id
Untuk DPR & pengawas publik: perkuat mekanisme audit atas kebijakan administratif yang menyangkut akses publik (contoh: telaah terhadap proses lahirnya KPU 731). Liputan6
Untuk penegak hukum: pastikan penanganan konflik lahan dan lingkungan dilakukan dengan perspektif HAM dan perlindungan warga, bukan sekadar pengamanan proyek. Mongabay.co.id+1
“Negara bayangan” di Indonesia tidak selalu hadir sebagai organisasi tunggal yang misterius — melainkan sebagai hasil interaksi kebijakan, jaringan kepentingan ekonomi, dan praktik penegakan yang lemah transparansi. Membongkar pola-pola itu membutuhkan kerja kombinasi: investigasi jurnalistik, litigasi publik, penguatan aturan keterbukaan, dan pengawasan konstan oleh masyarakat.