Jakarta — Kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang menempatkan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun ke lima bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) memicu polemik besar. Meski diklaim untuk mendukung likuiditas sistem keuangan, mendorong penyaluran kredit, dan menggenjot pertumbuhan ekonomi, kebijakan ini justru dinilai melanggar aturan hukum.
Apa yang terjadi?
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengucurkan dana Rp200 triliun dalam bentuk simpanan di Bank Indonesia untuk kemudian ditempatkan di bank-bank Himbara. Menkeu Purbaya menyebut langkah ini merupakan instrumen untuk menjaga stabilitas ekonomi sekaligus menopang kredit produktif.
Mengapa diperdebatkan?
Ekonom sekaligus Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, menegaskan kebijakan tersebut bertentangan dengan konstitusi dan tiga Undang-Undang sekaligus.
Menurut Didik, penggunaan dana publik dalam jumlah besar tanpa persetujuan penuh parlemen serta transparansi yang minim berpotensi menyalahi prinsip akuntabilitas keuangan negara.
“Ini bukan hanya soal teknis fiskal. Ada masalah konstitusional di sini. Uang rakyat sebesar Rp200 triliun tidak bisa begitu saja ditempatkan di bank tanpa dasar hukum yang jelas,” ujarnya.
Siapa yang diuntungkan?
Penempatan dana jumbo ini praktis menguntungkan bank-bank BUMN anggota Himbara, yang mendapatkan tambahan likuiditas murah. Namun, belum jelas apakah dana tersebut benar-benar akan mengalir ke sektor usaha kecil dan menengah (UMKM), atau justru tersedot ke pembelian surat utang negara (SUN) dan pembiayaan perusahaan besar.
Dampaknya bagi masyarakat
Jika tersalurkan ke UMKM → berpotensi mempercepat pemulihan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat basis ekonomi rakyat.
Jika lari ke SUN atau korporasi besar → manfaatnya minim bagi masyarakat kecil, malah berisiko menambah ketimpangan ekonomi dan memperbesar dominasi konglomerat.
Apa kata hukum?
Didik J. Rachbini menilai kebijakan ini melanggar sedikitnya tiga aturan:
UUD 1945 → keuangan negara harus dikelola secara transparan dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
UU Keuangan Negara → setiap penggunaan dana publik harus memiliki dasar hukum dan persetujuan legislatif.
UU Perbendaharaan Negara dan UU Perbankan → penempatan dana dalam jumlah besar di bank umum tidak boleh dilakukan tanpa mekanisme pengawasan ketat.
Kebijakan Rp200 triliun ini memperlihatkan dilema klasik. Dilema antara kebutuhan menjaga stabilitas ekonomi jangka pendek dengan prinsip tata kelola keuangan negara yang transparan. Kritik tajam dari ekonom menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan instrumen fiskal demi kepentingan segelintir pihak.