Jakarta – Rencana reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menjadi isu panas. Bagi masyarakat sipil, reformasi di tubuh Polri adalah harapan besar: penegakan hukum yang adil, transparan, dan bebas dari intervensi politik maupun kepentingan bisnis. Namun di sisi lain, ada gelombang penolakan. Demonstrasi, opini publik yang diarahkan, hingga upaya pelemahan gagasan reformasi muncul ke permukaan.
Siapa yang sebenarnya takut pada agenda reformasi ini? Investigasi kami menemukan bahwa mereka bukan rakyat biasa, melainkan jaringan kuat yang terdiri dari konglomerat tambang, mafia sawit, sindikat gelap, hingga oligarki politik.
Konglomerat Tambang – Kaya Raya di Atas Derita Rakyat
Konflik tambang menjadi gambaran paling gamblang bagaimana rakyat kerap berhadapan dengan aparat yang lebih berpihak kepada korporasi.
PT Bumi Resources Minerals (BRM) – Palu: Aktivitas tambang menimbulkan bentrokan dengan warga. Aparat dituding lebih mengamankan perusahaan.
🔗 Referensia.idPT Tambang Bumi Sulawesi (TBS) – Kabaena: Warga menuduh perusahaan menyerobot lahan adat. Konflik nyaris pecah.
🔗 LenterasultraPT Tanito Harum Nickel (THN) – Maluku Utara: Warga adat Maba Sangaji melawan ekspansi tambang, aparat menyebut aksi mereka sebagai “premanisme”.
🔗 Titastory
📊 Analisis: Reformasi Polri berpotensi mengungkap praktik persekutuan tambang–aparat, yang menjadi alasan konglomerat tambang resah.
Mafia Sawit – Janji Plasma yang Tak Pernah Terealisasi
Sawit adalah penyumbang devisa, tetapi juga penyumbang konflik agraria terbesar.
Wilmar Group: Berulang kali dikaitkan dengan sengketa tanah di Sumatera dan Kalimantan.
🔗 MongabayAstra Agro Lestari (AAL): Di Morowali Utara, petani sawit dilaporkan ke polisi saat menolak lahan mereka diambil perusahaan.
🔗 TempoDuta Palma Group: Disorot KPK dan KLHK karena dugaan pelanggaran izin dan deforestasi, namun tetap beroperasi.
🔗 Kompas
📊 Analisis: Konglomerat sawit terbiasa memanfaatkan aparat untuk meredam protes. Reformasi Polri akan mengancam “kenyamanan” ini.
Tambang Raksasa & Oligarki – Ekonomi dan Politik yang Menyatu
Batubara di Kalimantan: Aktivis lingkungan menghadapi intimidasi, sementara laporan hukum kerap mandek.
Nikel di Sulawesi Tenggara: Dugaan penyalahgunaan izin melibatkan pejabat daerah hingga perusahaan besar.
Emas ilegal di Kalimantan Barat: Beberapa laporan media menyebut keterlibatan oknum aparat dalam membekingi tambang ilegal.
📊 Analisis: Reformasi Polri berarti menghapus pola proteksi bisnis tambang besar. Oligarki yang hidup dari rente tambang tentu merasa terancam.
Sindikat Gelap – Narkotika, Judi Online, dan Ekonomi Bayangan
Kartel Narkotika: Kasus Freddy Budiman membuka wacana soal aliran dana ke oknum aparat.
Judi Online: Nilainya triliunan rupiah, beroperasi dengan “proteksi”. Situs sering naik-turun tergantung situasi.
Kasus 1,2 ton sabu di Ancol (2020): Publik mempertanyakan bagaimana penyelundupan sebesar itu bisa lolos.
Analisis: Reformasi Polri berarti menutup celah setoran keamanan dari mafia. Sindikat gelap kehilangan darah hidupnya.
Koneksi Politik – Polri sebagai Alat Kekuasaan
Pengamanan Proyek Strategis: Aparat lebih sering diturunkan untuk melindungi proyek ketimbang rakyat.
Kriminalisasi Aktivis & Oposisi: Kasus hukum bisa diproses cepat jika mengganggu kepentingan politik–ekonomi tertentu.
Pemilu & Kekuasaan: Polri kerap dituding tidak netral dalam Pemilu, meski secara hukum diwajibkan netral.
Analisis: Reformasi Polri akan membatasi ruang oligarki politik dalam mengendalikan aparat.
Dari konglomerat tambang, mafia sawit, sindikat narkotika, judi online, hingga oligarki politik: semuanya punya kepentingan menjaga Polri tetap seperti sekarang. Penolakan terhadap reformasi bukanlah aspirasi murni rakyat, melainkan manuver kelompok kepentingan untuk mempertahankan status quo.
Reformasi Polri adalah ancaman bagi mereka, tetapi justru harapan bagi rakyat.