Jakarta – Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) sejak awal dibangun di atas janji manis: business to business, tanpa beban pada APBN. Namun realitas berkata lain—rakyat kini menanggung cicilan utang hingga Rp226,9 miliar per bulan. Fakta ini mencerminkan bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga cacat dalam perjanjian yang disusun secara tidak profesional dan merugikan kepentingan bangsa.
Perjanjian Sarat Kontradiksi
Awalnya, Jepang ditolak karena dianggap terlalu mahal dan mensyaratkan jaminan negara. Pilihan pun jatuh ke Tiongkok dengan klaim bunga lebih rendah dan tanpa syarat APBN. Namun kenyataannya: bunga pinjaman naik menjadi 3,6–3,7%, biaya proyek melonjak dari Rp86 triliun menjadi lebih dari Rp114 triliun, dan jaminan negara justru dipaksakan masuk.
Industri nasional pun nyaris tak mendapat manfaat, karena hampir semua komponen utama diimpor dari Tiongkok. Indonesia menanggung utang, sementara keuntungan ekonomi lebih banyak mengalir ke luar negeri.
Dasar Hukum: Hak Rakyat yang Konstitusional
Tuntutan rakyat agar Presiden membongkar perjanjian KCJB bukan sekadar aspirasi moral, melainkan memiliki dasar hukum yang jelas:
UUD 1945 Pasal 1 ayat (2): Kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, rakyat berhak menuntut koreksi atas perjanjian yang merugikan kedaulatan ekonomi.
UUD 1945 Pasal 28F: Setiap orang berhak memperoleh informasi. Isi perjanjian KCJB wajib dibuka kepada publik.
UUD 1945 Pasal 23 ayat (1)–(2): APBN harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk menutup beban utang proyek mercusuar.
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik: rakyat berhak mengakses dokumen perjanjian KCJB.
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: semua kewajiban akibat perjanjian internasional adalah bagian dari keuangan negara yang wajib dipertanggungjawabkan.
Prinsip hukum internasional Odious Debt: utang yang dibuat secara tidak transparan, hanya untuk kepentingan elite, dan merugikan rakyat dapat dipertanyakan legalitas serta kewajibannya.
Dengan dasar hukum ini, rakyat tidak hanya berhak, tetapi juga berkewajiban moral menuntut agar Presiden Prabowo membuka isi perjanjian KCJB dan menegosiasinya ulang.
Tuntutan Konkret
Ada tiga langkah mendesak yang perlu segera diambil Presiden:
Audit menyeluruh terhadap seluruh isi perjanjian KCJB, dilakukan oleh tim independen dan diumumkan ke publik.
Negosiasi ulang dengan Tiongkok, untuk menurunkan bunga, memperpanjang tenor, dan melindungi aset strategis bangsa.
Prioritaskan kebutuhan rakyat di atas proyek mercusuar. Pangan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan harus didahulukan daripada transportasi mewah yang hanya dinikmati segelintir kalangan.
Penutup
Kereta cepat boleh melaju 350 km/jam, tetapi bangsa ini tidak boleh dipaksa meluncur ke jurang utang. Ketidakprofesionalan dalam menyusun perjanjian KCJB telah menjerat Indonesia dalam beban yang tidak adil.
Oleh karenanya rakyat berhak menuntut Presiden Prabowo membongkar perjanjian KCJB, melakukan audit menyeluruh, dan menegosiasinya ulang demi kedaulatan ekonomi negara.
Penulis : M.A. Rahman