Jebakan Utang ala BRI China
“Ini contoh nyata debt trap. Kalau gagal bayar, aset strategis bisa jatuh ke tangan asing.” – peringatan seorang ekonom dari Celios.
Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) bukan sekadar soal rel dan stasiun. Ia bagian dari strategi global Tiongkok melalui Belt and Road Initiative (BRI).
Polanya mirip di banyak negara: pinjaman besar, bunga relatif tinggi, proyek infrastruktur mewah, lalu beban pembayaran menekan anggaran negara. Jika gagal bayar, aset bisa diambil alih.
Kasus Sri Lanka:
Pelabuhan Hambantota dibangun dengan utang dari China. Ketika gagal bayar, pelabuhan itu akhirnya disegarkan ke perusahaan China dengan skema sewa 99 tahun.
Kasus Malaysia:
PM Mahathir Mohamad pada 2018 membatalkan proyek East Coast Rail Link (ECRL) karena dianggap “membawa Malaysia ke arah kolonialisme baru”. Proyek itu kemudian dinegosiasi ulang dengan biaya dipangkas drastis.
Kasus Pakistan, Laos, Zambia:
Semua menghadapi masalah sama—utang besar akibat proyek BRI, sementara penerimaan negara tidak cukup untuk menutup cicilan.
Indonesia kini menghadapi risiko serupa. Dengan cicilan bunga KCJB mencapai Rp226,9 miliar per bulan, dan okupansi penumpang yang diragukan, kemungkinan gagal bayar bukan sekadar teori.
“Kalau BUMN gagal bayar, ujung-ujungnya APBN yang menanggung. Itu artinya rakyat yang menanggung beban, bukan pejabat yang membuat keputusan,” ujar seorang anggota DPR.
Dalam transkrip debat, muncul sindiran keras:
“Malaysia berani membatalkan. Singapura tidak mau ambil risiko. Tapi kita justru memaksakan proyek ini, padahal jelas-jelas tidak realistis.”
Dengan pola ini, KCJB dinilai bukan sekadar proyek transportasi, melainkan jalur cepat menuju jebakan utang.
Data Kunci :
Sri Lanka: Pelabuhan Hambantota diserahkan ke China (sewa 99 tahun).
Malaysia: ECRL dibatalkan lalu dinego ulang.
Cicilan KCJB: Rp226,9 miliar/bulan.
Risiko: BUMN gagal bayar → APBN menanggung.
Banyak negara BRI terjebak dalam pola debt trap.
Dari Gengsi ke Generasi
“Di era SBY, utang bertambah Rp900 triliun dalam 10 tahun. Di era Jokowi, utang bisa membengkak Rp7.500 triliun hanya dalam 10 tahun. Ini tiga kali lipat lebih besar.” – kritik seorang politisi oposisi.
Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) sejak awal dipromosikan sebagai simbol kemajuan, ikon modernisasi, dan bukti lompatan teknologi. Presiden Jokowi menyebutnya tonggak sejarah, dan pemerintah gencar menampilkan Whoosh sebagai kebanggaan nasional.
Namun di balik pencitraan itu, beban utang kian menumpuk. Proyek KCJB menambah daftar panjang utang luar negeri Indonesia yang kini menembus ribuan triliun rupiah.
Sementara rakyat menghadapi harga beras yang naik, biaya kesehatan yang mahal, pendidikan yang timpang, dan angka stunting yang membayangi, generasi mendatang harus menanggung cicilan raksasa proyek ini.
“Yang membayar bukan pejabat yang mengambil keputusan. Yang membayar adalah anak cucu kita, generasi mendatang. Mereka yang menanggung beban dari gengsi hari ini,” ujar seorang akademisi.
Bukan hanya cicilan, risiko lain adalah hilangnya kedaulatan ekonomi. Bila gagal bayar, aset strategis bisa jatuh ke tangan asing, seperti kasus Sri Lanka.
Di saat negara-negara lain seperti Malaysia dan Singapura berani menolak proyek serupa, Indonesia justru maju tanpa ragu. Kritik menyebut ini sebagai politik mercusuar: membangun simbol, tapi mengabaikan substansi.
Dan di atas semua itu, rakyat kecil hanya bisa bertanya: apa manfaat nyata kereta cepat bagi mereka?
Data Kunci :
Utang era SBY: +Rp900 triliun (10 tahun).
Utang era Jokowi: +Rp7.500 triliun (10 tahun, prediksi).
KCJB menambah beban cicilan besar & risiko debt trap.
Rakyat menghadapi inflasi, pangan mahal, stunting, kemiskinan.
Generasi mendatang jadi penanggung beban.
“Whoosh mungkin cepat di rel, tapi utang berjalan lebih cepat lagi. Dari gengsi hari ini, beban itu akan menyeberang ke generasi esok.”