Jejak Lobi dan Peran Luhut
“Kalau bicara siapa yang paling ngotot dengan proyek ini, kita tahu siapa orangnya: Luhut,” ujar seorang politisi oposisi dalam sebuah forum.
Nama Luhut Binsar Pandjaitan nyaris tak bisa dipisahkan dari proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB). Sebagai Menko Kemaritiman dan Investasi, ia sejak awal tampil sebagai ujung tombak negosiasi dengan Beijing.
Luhut berkali-kali menegaskan bahwa pilihan ke China adalah keputusan rasional: lebih murah, tanpa penjaminan APBN, dan cepat. Namun, fakta di lapangan berbalik. Biaya bengkak, bunga tinggi, dan APBN tetap ikut terseret.
“Saya mencium ada permainan jasa titip di sini. Ada yang ‘menitipkan angka’ di dalam proyek, lalu dipaketkan ke China,” ujar seorang akademisi dalam diskusi publik, menyiratkan dugaan adanya “markup” dalam kontrak.
Bagi banyak pengamat, peran Luhut lebih dari sekadar negosiator. Ia dianggap sebagai king maker proyek ini, orang yang membuka pintu lebar-lebar untuk China. Bukan sekali-dua kali ia disebut punya kedekatan bisnis dengan perusahaan Tiongkok, meskipun ia selalu membantah adanya konflik kepentingan.
Dalam transkrip debat, muncul pertanyaan keras:
“Kenapa dulu Monorel gagal karena Sri Mulyani menolak jaminan, tapi sekarang justru diberi untuk kereta cepat? Apakah karena ada tekanan politik dari lingkaran dekat presiden?”
Luhut juga dikenal sering memakai gaya komunikasi blak-blakan. Ia pernah menyatakan, “Kalau tidak mau kereta cepat, ya jangan dipakai. Tapi ini untuk masa depan bangsa.” Pernyataan itu justru dianggap banyak pihak sebagai bentuk arogansi politik proyek.
Tak sedikit yang menduga, proyek KCJB bukan hanya soal transportasi, melainkan juga soal relasi geopolitik—sebuah “persembahan” kepada China dalam kerangka Belt and Road Initiative.
Namun, di balik semua retorika, ada pertanyaan yang masih menggantung: benarkah proyek ini demi kepentingan rakyat, atau demi kepentingan segelintir elite?
Data Kunci :
Luhut: tokoh kunci negosiasi KCJB dengan China.
Klaim awal: murah, cepat, tanpa APBN → realita sebaliknya.
Dugaan “markup” & titipan proyek ke China.
Sri Mulyani pernah menolak jaminan untuk Monorel, kini memberi jaminan KCJB.
KCJB dikaitkan dengan geopolitik BRI China.
“Di setiap mega proyek selalu ada bayang-bayang elite. KCJB bisa jadi bukan sekadar kereta cepat, melainkan rel politik yang menghubungkan kepentingan bisnis dan kekuasaan.”
KCJB vs Kebutuhan Rakyat
“Ini bukan prioritas. Saat rakyat susah beli beras, pemerintah malah bangga dengan kereta cepat.” – kritik tajam seorang ekonom dari Celios dalam debat publik.
Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) kerap digadang-gadang sebagai simbol modernisasi transportasi Indonesia. Presiden Jokowi bahkan menyebutnya sebagai lompatan sejarah, ikon baru pembangunan.
Namun di saat yang sama, harga beras melonjak, inflasi tinggi, stunting masih menjadi masalah besar, dan angka kemiskinan belum teratasi.
Kontras ini membuat publik bertanya: apakah KCJB benar-benar prioritas bangsa, atau sekadar proyek gengsi?
“Pangan, kesehatan, dan pendidikan lebih mendesak. KCJB hanyalah proyek branding, proyek mercusuar,” ujar anggota DPR dari PKS.
Bahkan dalam diskusi akademik, muncul istilah odious debt — utang yang sejak awal tidak untuk kepentingan rakyat, dan legalitas moralnya bisa dipertanyakan. KCJB dianggap masuk kategori ini, karena manfaatnya minim, tapi bebannya ditanggung rakyat lewat APBN.
Target okupansi pun dipertanyakan. Pemerintah menargetkan 68 perjalanan per hari agar impas, padahal minat penumpang belum jelas. Investor properti di sekitar stasiun mengaku bingung, karena arus penumpang yang dijanjikan pemerintah tak kunjung terbukti.
Sementara itu, promosi proyek besar-besaran digencarkan. Influencer, artis, hingga selebriti diajak mencoba Whoosh, difoto, diviralkan. Tapi DPR, pakar transportasi, dan publik malah jarang dilibatkan dalam diskusi serius.
“Ini pencitraan. Rakyat dipaksa melihat kemewahan, tapi dibutakan dari beban utang yang harus mereka bayar,” kritik seorang akademisi.
Bagi banyak pihak, inilah titik rawan KCJB: ia lebih mirip etalase gengsi dibanding solusi transportasi.
Data Kunci :
Inflasi pangan tinggi, harga beras naik.
Stunting & kemiskinan masih jadi masalah besar.
Target okupansi KCJB: 68 perjalanan/hari (dinilai tidak realistis).
DPR & ekonom menyebut KCJB bukan kebutuhan dasar, hanya branding.
Pemerintah gencar promosi lewat influencer & selebriti.
“Rakyat butuh makan, bukan kereta cepat. KCJB mungkin berlari kencang di rel, tapi meninggalkan jutaan rakyat di belakang.”