Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Pati Memanas! Ribuan Warga Kepung Pendopo, Teriak “Sudewo Mundur!” Meski PBB Batal Naik

PATI – Ribuan warga Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran di Alun-Alun Pati, Rabu...
HomeNewsMembongkar Kembali Permainan Gelap Jalur Whoosh: Kereta Cepat yang Membebani Rakyat, Ulah...

Membongkar Kembali Permainan Gelap Jalur Whoosh: Kereta Cepat yang Membebani Rakyat, Ulah Siapa? (Episode 1)

Janji Manis B2B yang Palsu

Awalnya proyek ini dijanjikan murni business to business (B2B), tanpa jaminan APBN. Itu yang disampaikan pemerintah saat menandatangani kesepakatan dengan Tiongkok,” ujar salah satu panelis debat.

Tahun 2015, Presiden Jokowi memilih proposal China untuk proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB). Alasannya jelas: lebih murah dari Jepang, tanpa syarat penjaminan negara, dan bunga pinjaman hanya 2% dengan tenor 40 tahun.

Namun janji itu segera berubah menjadi fatamorgana. Biaya proyek yang semula USD 6 miliar membengkak menjadi lebih dari USD 8 miliar. Bunga pinjaman naik menjadi 3,6–3,7% dengan tenor lebih pendek, hanya 30 tahun.

Di sinilah kontradiksi muncul: Sri Mulyani yang pada tahun 2006 menolak memberi jaminan untuk Monorel Jakarta, kali ini justru memberikan jaminan untuk KCJB—lewat PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII). Padahal, dalam praktiknya, bila BUMN gagal bayar, ujungnya tetap APBN yang harus menanggung.

“Kenapa dulu Sri Mulyani menolak, tapi sekarang malah memberi penjaminan? Ada apa di balik keputusan ini?” — tanya seorang anggota DPR saat debat publik.

Pilihan pemerintah kepada China memang memotong Jepang, yang sejak awal mengajukan proposal. Jepang dianggap terlalu mahal, terlalu lama, dan menuntut penjaminan negara. Tapi fakta akhirnya ironis: China justru lebih mahal, lebih singkat, dan tetap menuntut jaminan negara.

Sementara itu, manfaat untuk industri lokal minim. Baja, teknologi, hingga tenaga kerja banyak diimpor dari China.

Data Kunci :

  • Awal: Janji B2B, tanpa APBN.

  • Realita: Jaminan APBN lewat PT PII.

  • Biaya: USD 6 miliar → USD 8 miliar (Rp70 triliun → Rp114,24 triliun).

  • Bunga: 2% fix 40 tahun → 3,6–3,7% 30 tahun.

  • Ironi: Jepang ditolak karena mahal, China akhirnya lebih mahal.

“Janji B2B hanya tinggal cerita. Yang tersisa hanyalah beban baru bagi rakyat.”

Dari Murah Jadi Mahal: Skandal Bunga & Cost Overrun

Cost overrun, membengkak dari USD 6 miliar menjadi lebih dari USD 8 miliar. Itu bukan salah rakyat, tapi salah pemerintah yang gegabah,” ujar seorang ekonom dalam debat panas.

Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) dimulai dengan janji manis: pinjaman lunak, bunga rendah, tenor panjang. Namun realitas di lapangan berbanding terbalik.

Awalnya, pemerintah mengumumkan pinjaman dari China berbunga 2% tetap dengan tenor 40 tahun. Syarat itu diklaim lebih baik dari Jepang, yang mengajukan bunga 0,1% tapi dengan syarat penjaminan negara.

Ironisnya, setelah kontrak diteken, bunga pinjaman melonjak menjadi 3,6–3,7% dengan tenor hanya 30 tahun.

“Bunga 3,6% itu jauh lebih tinggi daripada MRT Jakarta yang hanya 0,1%. Jadi siapa yang sebenarnya lebih murah? Jepang atau China?” — kritik seorang anggota DPR dari PKS.

Tak hanya itu, biaya proyek membengkak dari Rp70 triliun ke Rp114,24 triliun. Tambahan Rp17,89 triliun harus ditutup dengan kombinasi utang baru dan penyertaan modal negara. Akibatnya, rakyat kembali jadi penanggung terakhir.

Kalkulasi cicilan makin mencekik: Rp226,9 miliar per bulan untuk pokok dan bunga. Jika okupansi penumpang tak sesuai target, APBN yang harus menutupinya.

“Untuk impas, KCJB harus jalan 68 kali per hari dengan okupansi penuh. Itu tidak realistis,” papar seorang akademisi dalam diskusi publik.

Sementara impor bahan baku dari China tetap dominan. Baja, mesin, hingga tenaga kerja asing lebih banyak masuk ketimbang manfaat untuk industri lokal.

Data Kunci 2:

  • Bunga awal: 2% fix, tenor 40 tahun.

  • Bunga realita: 3,6–3,7%, tenor 30 tahun.

  • MRT Jakarta: bunga hanya 0,1%.

  • Biaya: Rp70 triliun → Rp114,24 triliun (cost overrun Rp17,89 triliun).

  • Cicilan: Rp226,9 miliar/bulan.

  • Target okupansi: 68 perjalanan/hari (diragukan).

“Dari janji bunga murah dan biaya efisien, kereta cepat berubah jadi kereta mahal. Siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dikorbankan?”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here