Jakarta – Rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk merahasiakan dokumen pencalonan presiden, wakil presiden, hingga anggota DPR selama lima tahun memicu gelombang kecurigaan. Aturan ini bukan sekadar keputusan administratif, melainkan ancaman nyata terhadap transparansi dan hak rakyat untuk mengetahui siapa calon pemimpinnya.
Dalam Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025, sebanyak 16 dokumen capres-cawapres—termasuk ijazah—ditetapkan sebagai informasi publik yang dikecualikan. KPU berdalih langkah ini sesuai dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Namun, logika publik justru menilai sebaliknya: ijazah dan syarat pencalonan adalah dokumen legal yang wajib terbuka, bukan rahasia pribadi.
UUD 1945 jelas menjamin hak rakyat untuk memperoleh informasi (Pasal 28F) dan kepastian hukum yang adil (Pasal 28D ayat 1). Bahkan, Pasal 1 ayat 2 menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Menutup dokumen pencalonan sama saja dengan merampas kedaulatan itu.
Hak Rakyat yang Terampas
Konstitusi jelas menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh informasi. Pasal 28F UUD 1945 menegaskan bahwa rakyat berhak mencari, memiliki, menyimpan, dan menyampaikan informasi. Ketika KPU menutup akses terhadap dokumen pencalonan, maka hak rakyat untuk mengetahui siapa calon pemimpinnya langsung dilanggar.
Lebih dari itu, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menekankan pentingnya kepastian hukum yang adil. Bagaimana rakyat bisa yakin seorang calon memenuhi syarat—misalnya terkait pendidikan—jika ijazah dan dokumen resmi malah dikunci rapat?
Demokrasi Butuh Keterbukaan
Pemilu adalah sarana rakyat menggunakan kedaulatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat.” Maka, logikanya, segala sesuatu yang berkaitan dengan calon pemimpin negara harus terbuka agar rakyat bisa menilai rekam jejak, kapasitas, dan integritas mereka. Menutup dokumen berarti merampas kedaulatan rakyat itu sendiri.
UU Sudah Tegas Bicara
Keterbukaan informasi bukan hanya soal moral politik, melainkan juga kewajiban hukum. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan bahwa setiap informasi publik bersifat terbuka, kecuali yang menyangkut rahasia negara, keamanan nasional, atau hal-hal yang membahayakan kepentingan umum.
Apakah ijazah seorang calon presiden termasuk rahasia negara? Tentu tidak.
Bahkan, UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 dengan tegas menyebut syarat pencalonan harus jelas dan terbuka. Tanpa itu, asas pemilu jujur dan adil akan runtuh.
Bahaya Preseden Buruk
Jika KPU terus bersikeras, akan tercipta preseden berbahaya: publik tidak lagi punya akses untuk mengawasi syarat pencalonan. Ini membuka celah manipulasi, mulai dari penggunaan dokumen palsu hingga pengabaian aturan. Hasilnya, kepercayaan terhadap pemilu bisa runtuh—dan demokrasi kita akan pincang.
Inti Penolakan
Rakyat berhak tahu, karena pemilu milik rakyat, bukan milik partai atau KPU.
Dokumen pencalonan bukan rahasia pribadi, melainkan syarat legal yang wajib terbuka.
Kerahasiaan hanya akan melahirkan ketidakpercayaan, sengketa, dan potensi manipulasi.
Keputusan KPU berpotensi membuka jalan manipulasi syarat pencalonan. Ijazah palsu, dokumen fiktif, atau syarat yang tidak terpenuhi bisa lolos tanpa terpantau publik. Inilah yang membuat aturan KPU disebut-sebut sebagai “rencana jahat” yang membutakan rakyat.
“Pemilu milik rakyat, bukan milik KPU. Jika dokumen calon ditutup rapat, kepercayaan terhadap pemilu akan runtuh,” tegas sejumlah pengamat pemilu.
Saatnya Mencegah
Anggota DPR sudah menolak keras aturan ini. Namun penolakan tak boleh berhenti di Senayan. Organisasi masyarakat sipil, akademisi, hingga media harus bersuara lantang menolak kebijakan yang berpotensi melanggar UUD 1945 dan asas pemilu jujur dan adil.
KPU sedang bermain api. Aturan merahasiakan dokumen capres-cawapres bukan sekadar keputusan teknis, tetapi upaya membungkam kedaulatan rakyat. Jika rakyat dibutakan sejak awal proses pemilu, maka demokrasi hanya tinggal nama.