Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Jeans Wrangler

CELANA JEANS PRIA WRANGLE'R STANDAR Kode Produk ID0166https://katalogproduk.co.id/muhibuddin21/ID0166/cvf6iq5mh1os70j76ue0

TShirt Polo

HomeNewsUang Rakyat Rp 3.300 Triliun Hilang: Menyelami Misteri Korupsi, Penyelundupan Nikel, dan...

Uang Rakyat Rp 3.300 Triliun Hilang: Menyelami Misteri Korupsi, Penyelundupan Nikel, dan Hilirisasi Ilusi di Era Jokowi

Prolog: Sebuah Kalimat yang Menggemparkan

Di sebuah forum publik, Purbaya Yudhi Sadewa, Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), tiba-tiba melontarkan kalimat yang membuat ruang maya gaduh.

“Kalau Rp 3.300 triliun saja bisa dikorupsi, masa bayar utang Rp 1.300 triliun tidak bisa?”

Kalimat itu singkat, tapi efeknya panjang. Angka Rp 3.300 triliun sontak jadi bahan diskusi di warung kopi, ruang ruang publik, hingga ruang redaksi.

Bagi banyak orang, angka ini terdengar mustahil. Tapi bagi sebagian lain, justru sangat masuk akal. Sebab, selama satu dekade pemerintahan Joko Widodo (2014–2024), isu kebocoran anggaran, korupsi pejabat, hingga penyelundupan sumber daya alam terus menghantui.

Apakah Purbaya sedang blunder bicara? Atau justru membuka tabir rahasia terbesar era Jokowi?

Angka Fantastis yang Mengundang Tanda Tanya

Rp 3.300 triliun bukan angka kecil. Itu setara dengan seluruh APBN Indonesia 2024.

Jika benar uang sebanyak itu hilang akibat korupsi, maka sejarah negeri ini harus menulis ulang definisinya tentang skandal.

Namun, hingga kini tidak ada dokumen resmi KPK, BPK, maupun PPATK yang menyebut angka sebesar itu. Data resmi kasus korupsi di era Jokowi, jika dijumlahkan, masih berkisar ratusan triliun.

“Kalau pejabat selevel Purbaya bicara Rp 3.300 T, hampir pasti ia merujuk data internal. Tapi karena tidak pernah dipublikasikan, publik menafsirkannya sebagai rahasia yang disembunyikan,” kata seorang ekonom senior kepada penulis.

Di titik inilah publik terbelah. Ada yang menilai Purbaya sekadar salah ucap. Tapi ada juga yang meyakini: ini kode keras tentang kebocoran fiskal yang selama ini ditutup rapat.

Jejak Korupsi di Era Jokowi

Selama dua periode kepemimpinan Jokowi, sejumlah pejabat tinggi terjerat kasus korupsi. Beberapa di antaranya:

  1. Johnny G. Plate (Menkominfo)
    Korupsi proyek BTS Kominfo, merugikan negara Rp 8 triliun.

  2. Juliari Batubara (Mensos)
    Korupsi bansos COVID-19, nilai sekitar Rp 1 triliun.

  3. Edhy Prabowo (Menteri KKP)
    Suap ekspor benih lobster, Rp 25,7 miliar.

  4. Syahrul Yasin Limpo (Mentan)
    Dugaan pemerasan dan gratifikasi di Kementan, puluhan miliar.

  5. Nadiem Makarim (Mendikbud)
    Proyek laptop pendidikan, dugaan kerugian Rp 1,98 triliun.

  6. Pertamina (Impor/Ekspor Minyak)
    Dugaan kebocoran Rp 193,7 triliun (2018–2023).

Jika dijumlahkan, total kerugian dari kasus-kasus besar itu sekitar Rp 204,8 triliun. Besar, tapi jelas masih jauh dari Rp 3.300 triliun.

Dari Mana Asal Rp 3.300 Triliun?

Ada beberapa hipotesis:

  • Akumulasi kebocoran anggaran: inefisiensi, mark-up, hingga program fiktif.

  • Ekonomi gelap (shadow economy): aktivitas ilegal tak tercatat, termasuk penyelundupan sumber daya alam.

  • Retorika politik: sekadar ilustrasi hiperbolik.

  • Data internal: laporan PPATK atau BPK yang belum dipublikasikan.

Hipotesis terakhir semakin kuat ketika isu penyelundupan nikel mencuat ke permukaan.

Blok Medan dan Mafia Nikel

Sulawesi dan Maluku kini jadi episentrum tambang nikel, mineral strategis untuk baterai listrik dunia. Namun, di balik kebanggaan itu, ada cerita kelam: penyelundupan nikel berskala raksasa.

Sejumlah laporan investigasi menyebut adanya jaringan “Blok Medan”, istilah untuk kelompok mafia nikel yang mengendalikan jalur distribusi ilegal.

Modusnya:

  1. Nikel mentah diekspor melalui pelabuhan kecil tanpa pengawasan ketat.

  2. Dokumen dipalsukan oleh perusahaan cangkang.

  3. Negara kehilangan devisa dan pajak.

Potensi kerugian? Aktivis tambang memperkirakan bisa mencapai ratusan triliun rupiah per tahun.

“Yang resmi masuk ke kas negara hanya sebagian kecil. Yang besar justru keluar lewat jalur tikus. Mafia nikel ini punya backing kuat, baik politik maupun aparat,” ujar seorang peneliti tambang asal Sulawesi.

Jika penyelundupan ini berlangsung konsisten selama bertahun-tahun, akumulasinya memang bisa menembus ribuan triliun.

Smelter Konawe dan Hilirisasi Ilusi

Di Konawe, Sulawesi Tenggara, berdiri kawasan industri smelter raksasa yang menjadi simbol hilirisasi Jokowi. Salah satunya diduga dikuasai perusahaan yang berafiliasi dengan kelompok Luhut Binsar Panjaitan (LBP).

Secara teori, smelter ini harusnya membawa berkah: nilai tambah produk meningkat, pajak naik, rakyat sejahtera.

Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Data resmi Kemenkeu menunjukkan penerimaan pajak & royalti dari nikel memang naik, tapi masih jauh dari potensi riil.

Contoh:

  • Nilai ekspor nikel & turunannya 2022: lebih dari US$ 33 miliar (± Rp 500 triliun).

  • Penerimaan negara: hanya belasan triliun rupiah.

Artinya, rasio penerimaan sangat timpang. Yang menikmati keuntungan terbesar justru investor asing & segelintir elit politik, sementara negara hanya mendapat remah.

“Hilirisasi ini banyak ilusi. Rakyat lokal tetap miskin, lingkungan rusak, sedangkan uang besar mengalir ke luar negeri dan kelompok tertentu,” kata seorang akademisi di Kendari.

Korupsi, Penyelundupan, dan 3.300 Triliun

Kini potongan-potongan puzzle mulai terlihat.

  • Korupsi birokrasi di kementerian: ratusan triliun.

  • Penyelundupan nikel via Blok Medan: ratusan triliun per tahun.

  • Kebocoran penerimaan dari smelter Konawe & Morowali: ratusan triliun lagi.

Jika diakumulasi selama satu dekade, angka Rp 3.300 triliun bukan sekadar ilusi. Ia mungkin cerminan realitas kelam: bahwa Indonesia kehilangan sebagian besar kekayaannya bukan karena kemiskinan, tapi karena kebocoran sistemik.

Rahasia Terbesar Era Jokowi?

Apakah Purbaya sengaja membuka tabir atau sekadar terpeleset lidah, publik berhak tahu.

  • Jika benar Rp 3.300 triliun dikorupsi, siapa yang bertanggung jawab?

  • Jika itu hanya retorika, mengapa ia melontarkan angka fantastis tanpa dasar?

  • Mengapa KPK, BPK, dan PPATK diam?

Sejarah Indonesia mencatat banyak skandal yang baru terbongkar bertahun-tahun kemudian. BLBI, Century, hingga e-KTP. Apakah Rp 3.300 triliun akan masuk daftar itu?

Pegawai Pajak Tajir Melintir

  • Rafael Alun Trisambodo (2023): pejabat Ditjen Pajak dengan harta Rp 56 miliar, terungkap setelah kasus anaknya. Diduga ada penerimaan gratifikasi dan pencucian uang.

  • Eko Darmanto (Bea Cukai): pamer harta mewah, memicu audit.

  • Andhi Pramono (Bea Cukai): tersangkut gratifikasi Rp 28 miliar.

Kasus ini memperlihatkan bagaimana oknum di tubuh Ditjen Pajak dan Bea Cukai bisa mempermainkan penerimaan negara melalui:

  • manipulasi restitusi pajak,

  • negosiasi tunggakan wajib pajak besar,

  • suap untuk pengurangan beban pajak,

  • permainan ekspor–impor di pelabuhan.

Potensi Kerugian: Ratusan Triliun

Menurut laporan Tax Justice Network, Indonesia kehilangan Rp 68 triliun per tahun karena praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Jika ditambah kebocoran akibat oknum pajak nakal, nilainya bisa melampaui ratusan triliun per tahun.

Mengaitkan dengan Rp 3.300 T Pajak Bocor, Negara yang Gagal

Artinya:

  • Korupsi kementerian → ratusan triliun.

  • Penyelundupan nikel (Blok Medan) → ratusan triliun per tahun.

  • Hilirisasi semu di Konawe/Morowali → ratusan triliun.

  • Penggelapan penerimaan pajak → puluhan hingga ratusan triliun per tahun.

Kalau dikalkulasi dalam horizon 10 tahun, sangat mungkin totalnya mendekati Rp 3.300 T.

Rp 3.300 triliun Sebuah Angka, Sejuta Pertanyaan

Rp 3.300 triliun apakah itu sekadar angka retorika? Atau sinyal adanya harta karun yang hilang ke tangan mafia tambang, penyelundup, dan elit politik?

Pernyataan Purbaya telah mengguncang persepsi publik tentang era Jokowi. Bukan hanya soal utang, tapi soal rahasia gelap pengelolaan kekayaan negara.

Selama pertanyaan itu belum terjawab, Rp 3.300 triliun akan terus menjadi hantu besar yang menghantui republik korupsi yang terjadi di era Jokowi

Dan jika pemerintah terus bungkam, diamnya negara justru akan melahirkan kecurigaan baru: bahwa yang disembunyikan jauh lebih besar dari yang pernah dibayangkan.

Pada titik itu, sudah sewajarnya rakyat mengambil sikap. Tidak dalam arti anarkis, tapi dalam arti menuntut transparansi, mengawasi dengan lebih ketat, dan menolak untuk dibodohi. Sebab uang Rp 3.300 triliun bukan sekadar angka di atas kertas—itu adalah hak rakyat, yang seharusnya kembali pada rakyat.

Jika negara terus diam, maka sudah waktunya rakyat berdiri.


Penulis : M.A. Rahman

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here