Jakarta — Perahu kayu itu meluncur pelan di sela riak ombak sore. Sinar matahari keemasan menyorot wajah Saiful (47), nelayan asal Marunda, yang menatap gusar ke arah laut. “Dulu, kami bisa bebas melaut sampai jauh. Sekarang, ke mana-mana ada pagar, ada tembok. Kami seperti dipenjara di laut sendiri,” katanya.
Bagi Saiful dan ribuan nelayan di pesisir utara Jakarta hingga Bekasi, laut bukan hanya bentangan air asin. Laut adalah dapur, sekolah anak, hingga rumah yang menjaga keberlangsungan hidup mereka. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kehidupan itu kian terhimpit oleh dua hal: pagar bambu misterius dan tanggul beton megah.
Laut yang Dipagari Bambu
Awal tahun ini, nelayan di Tangerang dan Bekasi dikejutkan oleh munculnya pagar bambu yang menjulang dari dasar laut. Panjangnya puluhan kilometer, melintang seperti batas tak kasat mata.
“Kalau malam, perahu kami bisa nyangkut, baling-baling jaring robek. Itu bukan lagi laut yang aman, tapi jebakan,” tutur Suryani (35), seorang nelayan perempuan dari Tarumajaya, Bekasi.
Pemerintah menyebut pagar bambu itu tidak berizin. Namun, bagi nelayan, pertanyaan yang lebih penting bukan soal izin, melainkan: siapa yang tega memagari laut, dan untuk apa?
Beton yang Menjulang di Marunda
Di sisi lain, berdiri megah tanggul beton di perairan Marunda, Jakarta Utara. Resmi disebut breakwater, tanggul ini dibangun untuk mendukung pelabuhan PT Karya Citra Nusantara (KCN).
Namun, nelayan tetap resah. “Air pasang sekarang beda arahnya. Kalau hujan deras, banjir rob makin sering masuk kampung,” kata Yanto (52), nelayan yang tinggal di dekat Cilincing.
KCN menyatakan pembangunan dilakukan sesuai aturan, tapi nelayan merasa suara mereka jarang didengar. Bagi mereka, beton itu mungkin sah di mata hukum, tapi tidak ramah di mata kehidupan.
Antara Izin dan Kehidupan
Perbedaan paling mencolok antara pagar bambu dan tanggul beton ada pada legalitasnya.
Pagar bambu: ilegal, tanpa izin, sebagian sudah dibongkar.
Tanggul beton: proyek resmi, berizin, namun tetap diperdebatkan dampaknya.
Namun, di balik semua perbedaan itu, persamaannya jelas: nelayan kecil yang jadi korban pertama.
Suara dari Laut
“Kalau laut ditutup, kami harus melaut lebih jauh. Biaya solar naik, hasil tangkapan berkurang,” kata Suryani dengan mata berkaca. “Kadang saya merasa kami ini cuma angka kecil yang tidak penting bagi mereka.”
Di rumah-rumah panggung di pesisir, cerita serupa bergema. Anak-anak nelayan menunggu kepulangan ayah mereka dengan hasil tangkapan seadanya. Ibu-ibu harus pintar mengatur uang belanja, karena tidak tahu apakah esok laut masih ramah atau semakin penuh pagar dan beton.
Lebih dari Sekadar Infrastruktur
Kasus pagar bambu dan tanggul beton bukan hanya soal proyek atau izin. Ia adalah kisah tentang ruang hidup yang diperebutkan: antara kepentingan ekonomi besar dan kehidupan sehari-hari masyarakat kecil.
Laut, yang dulu bebas dan luas, kini terasa semakin sempit. Bagi nelayan, pertanyaannya sederhana: sampai kapan mereka harus terus bertahan di antara bambu dan beton?
M.A Rahman