Jakarta — Kasus korupsi pemberian kredit kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) berkembang menjadi salah satu perkara besar yang menyeret belasan pihak. Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak hanya menelusuri dugaan penyimpangan kredit dari sejumlah bank, tetapi juga membuka perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang menjerat mantan Direktur Utama Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, dan adiknya, Iwan Kurniawan Lukminto.
Total kerugian negara dalam perkara ini ditaksir mencapai Rp 1,08 triliun, sementara nilai aset yang sudah disita penyidik berkisar Rp 510 miliar.
Awal Kasus: Kredit Sindikasi dan Penyimpangan Dana
Sritex, perusahaan tekstil raksasa asal Sukoharjo, Jawa Tengah, mendapat fasilitas kredit sindikasi dari sejumlah bank pada 2020. Kredit sindikasi adalah skema pinjaman yang diberikan oleh beberapa bank secara bersama-sama untuk membiayai kebutuhan besar suatu perusahaan.
Dalam kasus ini, bank-bank pemerintah daerah seperti Bank Jabar Banten (BJB), Bank DKI, dan Bank Jateng turut menjadi pemberi pinjaman. Belakangan, Kejagung juga menelusuri keterlibatan bank-bank nasional seperti BNI, BRI, dan LPEI (Indonesia Eximbank).
Namun, alih-alih digunakan untuk ekspansi bisnis dan operasional perusahaan, sebagian dana kredit diduga dialihkan ke kepentingan lain, termasuk pembelian tanah atas nama pribadi keluarga Lukminto.
Kejatuhan Sritex dan Pemicu Penyidikan
Pasca pandemi Covid-19, kondisi keuangan Sritex kian terpuruk. Perusahaan yang sempat menjadi eksportir seragam militer ke berbagai negara itu mencatat kerugian besar dan gagal memenuhi kewajiban pembayaran utang.
Pada 2024, Pengadilan Niaga Semarang memutuskan Sritex pailit setelah gagal melunasi utang kredit sindikasi. Putusan pailit inilah yang membuka jalan bagi penyidik Kejagung untuk menyelidiki dugaan korupsi di balik pemberian kredit.
Penetapan Tersangka
Sejak akhir 2024, Kejagung mulai memanggil puluhan saksi dari kalangan perbankan, termasuk pejabat divisi korporasi, bagian hukum, analis kredit, hingga konsultan hukum yang mendampingi proses pencairan pinjaman.
Hasil penyidikan menetapkan sedikitnya 12 orang tersangka, yang terdiri atas pejabat bank, pihak swasta, serta pengurus Sritex. Dua nama besar di antaranya adalah:
Iwan Setiawan Lukminto, mantan Direktur Utama dan Komisaris Utama Sritex.
Iwan Kurniawan Lukminto, adik sekaligus pengurus perusahaan.
Keduanya diduga kuat menjadi penerima manfaat utama dari kredit bermasalah tersebut.
Dugaan Pencucian Uang
Tak berhenti pada perkara korupsi, penyidik juga menemukan indikasi kuat bahwa sebagian dana hasil penyimpangan telah dialihkan untuk membeli aset pribadi.
Pada 1 September 2025, Kejagung resmi menetapkan Iwan Setiawan dan Iwan Kurniawan sebagai tersangka TPPU. Penyidik menjerat mereka dengan pasal pencucian uang karena aset hasil tindak pidana diduga “dicuci” lewat pembelian tanah dan properti.
Penyitaan Aset
Hingga kini, Kejagung menyita aset berupa tanah yang tersebar di Sukoharjo:
57 bidang tanah atas nama Iwan Setiawan.
94 bidang tanah atas nama Megawati, istri Iwan Setiawan.
1 bidang tanah atas nama PT Sukoharjo Multi Indah Textile Mill.
Total nilai aset yang disita diperkirakan mencapai Rp 510 miliar. Penyitaan dilakukan untuk memulihkan kerugian negara sekaligus memperkuat pembuktian perkara TPPU.
Kerugian Negara
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bersama Kejagung memperkirakan kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 1,08 triliun. Nilai ini muncul dari selisih dana kredit yang seharusnya digunakan untuk kepentingan perusahaan, namun justru dialihkan ke pos yang tidak sesuai ketentuan.
Dampak Lebih Luas
Kasus ini tidak hanya mengguncang dunia perbankan, tetapi juga menambah daftar panjang perkara korupsi korporasi di Indonesia. Bagi Sukoharjo, tempat Sritex beroperasi, perkara ini berdampak pada ribuan pekerja yang menggantungkan hidup pada industri tekstil.
Bagi sektor perbankan, kasus ini membuka kembali pertanyaan soal lemahnya prinsip kehati-hatian (prudential banking) dalam menyalurkan kredit besar.
Dengan status pailit, jeratan korupsi, dan TPPU, nasib Sritex kini berada di ujung tanduk. Penyidikan yang masih berlangsung akan menentukan siapa saja yang akhirnya dibawa ke meja hijau dan seberapa besar kerugian negara dapat dipulihkan.
Kasus ini menjadi peringatan keras bahwa praktik kolusi antara korporasi dan lembaga keuangan dapat berakibat fatal — bukan hanya bagi keuangan negara, tetapi juga bagi keberlangsungan industri yang pernah menjadi kebanggaan nasional.