Jakarta – Pemerintah melalui Menteri Keuangan mengambil langkah besar: memindahkan Rp200 triliun dari saldo di Bank Indonesia ke bank-bank milik negara. Bank Mandiri, BRI, dan BNI masing-masing kebagian sekitar Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, dan BSI Rp10 triliun. Uang ini bukan untuk membeli obligasi pemerintah, melainkan harus dipakai bank untuk menyalurkan kredit ke dunia usaha dan masyarakat.
Langkah ini terdengar seperti dorongan gas besar-besaran: negara menaruh “amunisi” di bank agar roda ekonomi lebih cepat berputar. Tapi, apakah benar hasilnya akan seindah harapannya?
Jangka Pendek: Likuiditas Longgar, Harapan Segar
Dalam beberapa bulan pertama, efek paling terasa adalah longgarnya likuiditas di bank penerima. Mereka mendapat “uang segar” dengan bunga relatif murah, sehingga lebih leluasa menyalurkan pinjaman.
Pengusaha bisa lebih mudah dapat modal kerja.
KPR mungkin lebih agresif dipasarkan.
UMKM berpeluang mendapat akses kredit lebih longgar.
Dari sisi pasar, kabar ini biasanya menaikkan optimisme. Saham perbankan bisa menguat, dan investor melihat peluang pertumbuhan kredit lebih tinggi dari biasanya.
Namun, tantangannya jelas: apakah bank benar-benar akan menyalurkan dana itu ke sektor produktif? Kalau hanya diparkir atau dipinjamkan ke debitur yang “aman tapi itu-itu saja”, dampaknya ke ekonomi bisa tipis.
Jangka Menengah: Antara Pertumbuhan dan Risiko
Kalau program ini berjalan enam bulan hingga setahun, ada dua kemungkinan besar:
Skenario positif
Kredit benar-benar tersalurkan ke usaha produktif. UMKM tumbuh, perumahan bergerak, industri ekspansi. Hasilnya: pertumbuhan ekonomi bisa terdorong lebih cepat, mendekati target 6–7% yang diidamkan pemerintah. Inflasi tetap bisa dijaga kalau penyaluran kredit tidak terlalu meledak.Skenario negatif
Bank tergoda menyalurkan dana dengan standar yang lebih longgar. Kredit tumbuh cepat tapi kualitasnya rendah. Dalam 6–12 bulan, risiko kredit macet (NPL) meningkat. Bank memang untung di awal, tapi harus menanggung kerugian kemudian. Jika hal ini terjadi, tujuan awal untuk memperkuat ekonomi bisa berubah jadi masalah stabilitas keuangan.
Risiko yang Mengintai
Moral hazard: Bank bisa merasa ada “jaminan” dari negara, lalu lebih ceroboh memberi pinjaman.
Inflasi: Kalau uang beredar terlalu deras, harga-harga bisa tertekan naik. Bank Indonesia harus siap menginjak rem dengan menaikkan bunga.
Kredibilitas kebijakan: Investor bisa bertanya-tanya, apakah ini artinya batas antara kebijakan fiskal (pemerintah) dan moneter (Bank Indonesia) makin kabur? Jika iya, kepercayaan pasar bisa terganggu.
Apa yang Harus Dijaga?
Agar kebijakan ini tidak jadi bumerang, ada beberapa hal penting:
Transparansi: Bank wajib melaporkan secara rutin ke publik berapa persen dana yang benar-benar masuk ke kredit produktif.
Audit dan pengawasan: Jangan hanya percaya pada angka laporan bank. Perlu audit independen.
Seleksi kredit ketat: Bank harus tetap berhati-hati, jangan sampai uang negara dipakai untuk proyek yang rawan gagal.
Koordinasi erat dengan BI: Agar laju kredit seimbang dengan kestabilan inflasi.
Singkatnya
Kebijakan Rp200 triliun ini ibarat menyalakan mesin besar: kalau diarahkan dengan benar, ia bisa menggerakkan ekonomi lebih cepat dan lebih luas. Tapi kalau salah kelola, bisa jadi mesin panas yang meledak di tengah jalan.
Pilihan ada pada disiplin pemerintah dan perbankan: apakah ini akan tercatat sebagai strategi jitu mempercepat pertumbuhan, atau justru menjadi contoh klasik bagaimana niat baik berubah jadi risiko baru?