Jakarta- “Semua 575 anggota DPR dan menterinya bisa terjerat hukum, karena tidak ada yang benar!” Ucapan Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR (sebelum akhirnya “digeser” ke Komisi I), bukan sekadar celetukan. Ia adalah peluru nyasar yang menembus jantung kepercayaan publik pada parlemen.
Pertanyaannya sederhana: jika seorang insider berani mengucapkan itu, apa lagi yang harus kita ragukan? Atau lebih tepatnya, apa lagi yang bisa kita percaya?
Politisi dan Lidahnya
Sahroni bukan pertama kali bicara kasar. Sebelumnya ia menyebut gagasan pembubaran DPR sebagai ide “mental orang tolol sedunia”. Katanya, itu ditujukan pada gagasan, bukan pada rakyat. Baiklah. Tapi bukankah bahasa adalah cermin jiwa? Jika seorang pejabat negara dengan mudah menyebut “tolol”, apa yang tersisa dari etika seorang wakil rakyat?
Kita tahu, DPR sedang terpuruk. Kredibilitasnya sudah tergerus oleh kasus demi kasus, mulai dari korupsi bansos, proyek infrastruktur, hingga manipulasi anggaran. Lalu muncullah Sahroni, dengan mulut yang lebih cepat daripada otaknya, mempertebal stigma yang sudah melekat.
Rotasi atau Hukuman Terselubung?
Partai NasDem buru-buru memutasi Sahroni. Dari Komisi III (hukum) ke Komisi I (pertahanan, luar negeri). Dalihnya: penyegaran internal. Benarkah? Atau sekadar cara halus untuk menyingkirkan seorang kader yang ucapannya kebablasan?
Publik tentu boleh menduga. Sebab, di republik ini, rotasi sering menjadi hukuman yang disamarkan dengan kata manis. Seperti menutup luka bernanah dengan plester berwarna cerah.
Cermin Buram DPR
Yang lebih penting dari Sahroni adalah gema ucapannya. “Semua bisa terjerat hukum.” Kita marah, kita tersinggung, tapi kita juga tahu ada benarnya. Dari 575 anggota DPR, berapa yang benar-benar bersih? Dari kabinet yang gemuk, berapa menteri yang tidak pernah disebut dalam pusaran kasus?
Sahroni, dengan segala kontroversinya, justru membeberkan kenyataan telanjang. Bahwa politik kita krisis moral. Bahwa kekuasaan lebih sering digunakan untuk bertransaksi daripada melayani.
Pertanyaan untuk Kita Semua
Apakah kita masih mau percaya pada DPR yang sibuk menaikkan tunjangan ketika rakyat tercekik harga beras? Apakah kita masih mau menaruh harapan pada partai yang lebih sibuk menyelamatkan citra daripada membenahi integritas kadernya?
Dan yang paling pahit: apakah kita akan membiarkan ucapan Sahroni hanya dianggap sebagai “blunder komunikasi”, padahal itu mungkin pengakuan jujur yang tak sengaja lolos dari bibir seorang politisi?
Saatnya Membuktikan
Ucapan Sahroni sudah telanjur jadi catatan sejarah. Ia mungkin akan terus menyangkal, partainya mungkin akan terus membela, tapi publik sudah mencatat.
Jika DPR dan para menteri ingin membantah bahwa “tidak ada yang benar”, maka jalannya hanya satu: berhenti main drama, berhenti main kata-kata, dan tunjukkan kerja nyata.
Karena jika tidak, sejarah akan mengingat DPR hari ini bukan sebagai lembaga legislatif, melainkan sebagai panggung besar kebangkrutan moral politik.
Oleh: M.A. Rahman