Medan – Ribuan hektare tanah negara di Sumatera Utara diduga digelapkan melalui proyek pembangunan Kota Deli Megapolitan. Nilai kerugian diperkirakan mencapai Rp200–300 triliun. Investigasi ini menelusuri jejak panjang kasus yang melibatkan perusahaan besar, pejabat daerah, hingga aparat negara.
Akar Masalah: Lahan Eks-HGU PTPN II
Kisah bermula dari lahan eks-Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II di Medan, Binjai, dan Deli Serdang. Lahan tersebut semestinya dikembalikan kepada negara setelah masa HGU berakhir. Namun, alih-alih masuk ke bank tanah negara, ribuan hektare justru beralih ke perusahaan swasta dan pengembang besar.
Sumber agraria menyebut, sejak awal 2000-an muncul praktik kerja sama operasional (KSO) antara PTPN II dan anak perusahaannya. Proyek-proyek properti kemudian digarap bersama mitra swasta, salah satunya PT Ciputra KPSN, anak usaha Ciputra Development.
Modus Operasi: Dari Dokumen Fiktif ke Sertifikat Tanpa Dasar
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Indonesian Audit Watch (IAW), setidaknya ada tiga modus utama:
Kerja Sama Fiktif – Lahan negara dicatat seolah-olah dikerjasamakan dalam proyek, padahal sebagian aset dialihkan tanpa persetujuan resmi.
Penghapusan Aset – Dokumen kepemilikan negara diduga dihapus atau dimanipulasi dalam proses administrasi.
Sertifikat Tanpa Dasar Hukum – Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat diduga menerbitkan sertifikat untuk lahan yang tidak memiliki dasar legal kuat.
Akibatnya, ribuan hektare tanah negara berubah status menjadi kawasan komersial, termasuk perumahan elite dan pusat bisnis di Medan.
Pihak Terlibat
Perusahaan: PT Nusa Dua Propertindo (anak usaha PTPN II) dan PT Ciputra KPSN (Ciputra Development).
Pemerintah Daerah: Pejabat Pemkab Deli Serdang, termasuk dinas yang mengurus tata ruang dan perizinan.
Oknum BPN: Diduga terlibat dalam penerbitan sertifikat bermasalah.
Sementara PTPN II sendiri disebut mengetahui alih fungsi lahan, tetapi tidak mengambil langkah tegas menghentikan praktik tersebut.
Respons Aparat Hukum
Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor Prin-9/fd.1/06/2025, tertanggal 10 Juni 2025. Tim penyidik memanggil sejumlah pejabat Pemkab Deli Serdang dan direksi perusahaan pengembang untuk diperiksa.
Namun hingga kini, statusnya masih penyelidikan, belum ada tersangka resmi. Hal ini menimbulkan kritik publik bahwa penanganan kasus terlalu lambat.
Kasus Lain yang Membayangi Sumut
Di luar kasus tanah, Sumatera Utara juga dihantam skandal korupsi proyek jalan Rp231,8 miliar yang diusut KPK. Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Obaja Putra Ginting, bersama empat pejabat lain telah ditetapkan tersangka. Modusnya berupa manipulasi e-catalog, penunjukan langsung, hingga aliran fee proyek.
Kasus ini memperkuat citra buruk tata kelola aset dan infrastruktur di Sumut.
Dampak & Kondisi Terkini
Kerugian Negara: Ditaksir mencapai Rp300 triliun, angka yang lebih besar dari APBD Sumut dalam beberapa tahun.
Masyarakat Sipil: Aliansi aktivis agraria mendesak Kejagung segera menetapkan tersangka. Demonstrasi berlangsung di depan Kejati Sumut menuntut transparansi.
Status Hukum: Masih di tahap penyelidikan. Sejumlah sertifikat tanah bermasalah telah diblokir BPN, namun sebagian besar lahan sudah berubah menjadi kawasan perumahan dan komersial.
Catatan Investigasi
Kasus Deli Megapolitan memperlihatkan bagaimana lahan negara bisa berpindah ke tangan swasta melalui kombinasi kolusi, manipulasi dokumen, dan lemahnya pengawasan. Sementara aparat hukum bergerak lamban, ribuan hektare tanah negara telah hilang dan nilai kerugian terus membengkak.