Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

BLBI: Hantu Triliunan yang Tak Pernah Hilang, Jejak Oligarki dan Pejabat Korup di Balik Skandal BLBI (3)

Jakarta — Dua puluh tujuh tahun setelah krisis moneter, skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali jadi sorotan. Bukan karena uangnya kembali, tetapi karena...
HomeHukumDari Hutan Mandailing ke Singapura, Jejak Panjang Kasus Korupsi Kehutanan “Kelas Kakap”...

Dari Hutan Mandailing ke Singapura, Jejak Panjang Kasus Korupsi Kehutanan “Kelas Kakap” Adelin Lis

Buronan yang Membelah Opini

Nama Adelin Lis bukan sekadar deretan huruf di berkas perkara pengadilan. Ia adalah simbol dari kompleksitas hukum kehutanan di Indonesia: antara izin dan pelanggaran, antara administratif dan pidana, antara hukum positif dan tafsir keadilan.
Kasusnya bermula dari hutan tropis di Mandailing Natal, Sumatera Utara, lalu berlanjut ke ruang sidang di Medan dan Jakarta, hingga menyeberang ke negeri Singapura tempat ia akhirnya ditangkap setelah 13 tahun menjadi buronan.

Di mata aparat penegak hukum, Adelin adalah koruptor kehutanan kelas kakap. Di mata sebagian pakar hukum, ia korban dari penafsiran hukum yang tumpang tindih. Namun, bagi publik, ia adalah sosok buronan yang akhirnya tunduk pada putusan Mahkamah Agung setelah bertahun-tahun menghindar.

Awal Mula di Mandailing Natal

Tahun 2006, publik Indonesia diguncang berita tentang pembalakan liar yang dilakukan perusahaan PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI) di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Perusahaan itu memiliki izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang sah, bahkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang disahkan oleh Departemen Kehutanan.

Namun, masalah muncul ketika investigasi menemukan adanya penebangan kayu di luar RKT. Bagi hukum kehutanan, RKT adalah garis batas: keluar darinya, maka penebangan dianggap ilegal.

Adelin Lis, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Keuangan dan Umum PT KNDI, dituding terlibat dalam praktik tersebut. Jaksa menyebut, walaupun bukan direktur utama, Adelin punya kewenangan besar dalam pengelolaan dana operasional perusahaan. Maka, tanggung jawab hukum pun jatuh kepadanya.

Di sinilah kontroversi bermula: apakah penebangan di luar RKT adalah kesalahan administratif ataukah tindak pidana korupsi?

Persidangan di Medan, Vonis Bebas yang Mengejutkan

Kasus ini masuk ke meja hijau di Pengadilan Tipikor PN Medan pada Juni 2007. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Adelin 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, serta membayar uang pengganti Rp119,8 miliar dan USD 2,93 juta.

Namun, 5 November 2007, majelis hakim PN Medan memutuskan membebaskan Adelin Lis. Hakim beralasan, perbuatannya lebih tepat dikategorikan sebagai pelanggaran administratif, bukan tindak pidana korupsi.

Putusan ini mengejutkan banyak pihak. Di satu sisi, pembela Adelin merasa lega karena kliennya dianggap tidak bersalah. Di sisi lain, LSM lingkungan, pemerintah, dan penegak hukum melihatnya sebagai kemunduran dalam perang melawan pembalakan liar.

Mahkamah Agung Mengubah Segalanya

Jaksa tidak tinggal diam. Mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya, pada 31 Juli 2008, MA mengeluarkan putusan yang berbalik arah: Adelin dijatuhi 10 tahun penjara, denda Rp1 miliar (subsider 6 bulan), serta uang pengganti Rp119,8 miliar + USD 2,938 juta (subsider 5 tahun).

MA menilai, penebangan di luar RKT jelas merugikan keuangan negara karena volume kayu yang ditebang tidak tercatat, sehingga pungutan reboisasi dan iuran tidak masuk kas negara. Dengan kerugian negara nyata, maka perbuatan Adelin masuk kategori korupsi kehutanan.

Inilah momen yang membuat status Adelin berubah dari pengusaha kayu kontroversial menjadi koruptor kehutanan kelas kakap.

Melarikan Diri dan Paspor Palsu

Alih-alih menjalani hukuman, Adelin memilih melarikan diri. Sejak 2008, ia menghilang. Namanya masuk dalam daftar red notice Interpol.

Bertahun-tahun, aparat mencari keberadaannya. Kabar simpang siur beredar: ada yang bilang ia di Tiongkok, ada yang bilang di Malaysia. Nyatanya, Adelin hidup dengan identitas palsu “Hendro Leonardi” dan menggunakan paspor Singapura.

Langkah ini membuatnya lolos dari radar aparat cukup lama. Buronan kelas kakap ini menjadi simbol lemahnya eksekusi putusan pengadilan di Indonesia.

Tertangkap di Singapura

Titik balik datang pada 4 Maret 2021. Adelin ditangkap otoritas Singapura karena kasus pelanggaran imigrasi. Ia kedapatan menggunakan paspor palsu.

Pengadilan Singapura menjatuhkan denda S$14.000 dan memutuskan mendeportasi Adelin ke Indonesia. Pada 19 Juni 2021, ia tiba di Tanah Air dan langsung dijemput Kejaksaan Agung.

Publik terkejut: buronan yang sudah lebih dari satu dekade menghilang akhirnya kembali ke tanah air. Media menyebutnya sebagai “kemenangan” penegakan hukum, meski sejatinya Adelin ditangkap karena pelanggaran imigrasi, bukan hasil perburuan aparat Indonesia.

Eksekusi Putusan

Setelah pulang, Adelin langsung dijebloskan ke Lapas. Ia wajib menjalani pidana 10 tahun penjara sesuai putusan MA 2008.

Selain itu, Kejaksaan menagih uang pengganti Rp119,8 miliar + USD 2,938 juta. Jumlah fantastis ini menjadi sorotan publik. Apakah Adelin mampu membayarnya?

Awalnya, ada anggapan bahwa uang pengganti sulit dibayar penuh. Namun, Kejaksaan tetap menagih sesuai amar putusan.

Pelunasan Uang Pengganti (2025)

Setelah tarik ulur, akhirnya pada 2–3 September 2025, Kejati Sumut mengumumkan bahwa Adelin telah melunasi uang pengganti.
Jumlahnya:

  • Rp105,857 miliar (sekitar Rp106 miliar)

  • USD 2,938,556,40 (sekitar Rp45 miliar)

Total setara lebih dari Rp150 miliar, disetor melalui Bank BRI sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kejaksaan RI.

Berita ini menjadi salah satu yang paling banyak dibaca di Sumut, menandai babak baru penyelesaian kasus panjang ini.

Kontroversi dan Perdebatan Hukum

Kasus Adelin Lis tidak hanya soal angka dan hukuman. Ia juga menyisakan perdebatan hukum yang hingga kini masih relevan:

  1. Administratif atau Korupsi?
    Sebagian pakar menyebut penebangan di luar RKT hanyalah kesalahan administratif. Namun, MA menilai kerugian negara nyata, sehingga masuk kategori korupsi.

  2. Siapa yang Bertanggung Jawab?
    Adelin adalah direktur keuangan, bukan direktur utama. Mengapa ia yang dijerat? Pembela menilai ini tidak adil, tapi MA tetap menilai Adelin punya tanggung jawab besar.

  3. Kasasi atas Putusan Bebas
    Ada perdebatan soal apakah putusan bebas murni bisa dikasasi. Menurut sebagian pakar, Pasal 244 KUHP melarang. Namun, MA tetap menerima kasasi jaksa.

  4. Pasal Tipikor yang Multitafsir
    Pasal 14 UU Tipikor pernah digugat karena dianggap membuka peluang memasukkan pelanggaran administratif ke ranah korupsi. Namun, gugatan itu tidak serta-merta membebaskan Adelin.

Dampak dan Pelajaran

Kasus Adelin Lis memberikan banyak pelajaran bagi Indonesia:

  • Hukum Kehutanan vs Hukum Korupsi
    Perlu kejelasan apakah pelanggaran kehutanan otomatis bisa dikategorikan sebagai korupsi. Kasus Adelin menunjukkan adanya tumpang tindih hukum.

  • Eksekusi Putusan dan Buronan
    Adelin membuktikan betapa lemahnya eksekusi putusan di Indonesia. Buronan bisa hidup di luar negeri bertahun-tahun tanpa tersentuh.

  • Kerugian Negara yang Fantastis
    Kasus ini membuka mata bahwa pembalakan liar bukan sekadar merusak lingkungan, tapi juga merugikan keuangan negara dalam jumlah besar.

  • Perlawanan Hukum Berlapis
    Dari bebas di PN hingga vonis MA, dari PK hingga gugatan ke MK, kasus ini menunjukkan kompleksitas perjuangan hukum di Indonesia.

Akhir yang Masih Terbuka

Meski uang pengganti telah dilunasi dan hukuman penjara dijalani, kisah Adelin Lis belum tentu benar-benar selesai. Ia tetap akan dikenang sebagai buronan kelas kakap yang akhirnya kembali ke pangkuan hukum.

Pertanyaannya: apakah kasus ini menjadi preseden baik bagi penegakan hukum kehutanan, atau justru membuka luka lama tentang ketidakjelasan hukum di Indonesia?

Yang jelas, jejak Adelin Lis sudah menjadi bagian dari sejarah panjang penegakan hukum Indonesia—dari hutan Mandailing hingga jeruji besi, dari paspor palsu hingga pelunasan miliaran rupiah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here